Ia berdiam diri di hadapan sebuah monitor. Beberapa menit larut dalam hening, kemudian ia berjalan menuju dapur. Tangannya menggapai cangkir teh, namun segera diurungkan niat itu. Dengan langkah gontai, ia berbalik arah, kembali pada monitor, megutak-atik sebuah playlist. Lagu classic retro menggema sayup. Di luar, hujan masih saja turun. Embun menyerbu jendela, menutupi pemandangan kota. Ia duduk sedikit meringkuk. Membenamkan diri dalam sweater, menungkus diri dalam selimut.
Tepat dihadapannya, kursor berkedip-kedip dalam lembar kosong monitor. Meja kerja penuh tumpukan kertas, buku, koran, majalah, kacamata, dan alat tulis. Semuanya menebar tak berpola. Sebuah surat kabar menjuntai pada sisi meja. Lembar kosong monitor dan meja nan penuh itu berbagi rasa yang sama: nelangsa. Sedangkan bola matanya jauh menerawang.
Kira-kira pukul lima. Saat matahari sudah secondong masyarakat--sangat ke barat-- dan angin musim hujan yang bersilir menjadi tiupan kencang, Ia menyusuri paving block jalan utama kota. Berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar. Melewati dinding-dinding tinggi gedung pencakar langit.
Pepohonan yang menjejeri jalan raya mendayu-dayu. Dedaun kering berguguran, sebagian dibawa tiupan angin. Lampu-lampu jalan masih belum menyala meski langit sudah terlihat murung. Kakinya tak berjeda memangkas setiap senti jarak antar rusunami dan gedung angkuh tempatnya bekerja. Tidak jauh memang. Hanya beberapa blok saja.
“Maaf,” Ia berkata pelan dengan suara terburu. Hanya beberapa senti jaraknya, nyaris saja Ia menabrak seseorang.
“Saya juga, maaf,” calon korban tabrakan itu menjawab seraya tersenyum.
Ia bergeming sepersekian detik lamanya kemudian menggeleng kecil seolah hendak mengusir nyamuk yang berdenging di telinga. Sesambar kilat, wajahnya kembali datar lalu kedua alisnya menyeringit seolah begitu banyak hal janggal yang ditemukannya pada wanita itu. Mungkin senyumnya, scraftnya, tote bagnya, matanya, keseluruhan dirinya.
Ia sudah terbiasa untuk mengabaikan segala hal yang ia kira tak perlu, tak terkait dengannnya. Akan tetapi, tidak jarang perkiraannya tersebut tak kena sasaran. Atas azas praduganya yang tak dapat di nalar oleh kelompok sosial manapun, rasa bersalah kerap menghampirinya. Namun, tentu saja ia anggap hal itu sama-sekali tak terkait dengan hidupnya, tidak diperlukannya.
Banyak pekerjaan yang telah ia lakukan tanpa pernah mengerti alasan mengerjakannya. Ia tak berniat untuk ambil peduli. Akan tetapi, wanita ini merupakan hal yang berbeda baginya. Ia tidak dapat mengabaikannya. Ia tak tahu apa. Namun, kejanggalan tersebut merupakan sebuah ‘ketidakasingan’. Hal yang mungkin jarang ia temukan pada sosok manapun, bahkan hingga detik terakhir saat ia menyadarinya.
“Bagaimana kabar Anda?” Wanita muda itu bertanya kepadanya. Ia hanya diam. Bukan karena tidak mengerti dengan pertanyaan itu, hanya saja ia tidak mengerti akan alasan pertanyaan itu.
Balasan diam yang begitu canggung disambut dengan senyuman dan pertanyaan serupa, “Bagaimana kabar Anda?”
Kembali wanita muda itu bertanya. Pertanyaan ringan yang diiringi ekspresi paling tulus yang dapat direka wajah agaknya.
“Maaf, apa saya mengenal Anda?” Ia hanya menjawab dingin, seolah dilanda keraguan untuk sekadar berbasa-basi. Khas persona-persona yang mengaku kukuh dan piawai dalam kehidupan sosial kini, salah satunya: urus urusanmu sendiri. Penyakit ini kiranya sudah menjangkit siapa saja. Tentu dengn berbagai macam sebab, dalih, dan alasan untuk dijangkit atau terjangkit.
Tak seperti dingin yang dilontarkan, langit seolah ingin mencairkan percakapan. Angin yang bertiup kencang kini disusul awan-awan kelabu, lalu satu-dua rintik air mulai berjatuhan. Agaknya obrolan basa-basi dapat dilancarkan seperti breaking the ice yang digunakan oleh orang-orang inggris di buku teks pembelajaran bahasa asing. Ah, biarlah obrolan semacam itu tetap ia simpan di buku pembelajaran bahasa asing.
“Pertanyaan Anda begitu lucu. Mengapa Anda bertanya pada saya, bukankah Anda yang tahu jawabannya?” Cakap wanita itu cukup masuk akal. Jawaban yang cukup mudah untuk diterima seperti halnya semudah menerima wanita muda ini dalam kawanan sosial. Terutama di kota mereka. Di negeri kecil yang terombang-ambing arus dunia yang sangat besar.
“Oh, apa Anda mengenal saya?” pertanyaan konyol itu disambut semburat tawa kecil.
Lalu dengan ceria wanita muda itu berkata, “Apa saya harus mengenal seseorang terlebih dahulu, untuk menanyakan kabarnya?”
“Hah…” ia kehilangan kata-katanya. Akan tetapi rasa tertarik tidak dapat ia singkirkan dengan mudah. Tidak pada wanita ini. Setelah berpikir sejenak, maka ia memutuskan untuk bertanya “Kalau begitu, bolehkah saya mengenal Anda?”
Meski belum larut, namun, kota sudah ditutupi bayang-bayang. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Pendar-pendar redup itu memagari jalan raya. Memberi bias keemasan dalam setiap pantulannya. Gedung-gedung dan etalase sudah mentereng. Aroma kopi, roti, serta makanan hangat lainnya menguar. Tak henti-henti menerobos lembap udara, seolah melarikan diri dari dapur-dapur, menggoda siapa saja untuk singgah meski sedetik sahaja.
Kini rintik berubah menjadi rinai. Butir demi butir air nyaris sempurna menutupi permukaan bumi. Menyebabkan sekelompok gadis yang berjejer di bangku jalan utama berhamburan.
“Bagaimana dengan segelas kopi? Oh, teh tentunya bagi Anda?” Wanita itu sigap menyahut. Seolah mereka saling berbagi memori, bersilang kenangan. Mengingatkannya pada suatu waktu di masa lampau yang tak dapat ia rengkuh kembali.
“Tentu”.
Ia tidak pernah mengira bahwa akan datang hari ia dapat dengan senang hati beriringan dengan seseorang—yang bahkan bukan kenalannya—tanpa ada beban, meski hanya sedetik saja. Tak ada komando, tanpa kata, dua pasang kaki mengarah pada arah yang sama. Mereka memasuki kedai kopi, memilih sebuah meja persegi dengan dua bangku di sudut belakang, tepat di hadapan sebuah jendela. Tak tersentuh hujan, cukup jauh dari hiruk-pikuk.
“Bagaimana Anda tahu tentang teh?” Suaranya terdengar jelas. Kontras dengan musik yang mengalun sendu dari pengeras suara di langit-langit warung kopi, lagu-lagu yang sesekali akan terdengar syahdu bagi penyendiri pengidap sakit sepi.
“Bukankah sangat jelas?” jawab wanita itu.
Sangat jelas? Agaknya Wanita muda menganggap jawabannya selicin lantai kayu yang mereka susuri sejak memasuki pintu utama warung. Sejelas meja-meja panjang tempat barista bekerja. Atau mungkin, jawaban itu didapat asal mau mengamati kusen-kusen jendala dan pintu yang terbuat dari kayu jati yang telah dipernis dengan teliti? Pikirnya.
“Jelas? Anda seorang detektif?” Ia mendengkus seraya tersenyum sinis.
“Pengamat, mungkin?” jawab si wanita lagi seraya menarik senyum. Tentu saja senyum yang berbeda.
Hening sejenak. Minuman tertata di meja. Setelah berterima kasih pada pramusaji, kemudian, si wanita angkat suara, “Bukankah Askar dan NaaNaa begitu mengesankan?” Ia merujuk pada dua penulis besar dari kota mereka.
“Begitukah?” Ia meraih cangkirnya. Asap tipis menari-nari. Samar tercium aroma teh sakura.
“Tentu saja Anda berpikir begitu, benar?” Ada sirat semangat pada mata wanita itu. Hanya sekilas lalu, sebelum tatapan menunggu persetujuan dilayangkan.
Lantas, Wanita muda melanjutkan, “ Seperti halnya serial yang Anda baca, tulisan Anda juga penuh misteri.”
“Dan hal itu mengacu kepada?” tanyanya. Dahinya menyeringit lagi. Kepala sedikit dimiringkan. Menuntut penjelasan atau mungkin hanya menagih ulasan.
“Perubahan cerita, kaitan-kaitan realita dan refleksinya dalam tulisan Anda, bukankah mereka tidak pernah bertemu? Tidak pernah mengobrol dengan secangkir kopi atau teh?” Setiap kata yang terlontar dari bibir wanita itu, diterima dengan lamban. Seolah kata-kata itu hendak menuntut sesuatu yang tidak pernah ia miliki. Entah mengapa, ketenangan suara wanita muda itu melukainya dengan hebat.
“Mereka tidak membutuhkannya. Realita dan refleksi tidak perlu menghabiskan waktu di warung kopi,” acuh tak acuh ia menjawab. Lalu dialihkannya pandangan.
Sekelompok orang baru saja mengambil meja di tengah warung kopi. Agaknya mereka terlampau ribut baginya. Membuatnya mendelik tak suka.
“Ya, mereka tak perlu, masyarakat yang memerlukannya. Penting bagi masyarakat agar realita dan refleksinya dalam tulisan saling bertemu, ‘kan?” Wanita yang berada di hadapannya berujar tanpa menoleh padanya.
Ribut sekelompok pengunjung baru itu memang mengalihkan perhatian. Tentu saja, kedua orang yang tengah mengobrol ini memiliki tanggapan yang berbeda terhadap gerombolan manusia itu.
“Masyarakat hanya menginginkan hiburan. Mereka hanya sekadar memenuhi rasa ingin tahunya, juga hanya mendengar hal yang dianggap benar, dianggap menyenangkan.” Ia telah kembali seutuhnya dalam percakapan. Di sela kalimat, ia tertawa sinis.
“ Membosankan, memuakkan, ya, ‘kan?” Wanita ini membenarkan dengan senyum prihatin.
“Ya, dapat dikatakatan begitu.” Ia terdengar seperti orang yang dirundung bosan. Kerontang seperti bangunan kota ketika musim kemarau menyapa.
“Lalu, yang Anda lakukan adalah …?” Kini Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Kedua sikunya menumpu pada meja. Jari-jarinya saling bertaut menopang dagu.
“Memberikan hiburan. Bermain dengan mereka dan meraih keuntungan, tentu saja.” Tampak tidak nyaman, ia mengadu bahu pada sandaran kursi sedangkan lutut kanannya menumpu lutut kiri.
“Bahkan Anda jauh lebih memuakkan. Benar, hiburan yang Anda berikan kepada saya begitu banyak. Anda tahu bagaimana rasanya bermain dengan misteri ‘realita dan bayangannya’ dari kata-kata yang Anda rangkai?” Suara wanita itu hilang timbul dalam riuh yang memenuhi ruangan. Lalu katanya lagi;
“Terkadang rumit memang, terkadang setegas matahari yang terbit dari timur. Namun, satu dua terlihat seperti sirkus murahan, sekadar lelucon yang menertawakan tanpa kritik cerdas sama sekali. Jauh dari wira atau cendekia.” Si Wanita menatap lekat, berusaha melontarkan setiap kata dengan tenang. Akan tetapi, rasa kecewa itu kiranya tak dapat dibendung, meluap melalui suaranya yang sedikit bergetar.
“Anda begitu peduli pada saya, tampaknya?” Ia membalas.
Suaranya tinggi tertahan. Kini kedua tangannya saling menyilang di depan dada. Berupaya tak peduli, agaknya juga sedikit menjaga kebanggan diri. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat seolah dapat dihanyutkan oleh gusarnya.
“Ya, saya mengikuti Anda karena masyarakat. Apa yang membuat tulisan itu berjalan dengan gerakan misterius? Bagi masyarakat yang sudah tangguh, mungkin mereka tidak akan membeli pertunjukkan murahan Anda. Tapi bagaimana dengan mereka yang goyah, yang hanya menginginkan kesenangan belaka? Mereka tidak akan berpikir lebih jauh dan saat memutuskan untuk mengikuti, mereka hanya akan terbiasa dengan pola pikir yang terlampau membeo. Merupakan tanggung jawab Anda untuk tidak membuat beo meluapkan kata-kata tak bermartabat.” Ada ketegasan dalam setiap kata-kata itu. Ada tuntutan dalam setiap kalimat. Tatapan hangat itu kini menunjukkan tajamnya.
“Saya membantu mereka, memberikan apa yang mereka inginkan. Memenuhi rasa ingin tahu yang sesuai dengan harapan. Menyanyikan lagu nina bobo. Membuka dunia modern, memberikan kebebasan, peluang untuk menginterpretasi hidup seperti yang sebagian besar dunia sedang lakukan.
Mengapa saya harus bertanggung jawab atas kebodohan mereka? Atas keputusan mereka untuk mengejar hasratnya? Mereka abai apabila suatu hal tidak menyenangkan bagi diri mereka. Jika saya mengambil jalan tak menyenangkan itu, akibatnya apa yang saya lakukan akan lebih sia-sia, tidak dipedulikan sama sekali.
Jika sudah begitu, saya juga tidak akan mendapat keuntungan apa-apa. Lalu apa yang menjadi misteri dalam kata-kata saya? Tidak ada. Saya hanya melakukan hal yang seharusnya saya lakukan. Memberikan kesenangan dan mendapatkan balasannya. Simbiosis mutualisme.” Semua ia utarakan dengan suara tenang, namun juga dengan luapan emosi yang labil. Ia terdengar muak, ia terdengar prihatin, ia terdengar marah, ia terdengar merana dan dilanda sakit sepi. Tak sedikit pun ia terdengar bahagia.
“Simbiosis mutualisme hanya berlaku jika sama-sama menguntungkan. Tetapi Anda dan mereka hanya berbagi ilusi. Rasa bersalah terkadang menghantui Anda, bukan? Menjilati kaki pengusaha bajingan, menjadi anjing penjaga penguasa biadab, memupuk hedoisme, bermain-main dengan kebenaran, membodohi, menipu, manipulatif, menutup-tutupi, menyingkirkan apapun yang dapat menjadi penghalang ketenaran, kekuasaan, pengaruh, status, dan segala kesenangan belaka.
Semua itu pada akhirnya hampa, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga berlaku bagi Anda. Dapat Anda konfirmasi?” Wanita itu berkata cepat bak kereta listrik, seolah ingin mengantarkan penumpangnya—kekecewaan dan kegetiran— sesegera mungkin pada stasiun berikutnya, bahkan lebih cepat dari pada kemampuan si kereta.
Hening, tidak ada kata lagi yang terdengar. Ia dan wanita muda itu melebur dalam diam. Seolah tenggelam pada pikiran masing-masing. Mencoba terlihat normal, menyibukkan diri pada cangkir teh dan gelas kopi. Menyeruput teh yang sudah tidak hangat, meneguk pekatnya es kopi yang mencair. Dalam diam, mereka saling menilai, saling menyelidiki.
2017-2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar