Oleh: S. N. Aisyah

Sedari
kecil, sepanjang ingatanku, aku tak pernah benar-benar memiliki harapan
tertentu dalam hidup. Mungkin itu pulalah yang jadi sebabku mati suri. Aku tak
melabeli diri sebagai manusia dingin dan tak berperasaan seperti yang
digandrungi manusia-manuisa sakit abad ini. Lalu berbangga diri karenanya sebab
memiliki kecenderungan psikopatis. Tidak. Hal itu hanya dilakukan oleh jiwa
yang terperangkap dalam fase remaja pemberontak, ingin tampak berbeda, dan
haus akan perhatian. Menurutku itu konyol dan—menghindari kata menjijikkan—itu menggelikan.
Oh, tentu saja menyedihkan pula.
Kawan,
aku bukanlah pengidap psikopatis, namun barangkali aku memang seorang pesakitan
psikosis. Bualanku tentang mati suri itu, merujuk pada dangkalnya arus emosi
yang mengalir dalam kehidupkanku. Jikalau ada, ia hanyalah riak yang begitu riuh, namun hanya sesaat. Sangat singkat kemudian tenang, diam seolah tak pernah ada. Tak berniat membekas atau bahkan membangun palung kenangan
yang dapat kukunjungi sekehendak hati. Mungkin itulah sebabnya tak banyak hal
yang kuingat dari masa lalu.
Kau
tahu rasanya tenggelam dalam lautan abu-abu? Di sana, tidak ada semarak percikan
kembang api kenangan yang dapat membujukku merindu 'rindu' atau berhasrat
mengulang masa lalu, kemudian mencari-cari hal yang serupa dengannya di masa
sekarang. Sialnya, tidak pula ada rasa sakit yang dapat kujadikan bara api
untuk membalas dendam pada manusia atau bahkan pada nasib.
Kau
boleh percaya atau tidak. Kau boleh saja mengataiku orang yang tak pandai
bersyukur. Kau boleh mencercaku apa saja. Tak masalah. Setidaknya, itulah yang
kupahami selama menjalani hidup. Kerap kali, sesaat setelah membuka mata dari
tidur yang tak pernah nyenyak dan pikiran yang selalu tak karuan, pertanyaan
itu mewujud layangan yang diterbangkan berputar-putar oleh badai suara dalam
kepalaku: Mengapa kau hidup?
Sial!
Pertanyaan itu, aku tak pernah dapat menjawabnya. Biarlah akan kubuang saja ia
pada langit yang dengan lancangnya begitu cerah tanpa memberikan sontekan
jawaban untukku.
”Denger, nggak?!” Suara gadis itu
mengejutkanku.
”Ya,
tentu saja,” segera kusahut ia. Meskipun tak tahu apa yang telah kulewatkan.
”Bohong.
Jelas-jelas kamu ngelamun. Tahu nggak berapa kali aku manggil?” Ia tersenyum
sambil menggeleng. Kemudian mengencangkan tali sepatu. Jari-jari tangannya yang
kecil terbakar cahaya matahari.
”Beberapa
kali. Kau tadi bilang apa?” tanyaku padanya. Kukencangkan tali sepatu,
mengikutinya.
“Besok,
setelah sparing, anak-anak mengajak karoke. Kamu jangan ngilang terus. Ikut,
ya?”
”Tidak,
kau tahu aku tak akan datang,” sahutku ketus.
”Sesekali
nggak masalah, ‘kan?” bujuknya. Tangannya lincah membereskan tas dan barang
bawaan.
”Aku
tak suka hal-hal semacam itu,” adalah hal terbaik yang dapat kukatakan tanpa
berbohong. Kusandang tas, menunggunya.
”Maaf,
aku tak bermaksud memaksamu. Kalau nggak suka, nggak apa-apa.” Ia penuh maklum.
Ia tersenyum, lalu menyerahkan bola basket padaku. Kami mulai berjalan,
bersisian.
”Kalau
begitu, kamu suka apa?” agaknya ia tak bisa diam.
Aku
tak tahu hal apa yang kusukai, maka dengan jujur kukatakan, ”Tak ada hal yang
spesifik.”
”Serius?
Bagaimana kalau makanan?” Ia bukan tak percaya, tapi kelihatan sangat maklum.
”Tak
ada yang spesifik,” ini juga aku jujur.
”Oke.
Kalau begitu, yang dibenci?” tanyanya penuh antisipasi.
”Pertanyaan
seperti ini,” ucapku padanya.
”Jangan
sok cool kamu.” Ia tertawa. Itulah yang membuatku tak terganggu atas
kehadirannya. Caranya bersikap. Caranya menanggapi kata-kata yang terlahir begitu saja dari
benakku. Meskipun sangat mungkin kalimatku pernah menyayat hatinya, luka itu
hanya disembunyikan di balik tawa. Tidak, aku tak menikmati kenyataan bahwa aku
dapat memperlakukan orang dengan semena-mena. Kenyataan bahwa ada seseorang
yang dapat mengerti seberapa besar keinginanku untuk tak menyakiti siapapun
namun, sebegitu lemah aku untuk mengatasi sifat burukku, membuatku amat
bersyukur—jika perasaan ini yang dinamakan bersyukur. Pun dalam percakapan-percakapan dengan
suara-suara di kepalaku, ia kusebut-sebut sebagai kawan. Sebuah opini yang
mengejutkan diriku sendiri.
”Abis
sparing ada rencana apa?” Dia benar-benar tak bisa diam.
”Mungkin
pulang, mungkin mampir ke pustaka, mungkin yang lain,” begitulah. Aku belum
tahu apa yang akan kulakukan. Tak ada hal yang benar-benar kunantikan atau
ingin kulakukan.
”Oh,
bareng, yuk. Boleh?” tanyanya semangat.
”Kenapa?”
Aku tahu, ia dapat mendengar nada jengkelku.
”Kenapa
apa?” tanyanya.
”Jika
kau hanya merasa kasihan padaku, lupakan saja.” Ya, aku pasti melukainya. Sebab
dapat kulihat rautnya yang sedikit berubah.
”Ngomong
apa, sih?” ucapnya melemah.
”Aku
tak suka menghalangi kesenangan orang lain,” balasku datar, hampir tak terdengar.
”Siapa
yang mengganggu kesenangan siapa?” tanyanya retoris. Aku hanya diam. Mencari
jawaban di matanya. Mata yang bertanya dengan sorot sendu. Kali ini aku tak
begitu yakin, apakah ia bersedih atau tengah prihatin, atau dua-duanya? Belum
lagi teka-teki itu dapat kuatasi, senyum sudah terbit kembali. Begitulah ia.
Terkadang aku sangat muak dengan tingkahnya itu, mungkin aku hanya sebal karena
ia dapat melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan. Ia benar-benar selalu
proihatian pada orang lain, peduli, dan tetap ceria. Bagaiman mungkin ia bisa
tetap ceria di dunia yang busuk seperti ini? Apa ia tolol? Naif, atau ia
hanyalah seorang yang tak tahu cara lain menggunakan hati tanpa tulus. Ya, yang
terakhir adalah jawabannya.
”Apa
kau sudah makan? Ayo kita lomba, Bakso Mbak Yanti?” ajaknya sambil cengengesan.
”Kau
lapar tapi mau lomba lari?” aku sedikit mengkhawatirkan logikanya.
”Yang
kalah bayar!” Belum lagi kami bersepakat, ia sudah berlari sambil tertawa,
rambutnya beriap-riap disapu angin. Aku berdiam diri lalu memutuskan tak punya
pilihan selain mengejarnya.
”Curang,
kamu terlalu cepat.” Ia berteriak riang saat mendapati kami telah
bersisian.
”Aku
curang? Kau yang curi start.” Balasku, riang?
Larinya
melambat, Ia tersenyum seraya melihat lekat padaku.
”Apa?”
”Senyummu
manis,” katanya dengan enteng. Ada jeda
di antara kami, aku sedikit tersentak dan canggung tetapi ia tetap semeringah.
Ia segera menarik lenganku. “Ayo, cepetan! Ntar keburu rame.”
Kami
menyibak kerumunan bocah-bocah SMP yang rusuh dan menguasai jalan tanpa rasa bersalah.
Selalu
begitu. Saat canggung siap membangun tembok di antara kami, ia tepis dengan
tangkas. Sangat tangkas. Tak memberi sedikitpun ruang ketidaknyamanan muncul. Lalu
katakan padaku, bagaimana mungkin aku dapat membencinya? Saat mayat hidup
sepertiku sekonyong-konyong, sekadar hidup, ia berikan komando hidup. Seperti
saat ini, tangannya yang begitu mungil menyeretku, begitu jauh. Jauh tetapi tak
pernah mengundangku untuk ikut dengannya.
Ya,
tak pernah diundang untuk ikut dengannya sebab itu terakhir kalinya kami
berlari bersama. Kawanku, kini tak dapat lagi berlari, atau sparing, atau sekadar
makan bakso Mbak Yanti. Kini ia terbaring kritis, di ruang ICU. Tepat di depan
warung bakso, ia terpelanting, dihantam truk saat menyelamatkan seorang bocah
kecil yang berlarian ke jalan raya demi mengejar layangan. Aku masih dapat mencium darah segar yang
mengalir dari tubuhnya. Kengerian saat kulihat tubuhnya terlempar dan terhempas
masih melekat di setiap sarafku. Kawanku, satu-satunya kawanku. Bayangan itu tak
bisa pergi, saat aku menghampirinya dengan dada berongga, dingin, dan tak
karuan. Setiap sendiku mengigil. Sedangkan ia, sedikit tersenyum sebelum
akhirnya hilang kesadaran. Betapa tubuh mungil itu remuk. Demi menyelamatkan satu
nyawa, ia korbankan miliknya.
Setiap
detik yang kuhabiskan di lorong rumah sakit amat menyiksa. Aku tak dapat
mengusir rasa dingin di tangan atau di
dadaku. Tak lagi tahu sudah berapa lama aku berdiam di sana. Tak pernah pulang.
Bicara pada orang-orang tapi tak dapat mengingat siapa dan apa yang kukatakan
pada mereka. Tak henti-henti merapal doa dalam hati. Memohon Tuhan agar
mendengar doa yang jarang kubisikkan.
Suatu
pagi, di hari ke sekian sejak kejadian itu, seseorang mengguncang pelan bahuku.
Aku membuka mata, menahan gigil akibat tidur di kursi besi lobi poli yang keras
dan dingin. Bersusah payah mengerjapkan mata, meraih kesadaran penuh.
”Rania
ingin bertemu,”
Langkahku
memburu, mengikuti si pemandu dengan tergesa-gesa.
Di
sana ia, kawanku. Menyambut dengan senyum lemah. Di belakangnya, cahaya matahari
menembus kaca jendela. Menyinarinya dengan lembut dan agung. Waktu berputar lambat, amat lambat. Setiap pergerakan berjalan lamban. Aku tak dapat
menahan haru.
Seperti saat ini, aku pun tak lagi dapat mencegah air mata.
Tak kuasa mengusir pilu yang bersemayam mencabik-cabik jantung. Senyumnya,
sikapnya, semangat hidupnya, semua kebaikannya. Tertinggal di sini. Bersamaku. Saat
tanah terakhir menimbun jenazah mungil itu, kata-katanya kembali bergaung di kepala.
”Hiduplah, karena kamu masih memilikinya.”
27 Juni 2025