Jumat, 05 Mei 2023

Bolehkah Puisi Menggunakan Kata Tidak Baku?

Salah satu puisi saya. Mampir ke akun-akun saya buat baca karya lainnya, Yuk.


Suatu ketika pertanyaan ini muncul dalam forum obrolan komunitas Competer Indoneisa yang saat itu saya ikuti. Pertanyaan ini menggelitik saya untuk merenungkan jawabannya berdasarkan sedikit pengetahuan yang saya miliki. Beginilah kira-kira hasil renungan tersebut:

Dalam puisi boleh-boleh saja tidak menggunakan bahasa baku, seperti bahasa daerah atau dialek, bahasa asing bahkan bahasa prokem... kata tidak baku ini nanti ditulis dengan huruf miring. Huruf miring menandakan bahwa kata tersebut bukanlah kata baku, hal ini diterapkan untuk meminimalkan adanya salah tafsir.

Bahkan, dalam puisi penyair juga bisa menciptakan aturannya sendiri atau bahasa sendiri. Sebab, penyair memiliki lisensi poetika. Ini yang menyebabkan puisi itu karya unik. Puisi adalah perasaan dan pemikiran penyair, puisi adalah imajinasi penyair. Puisi adalah cerminan diri penyair.

Oleh karena karya sastra tidak hanya memiliki tujuan mendidik tetapi juga berfungsi sebagai pelipur lara, maka banyak pertimbangan dalam menulis puisi baik dari segi fisik puisi (seperti: diksi, majas, rima, ritme, tipografi, dan imaji) dan dari segi unsur batin puisi (seperti: tema, amanat, perasaan, dan suasana) yang ingin /dapat/ harus kita bangun.

Sah-sah saja menggunakan bahasa yang tidak baku selama memenuhi tujuan puisi yang kita tulis.

Karena pada dasarnya pemilihan diksi dan majas dalam puisi berpengaruh besar bagi jiwa puisi.

Penyair boleh menuliskan kata tidak baku (bahkan penulisan tak baku lainnya) selama ia paham dan tahu akan tujuan kata tidak baku itu ditulis. Tentu saja alasan dan tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh penyair.

Misalnya penulis memilih kata 'beta' atau 'ambo' dibandingkan kata 'hamba' atau 'saya' untuk mengilustrasikan nilai budaya atau mungkin membangun suasana dalam puisinya.

Akan tetapi hal ini jadi berbeda kita penulis menuliskan kata 'rubuh' dibandingkan 'roboh' tanpa memiliki maksud tertentu atau tanpa mengetahui bahwa kata bakunya adalah 'roboh'. 

Kira-kira begitulah. Namun, semua kembali lagi pada penyair. Apa tujuan puisi, untuk siapa puisi ditulis. Biarlah penafsirannya hidup di tangan pembaca. Sebab, konon, setelah karya sampai pada pembaca, pengarangnya telah mati. Pada akhirnya, penulisan dan penafsiran puisi adalah wujud cerminan penyair dan pembaca.

Bagaimana menurutmu? Mari berdiskusi.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...