Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau takut ditinggalkan. Hanya tak ingin orang lain merasa buruk dan merasa sendirian. Setidaknya itulah yang saya percayai.
Namun, saat saya bercakap dengan seseorang, dia mengatakan bahwa saya melakukan semua hal sebab saya takut dihakimi.
"Masa', itu aja nggak mau bantu."
Seperti itu kira-kira suara yang takut saya dengar--menurutnya.
Saya tak setuju dengannya. Saya tidak takut dinilai buruk sama sekali. Bahkan saya kerap membiarkan penilaian buruk orang lain terhadap diri saya. Tak ingin repot-repot menjelaskan jika tak diperlukan. Sama dengan pendapat si kawan ini, saya tidak ingin meluruskan pandangannya terhadap saya. Saya hanya mengatakan, "Oh, gitu, ya."
Saya sering mengurangi waktu tidur, menahan diri, menunggu hingga berjam-jam, ditinggal sendirian, menahan rasa letih, tetapi tak menolak permintaan orang lain pada saya. Jangan salah paham, semua yang saya lakukan tidaklah sepenting dan sebesar itu. Bahkan mungkin tidak dapat dikatakan sebuah usaha yang berarti, terlalu sepele untuk diingat. Akan tetapi, dalam pikiran saya sebagai suporter: jika tidak saya, siapa lagi?
Mungkin karena itulah, menurut pendapat orang di sekitar saya, saya membantu secara tidak rasional. Namun, saya menolak pendapat mereka. Bersikeras bahwa saya rasional. Sebab saya tak ikut campur dan tolong-menolong dalam hal yang tak sesuai dengan nilai yang saya yakini--semampu, sekeras, dan sesanggup yang saya bisa.
Saya akui, bahwa dahulu saya sangat naif. Beranggapan jika saya tak membantu orang yang datang pada saya, pada siapa lagi mereka akan datang? Padahal tentu saja saya bukanlah satu-satunya sumber yang bisa membantu. Bahkan mungkin mereka sendiri lebih mampu daripada saya. Namun, kenaifan diri itulah yang membuat saya berpikiran bagaimana kalau tidak saya bantu, tak ada yang akan membantu mereka? Bagaimana kalau mereka kesulitan? Padahal bantuan saya, tentu saja tak sebaik dan secukup itu. 😅
Saya tak mengerti diri saya sendiri. Sekarang, bahkan saya menjadi orang yang enggan terlibat dengan apapun. Saya tahu, ini bukan kesalahan orang lain, tetapi kesalahan saya yang tak pernah mengerti keadaan diri sendiri. Mana mungkin orang lain tahu bahwa saya sedang letih atau sedang kesulitan, jika saya tak pernah mengutarakannya?
Lalu, saya sadar bahwa, yang saya lakukan bukanlah bentuk pertolongan. Jika itu pertolongan, mengapa sekarang saya, meski tak mengingat jelas bentuk 'pertolongan' itu tetapi masih mengingat perasaan saat melakukannya? Menjadi apatis karenanya? Saya tak menolong tetapi menyelamatkan ego.
Saat itu, saya bukanlah menjadi orang baik. Apapun yang saya lakukan, saya anggap hanya membantu diri sendiri tanpa sadar juga mengabaikannya. Back up kerja kelompok (sedari masa sekolah) saya anggap sebagai tanggung jawab semata. Tak peduli jika 'teman kelompok' memberikan alasan yang dapat dipertanyakan kewajarannya untuk tak mengerjakan tugas. Saya akan menyelesaikannya. Semata demi tanggung jawab. Semata sebab the job has to be done.
Mungkin si kawan itu benar. Bukan tentang takut dihakimi. Ia benar bahwa saya bukanlah orang yang baik, bukan seorang penolong yang tulus. Mungkin saya tak pernah membantu sekalipun. Apa pun itu, semua yang saya alami dalam hidup tak lepas dari tanggung jawab diri sendiri. Lalu, menerima konsekuensinya.
Sekarang saya tetap memilih jadi seorang supporter. Bukan dalam artian terus menjadi tak rasional dalam membantu dan menyelamatkan ego. Saya akan tetap jadi suporter yang sehat. Ya, saya belajar untuk itu. Namun, lebih daripada itu, kali ini saya juga akan menjadi suporter bagi diri saya.