Label

Tampilkan postingan dengan label Fiksi Mini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi Mini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Juli 2025

Fiksi Mini: Jangan Menoleh!

Oleh: S. N. Aisyah


Aku sering kali mendengkus ketika  lagi-lagi mereka  membahas hal itu. Bayangkan saja, ada setan wanita yang mengikuti Sutan Rangkayo minggu lalu. Katanya, minta diantar pulang, membonceng sepeda motor lelaki paruh baya itu. Spontan saja, Sutan Rangkayo turun dan lari terbirit-birit meninggalkan sepeda motornya. 

Menurutmu siapa yang lebih konyol, keberadaan setan wanita yang kurang kerjaan itu atau kenyataan lelaki yang sudah hidup selama 50 tahun, yang  memilih berlari dibandingkan membawa sepeda motornya pulang? Omong kosong. Kurasa, mereka menceritakan itu hanya untuk mencegahku pulang. Agar dapat bermain gim hingga larut malam. Dasar, mereka kira dunia hanya untuk bermain-main saja?!

Maka, dengan hati dongkol, kupacu sepeda motor. Seorang diri. Hampir saja pukul dua belas malam. Rinai. Gelap gulita. Hanya lampu sepeda motor yang menerangiku melewati pesisir pantai. Cahayanya menjangkau hingga pinggiran bibir pantai yang dibatasi bebatuan alami raksasa--bertumpuk, sumuk, dan suram. Kesiur angin berembus, terus-menerus, bagaikan nyanyian sendu menerobos celah-celah batuan itu. Semakin lama, entah mengapa embusan angin itu  lamat-lamat dan lekat di daun telingaku. Lalu, menjelma tangisan pilu. 

Bulu kuduku meremang. Aku terlonjak saat motor bebek yang kukendarai mati seketika.


"Hey, kalau kau dengar ada yang memanggil namamu, jangan berhenti. Jangan menoleh." Kembali terngiang peringatan Ardi padaku.

"Mengapa?" tanyaku padanya.

"Kau gila? Sudah pasti itu 'Dia'." 


Masih dapat kuingat pucat pasi serta khawatir di wajah Ardi saat mengatakannya. 

Ah, ada-ada saja! Aku terus mengengkol motor seraya berusaha tak mengumpat dalam hati.

"Rom, Romi ...." 

Dela? Bukankah itu suara Dela? Oh, tidak. Jangan menoleh. 

"Romi, Rom ... tolong, Rom!" 

Jangan menoleh. Jangan.

"Romi ... " 

"Kamu nggak percaya ini aku?" Aku dapat mendengar putus asa dari suara itu. Ia mulai terisak.

Ah, konyol!

Kubalikkan badan. Senyap. Suara itu menghilang. Dari balik batu sana, melongok seorang wanita. Rambutnya masai, hitam, dan panjang. Kedua rongga matanya amat kelam, seperti darah beku menempel di sana. Perlahan-lahan ia mendekat. Gaun putihnya compang-camping dan lusuh, melayang sejengkal di permukaan tanah. 

Dengan amat pelan dan menusuk, ia berkata, "Kena, Kau!"

Ia menyeringai.

Lalu tawa lengkingnya membahana memecah langit malam dan sunyi yang mencekam. 


03 Juli 2015

Kamis, 26 Juni 2025

Fiksi Mini: Merah


Oleh: S. N. Aisyah


Jalanan amat sepi. Bagaimana tidak? Sudah pukul sebelas malam. Hentakan kakiku bergaung. Aku tak dapat menahan diri, menoleh ke belakang hanya untuk mendapati gang yang kosong dan lengang. Dengan perasaan tak nyaman, kupercepat langkah. Lalu buru-buru membuka pintu begitu tiba di kamar kos. 

Sunyi. Sepi. Mataku berat, tubuhku remuk. Setelah melepas sepatu dan melempar ransel seenaknya, Aku merebahkan badan di lantai, menutup mata sejenak, hendak mengusir lelah. 

Dengan mata tertutup begini, tentu saja pandangan akan  terlihat ... merah?  Ah, apa karena aku berbaring tepat di bawah lampu? Belum lagi pikiran itu terjawab, terdengar suara ketukan pintu. Aku begitu enggan membukanya--masih bergulat dengan warna merah. Lagipula, siapa yang bertamu selarut ini?  Namun, semakin kuabaikan, ketukan itu semakin kencang. Maka, dengan enggan aku bangkit. Hendak mengintip melalui jendela, melihat wajah kelancangan itu.

Akan tetapi, baru saja mata kubuka, pintu kamar sudah terhempas keras. Sontak, membuatku duduk tegak, siluet lelaki jangkung dan besar berdiri di ambang pintu. Tetapi semuanya berbayang ... Merah? Untuk sejenak, tubuhku membatu. Sedangkan siluet itu berjalan mendekat. Begitu dekat hingga jarak kami terhitung satu langkah saja. Belum lagi kesadaranku pulih, ia sudah berteriak kencang dengan suara parau yang menggelegar. Mengatakan sesuatu yang tak dapat kumengerti. Tangannya yang kekar melayang ke atas, saat itulah kulihat sebilah pisau siap meluncur ke dahiku. Seluruh tubuhku membeku, tulangku menggigil. Aku tak kuasa untuk menutup mata. Begitu ujung pisau yang dingin itu mengenai dahi, aku tersentak.

Sunyi. Senyap. Tak ada yang terdengar kecuali degup jantungku. Pintu kamar tertutup rapat. Tak ada seorang pun di sini. Mimpi. Itu hanya mimpi. Aku menghela napas lega. Tersenyum. Tiba-tiba saja, sesuatu yang kental dan ... dingin, mendarat di dahiku. Segera kuseka ia. Merah. Ini darah. Bagaimana bisa? Saat mendongak, kudapati langit-langit kamar merah, bersimbah darah. 


Kamis, 12 Juni 2025

Fiksi Mini: Kera-Kera.

Oleh: S. N. Aisyah

Sudah dua bulan lamanya kera-kera itu berkeliaran mengusik perkampungan kami. Mereka mengeluarkan suara-suara aneh. Menyerbu masuk ke rumah warga lalu hilang begitu saja saat hendak di tangkap. Apalagi di malam hari. Ya, padahal kera-kera itu bukan Aotus--si kera malam, mereka bukanlah hewan nokturnal. 

Tidak hanya itu masalah yang kampung kami hadapi. Sejak kemunculan makhluk itu, selalu ada hal aneh yang terjadi. Salah satunya kejadian malam itu.

Aku yakin saat itu adalah bulan purnama penuh. Saat pertama kali kami melihat sosok yang bergelayut, mengayun, mendayu-dayu di ambang jendela. Kupikir itu adalah seekor kera. Dari kejauahn tampak begitu. Aku dan Bang Aswan yang  sedang berpatroli ronda, memilih untuk mempercepat langkah. Merasakan ada hal ganjil yang membuat hati tak nyaman. Terutama di rumah kosong Pak Rahmat.

"Ayo kita jalan saja," ujar Bang Aswan semakin mempercepat langkahnya.

"Tetapi, itu siapa?" tanyaku hendak memastikan, meskipun dalam hati juga mengira bahwa makhluk itu  pasti si kera.

Terdengar suara bantingan dan pecahan benda-benda. Riuh sekali. 

"Siapa lagi kalau bukan kera-kera itu. Mereka belakangan memang sering datang, 'kan?" Bang Aswan meneruskan langkah, berlawan arah dengan rumah Pak Rahmat. 

"Bagaimana kalau dia merusak rumah Pak Rahmat?" Aku menahan langkah. 

Hening. Betapa Bang Aswan enggan untuk ke sana, terlihat jelas di wajahnya. 

"Bukankah kita beronda untuk menjaga lingkungan kondusif, agar warga merasa aman?" Aku bertanya pelan. 

"Kau benar. Ah, Pak Rahmat. Mau berapa lama lagi ia keluar kota, ya?" Mau tak mau ia berbalik arah, memandu langkah. 

"Mengapa tak ada yang menjaga rumahnya?" tanyaku tak perlu.

"Mana kutahu. Ayo," titah Bang Rahmat itu kami amini dengan mulai memasuki pekarangan kediaman Si Tuan Tanah yang angkuh.

Kami berjalan menuju rumah kosong Pak Rahmat. Di kejauhan, suara burung wak-wak terdengar. Juga suara menyeramkan lainnya dari hutan. Angin bertiup kencang, menderu di telinga kami. Rembulan menyinari atap rumah Pak Rahmat dengan sendu. Saat  mulai dekat dengan satu-satunya jendela yang terang, perlahan siluet makhluk yang kami kira kera itu semakin tampak jelas. Untuk sesaat aku dan Bang Aswan saling pandang. Berusaha saling meyakinkan bahwa kami tidak salah lihat.  Jarak kami terhitung sepuluh langkah saja darinya,  sosok yang bergelayut itu akhirnya tak lagi bergerak. Aku dan Bang Aswan membatu. Itu bukan kera, itu adalah Pak Rahmat yang tergantung di ambang jendela rumahnya. Pucat pasi. Sudah tak bernyawa. 


12 Juni 2025

Kamis, 05 Juni 2025

Fiksi Mini: Kunjungan yang Menjijikan

Oleh: S. N. Aisyah



Sudah bertahun-tahun sejak kejadian itu, aku tetap tak bisa tidur nyenyak. Sepertinya ada sesuatu yang selalu mengawasiku dari sudut-sudut gelap. Apalagi saat-saat kondisiku kesehatan sedang tidak baik. Selalu ada saja hal aneh yang terjadi. 

"Kau mimpi lagi?" tanya kawanku. Membuatku tersentak dari lamunan. Entah sudah berapa lama ia berdiri di samping lemari bajuku. 

"Tidak."

"Jangan bohong, aku tahu kau bermimpi buruk lagi. Kau berteriak dan meracau parah."

"Maaf," ucapku. 

"Jangan meminta maaf, kau itu perlu diobati."

"Aku sudah minum obat. Dengan rajin."

"Kau tahu obat yang kumaksud," katanya dengan suara melemah.

"Kau gila," ujarku menahan berang.

"Tidak. Kau keras kepala." Ia berkata dengan nada penuh prihatin.

Aku merasa bersalah padanya. Aku tahu niatnya baik, tapi kalimat yang bisa kuucap hanyalah, "Sudahlah, aku mau tidur lagi. Kau juga sebaiknya tidur."

Dengan begitu, setelah menatap nanap dan dalam menembus mataku, ragu-ragu ia melangkah menuju ambang pintu. Kembali ke kamarnya. 

Di luar, derai hujan terus mengguyur genteng. Rasa kantuk yang luar biasa menyergap. Saat mataku mulai terlena, tiba-tiba saja, sesuatu yang dingin, lembek dan licin menyentuh tanganku. 

Belatung. Mereka datang lagi. Ini sudah kesekian kali dalam bulan ini. Aku tak tahu dari mana asal makhluk menjijikan ini. Dialah yang harus disalahkan atas vonis orang-orang bahwa aku butuh bantuan untuk diobati. 

Bagaimana cara mengobatinya jika makhluk menjijikan ini selalu muncul tiba-tiba dan hilang secara tiba-tiba pula? 



Kamis, 29 Mei 2025

Fiksi Mini: Buron!

Oleh: S. N. Aisyah


Sudah enam pekan lamanya sejak wanita muda itu diselamatkan. Saban hari ia berkurung diri dalam kamar. Merajuk. Minta diizinkan pergi menjenguk tahanan kota yang dulu kerap jadi buron.
”Keluarlah, Nak. Apa yang kau inginkan dari menjenguk orang tak beradab, yang tahunya merampas orang dengan menyandera?” Begitulah Sang Ibu  membujuknya.

”Ibu tak tahu. Tak pernah tahu. Dia baik, Bu. Tak pernah ia menyakitiku. Toh, uang tebusan itu tak pernah jua ia terima.” Wanita muda itu enggan memenuhi permintaan orang tuanya.

Agaknya dua pekan dalam sanderaan memengaruhi kewarasannya. Begitulah pikir orangtuanya, lalu kata Sang Ibu lagi,”Hanya sebab kami menemukanmu. Jika tidak, tentu uang itu dilibasnya.”

”Tidak. Bukan begitu. Dia hanya butuh kawan. Biarkan aku menjenguknya. Kasihan dia,” suara putri kesayangannya bergetar.

”Apa kau sudah dijampi?” berang dan putus asa melanda Sang Ibu.
”Apa yang salah dari mengunjungi orang yang tak punya siapa-siapa lagi di muka bumi? Bukankah  ibu yang mengajarkanku untuk peduli pada orang lain?” Begitulah kukuhnya pendirian wanita itu.

”Baik, pergilah. Setelah itu berhentilah bertingkah.” Mungkin saja sebab tak tahan akan keadaan anaknya, ibu mengalah.

Dua hari kemudian, wanita muda itu menemui tahanan. Juga hari-hari selanjutnya. Hingga, di hari ke-20 kunjungannya, anak semata wayang itu tak pernah pulang. Tiga hari  telah berlalu sejak  laporan orang hilang diajukan. Dalam perjalanan mencari anak,  Sang Ibu singgah sebentar di sebuah warung. Mendadak jantungnya seakan jatuh ke dasar perut, TV di warung itu melantangkan sebuah berita. Si Tahanan Kota  kabur … bersama putrinya.


Kota Bertuah, 22  Mei 2025


Kamis, 22 Mei 2025

Fiksi Mini: Tangkap Penipunya!

Oleh: S. N. Aisyah

Di  suatu malam, aku dan kawanku terlibat sebuah perdebatan yang membawa kami pada suatu kesimpulan. Bahwa, kebanyakan manusia itu seorang penipu. Tetapi, sifat penipu itu tidak lahir begitu saja. 

Coba saja kau bayangkan, bagaimana mungkin sesuatu lahir begitu saja? Maksudku, segala sesuatu  itu tak lepas dari rantai sebab-akibat. 

Nah, perkara tipu-menipu, ia lahir dari kerusakan. Jangan tanya apa maksudku. Kau pasti paham maksudku. Aku yakin bahkan kau sendiri sering ditipu oleh dirimu, kan? 

Menurutmu, siapa penipu dalam dirimu? Apakah itu lidahmu? Matamu? Telingamu? Apa kau mengerti maksudku?

Intinya, kita sering ditipu bahkan oleh diri sendiri sekalipun. 

Begitulah perdebatan kami berakhir pada suatu kesepakatan. 

Keesokan harinya, saat matahari masih berleha-leha di langit timur, kawanku yang baru saja pulang dari berbelanja bahan masak menghampiriku yang tengah memotong-motong sayur di dapur. 

" Ini," ujarnya seraya menyerahkan kantong belanjaan. Ia berbalik menaruh tepung dan bahan lainnya pada lemari yang terletak tepat di belakang meja dapur, tempat aku memeriksa belanjaan pagi itu. 

Singkatnya, kami saling membelakangi. 
"Eh?" Mendengar suara itu aku langsung menoleh ke belakang. Apakah ia melupakan sesuatu?

Kudapati kawanku juga menoleh padaku.

"Apa?" Ujar kami serentak. 

"Kau bilang sesuatu?" tanyanya padaku. Wajahnya tampak bingung. 

"Kukira kau yang ngomong," jawabku. Sama bodohnya. 

Lalu kami terdiam. Siapa lagi yang bicara kalau bukan salah satu di antara kami? Jelas-jelas aku mendengar suara itu tepat di belakangku. 

Lalu siapakah penipu kali ini? 
Telingaku, telinganya? Otakku atau otaknya? Ataukah ini perkara hati manusia yang suka membodohi dan pengecut, yang percaya bahwa arwah wanita itu datang menyapa?

18 Mei 2025





Sabtu, 15 Maret 2025

Fiksi Mini: Nekromansi

Oleh: S. N. Aisyah


Pukul sepuluh. Malam ini, seperti yang dikatakannya, bulan biru (the blue moon) bertengger di langit.

Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk.

 “Di depan.”

Kusibak tirai jendela. Helen—si anak gotik—berdiri tepat di seberang rumahku. Kulitnya yang pualam terlihat semakin pucat pasi di bawah naungan rembulan. Segera kutemui ia. Tak lama kemudian, kami sudah berada jauh di perut hutan. Tepat di bawah rindang pohon beringin, Helen mengeluarkan sebuah kapur putih, 5 lilin, 5 bagian tulang, sebuah kerangkeng kecil, macis, dan sebilah pisau lipat dari tasnya. Ia menggambar lingkaran serta bintang bersudut lima di tanah dingin menggunakan kapur lalu menyusun lilin dan tulang di tiap-tiap sudut bintang.

”Duduklah,” ucapnya. Kandang berisi tikus dan ransel yang menggembung tergeletak di sisi kirinya.

”Kau … yakin?” tanyaku. Ragu-ragu pula aku duduk di hadapannya.

“Tentu saja!”  jawabnya tegas. Kemudian, ia kembali merogoh tasnya.

Dag!

Jantungku jatuh ke dasar perut saat ia menaruh bangkai kucing di antara kami.

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...