Oleh: S. N. Aisyah
Aku sering kali mendengkus ketika lagi-lagi mereka membahas hal itu. Bayangkan saja, ada setan wanita yang mengikuti Sutan Rangkayo minggu lalu. Katanya, minta diantar pulang, membonceng sepeda motor lelaki paruh baya itu. Spontan saja, Sutan Rangkayo turun dan lari terbirit-birit meninggalkan sepeda motornya.
Menurutmu siapa yang lebih konyol, keberadaan setan wanita yang kurang kerjaan itu atau kenyataan lelaki yang sudah hidup selama 50 tahun, yang memilih berlari dibandingkan membawa sepeda motornya pulang? Omong kosong. Kurasa, mereka menceritakan itu hanya untuk mencegahku pulang. Agar dapat bermain gim hingga larut malam. Dasar, mereka kira dunia hanya untuk bermain-main saja?!
Maka, dengan hati dongkol, kupacu sepeda motor. Seorang diri. Hampir saja pukul dua belas malam. Rinai. Gelap gulita. Hanya lampu sepeda motor yang menerangiku melewati pesisir pantai. Cahayanya menjangkau hingga pinggiran bibir pantai yang dibatasi bebatuan alami raksasa--bertumpuk, sumuk, dan suram. Kesiur angin berembus, terus-menerus, bagaikan nyanyian sendu menerobos celah-celah batuan itu. Semakin lama, entah mengapa embusan angin itu lamat-lamat dan lekat di daun telingaku. Lalu, menjelma tangisan pilu.
Bulu kuduku meremang. Aku terlonjak saat motor bebek yang kukendarai mati seketika.
"Hey, kalau kau dengar ada yang memanggil namamu, jangan berhenti. Jangan menoleh." Kembali terngiang peringatan Ardi padaku.
"Mengapa?" tanyaku padanya.
"Kau gila? Sudah pasti itu 'Dia'."
Masih dapat kuingat pucat pasi serta khawatir di wajah Ardi saat mengatakannya.
Ah, ada-ada saja! Aku terus mengengkol motor seraya berusaha tak mengumpat dalam hati.
"Rom, Romi ...."
Dela? Bukankah itu suara Dela? Oh, tidak. Jangan menoleh.
"Romi, Rom ... tolong, Rom!"
Jangan menoleh. Jangan.
"Romi ... "
"Kamu nggak percaya ini aku?" Aku dapat mendengar putus asa dari suara itu. Ia mulai terisak.
Ah, konyol!
Kubalikkan badan. Senyap. Suara itu menghilang. Dari balik batu sana, melongok seorang wanita. Rambutnya masai, hitam, dan panjang. Kedua rongga matanya amat kelam, seperti darah beku menempel di sana. Perlahan-lahan ia mendekat. Gaun putihnya compang-camping dan lusuh, melayang sejengkal di permukaan tanah.
Dengan amat pelan dan menusuk, ia berkata, "Kena, Kau!"
Ia menyeringai.
Lalu tawa lengkingnya membahana memecah langit malam dan sunyi yang mencekam.
03 Juli 2015