Jumat, 04 Juli 2025

Thought: Bangku Suporter


Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau takut ditinggalkan. Hanya tak ingin orang lain merasa buruk dan merasa sendirian. Setidaknya itulah yang saya percayai. 

Namun, saat saya bercakap dengan seseorang, dia mengatakan bahwa saya melakukan semua hal sebab saya takut dihakimi. 

"Masa', itu aja nggak mau bantu."

Seperti itu kira-kira suara yang takut saya dengar--menurutnya. 


Saya tak setuju dengannya. Saya tidak takut dinilai buruk sama sekali. Bahkan saya kerap membiarkan penilaian buruk orang lain terhadap diri saya. Tak ingin repot-repot menjelaskan jika tak diperlukan. Sama dengan pendapat si kawan ini, saya tidak ingin meluruskan pandangannya terhadap saya. Saya hanya mengatakan, "Oh, gitu, ya."


Saya sering mengurangi waktu tidur, menahan diri, menunggu hingga berjam-jam, ditinggal sendirian, menahan rasa letih, tetapi tak menolak permintaan orang lain pada saya. Jangan salah paham, semua yang saya lakukan tidaklah sepenting dan sebesar itu. Bahkan mungkin tidak dapat dikatakan sebuah usaha yang berarti, terlalu sepele untuk diingat. Akan tetapi, dalam pikiran saya sebagai suporter: jika tidak saya, siapa lagi? 


Mungkin karena itulah, menurut pendapat orang di sekitar saya, saya membantu secara tidak rasional. Namun, saya menolak pendapat mereka. Bersikeras bahwa saya rasional. Sebab saya tak ikut campur dan tolong-menolong dalam hal yang tak sesuai dengan nilai yang saya yakini--semampu, sekeras, dan sesanggup yang saya bisa. 


Saya akui, bahwa dahulu saya sangat naif. Beranggapan jika saya tak membantu orang yang datang pada saya, pada siapa lagi mereka akan datang? Padahal tentu saja saya bukanlah satu-satunya sumber yang bisa membantu. Bahkan mungkin mereka sendiri lebih mampu daripada saya. Namun, kenaifan diri itulah yang membuat saya berpikiran bagaimana kalau tidak saya bantu, tak ada yang akan membantu mereka? Bagaimana kalau mereka kesulitan? Padahal bantuan saya, tentu saja tak sebaik dan secukup itu. 😅


Saya tak mengerti diri saya sendiri. Sekarang, bahkan saya menjadi orang yang enggan terlibat dengan apapun. Saya tahu, ini bukan kesalahan orang lain, tetapi kesalahan saya yang tak pernah mengerti keadaan diri sendiri. Mana mungkin orang lain tahu bahwa saya sedang letih atau sedang kesulitan, jika saya tak pernah mengutarakannya?


Lalu, saya sadar bahwa, yang saya lakukan bukanlah bentuk pertolongan. Jika itu pertolongan, mengapa sekarang saya, meski tak mengingat jelas bentuk 'pertolongan' itu tetapi masih mengingat perasaan saat melakukannya? Menjadi apatis karenanya? Saya tak menolong tetapi menyelamatkan ego. 


Saat itu, saya bukanlah menjadi orang baik. Apapun yang saya lakukan, saya anggap hanya membantu diri sendiri tanpa sadar juga mengabaikannya. Back up kerja kelompok (sedari masa sekolah) saya anggap sebagai tanggung jawab semata. Tak peduli jika 'teman kelompok' memberikan alasan yang dapat dipertanyakan kewajarannya untuk tak mengerjakan tugas. Saya akan menyelesaikannya. Semata demi tanggung jawab. Semata sebab the job has to be done.


Mungkin si kawan itu benar. Bukan tentang takut dihakimi. Ia benar bahwa saya bukanlah orang yang baik, bukan seorang penolong yang tulus. Mungkin saya tak pernah membantu sekalipun. Apa pun itu, semua yang saya alami dalam hidup tak lepas dari tanggung jawab diri sendiri. Lalu, menerima konsekuensinya. 


Sekarang saya tetap memilih jadi seorang supporter. Bukan dalam artian terus menjadi tak rasional dalam membantu dan menyelamatkan ego. Saya akan tetap jadi suporter yang sehat. Ya, saya belajar untuk itu. Namun, lebih daripada itu, kali ini saya juga akan menjadi suporter bagi diri saya.

Kamis, 03 Juli 2025

Fiksi Mini: Jangan Menoleh!

Oleh: S. N. Aisyah


Aku sering kali mendengkus ketika  lagi-lagi mereka  membahas hal itu. Bayangkan saja, ada setan wanita yang mengikuti Sutan Rangkayo minggu lalu. Katanya, minta diantar pulang, membonceng sepeda motor lelaki paruh baya itu. Spontan saja, Sutan Rangkayo turun dan lari terbirit-birit meninggalkan sepeda motornya. 

Menurutmu siapa yang lebih konyol, keberadaan setan wanita yang kurang kerjaan itu atau kenyataan lelaki yang sudah hidup selama 50 tahun, yang  memilih berlari dibandingkan membawa sepeda motornya pulang? Omong kosong. Kurasa, mereka menceritakan itu hanya untuk mencegahku pulang. Agar dapat bermain gim hingga larut malam. Dasar, mereka kira dunia hanya untuk bermain-main saja?!

Maka, dengan hati dongkol, kupacu sepeda motor. Seorang diri. Hampir saja pukul dua belas malam. Rinai. Gelap gulita. Hanya lampu sepeda motor yang menerangiku melewati pesisir pantai. Cahayanya menjangkau hingga pinggiran bibir pantai yang dibatasi bebatuan alami raksasa--bertumpuk, sumuk, dan suram. Kesiur angin berembus, terus-menerus, bagaikan nyanyian sendu menerobos celah-celah batuan itu. Semakin lama, entah mengapa embusan angin itu  lamat-lamat dan lekat di daun telingaku. Lalu, menjelma tangisan pilu. 

Bulu kuduku meremang. Aku terlonjak saat motor bebek yang kukendarai mati seketika.


"Hey, kalau kau dengar ada yang memanggil namamu, jangan berhenti. Jangan menoleh." Kembali terngiang peringatan Ardi padaku.

"Mengapa?" tanyaku padanya.

"Kau gila? Sudah pasti itu 'Dia'." 


Masih dapat kuingat pucat pasi serta khawatir di wajah Ardi saat mengatakannya. 

Ah, ada-ada saja! Aku terus mengengkol motor seraya berusaha tak mengumpat dalam hati.

"Rom, Romi ...." 

Dela? Bukankah itu suara Dela? Oh, tidak. Jangan menoleh. 

"Romi, Rom ... tolong, Rom!" 

Jangan menoleh. Jangan.

"Romi ... " 

"Kamu nggak percaya ini aku?" Aku dapat mendengar putus asa dari suara itu. Ia mulai terisak.

Ah, konyol!

Kubalikkan badan. Senyap. Suara itu menghilang. Dari balik batu sana, melongok seorang wanita. Rambutnya masai, hitam, dan panjang. Kedua rongga matanya amat kelam, seperti darah beku menempel di sana. Perlahan-lahan ia mendekat. Gaun putihnya compang-camping dan lusuh, melayang sejengkal di permukaan tanah. 

Dengan amat pelan dan menusuk, ia berkata, "Kena, Kau!"

Ia menyeringai.

Lalu tawa lengkingnya membahana memecah langit malam dan sunyi yang mencekam. 


03 Juli 2015

Rabu, 02 Juli 2025

Book: A Piece of Childhood in Moby Dick

Oleh: S. N. Aisyah

Saat kecil,  membaca buku adalah cara lain bagi saya untuk berpetualang. Menemukan dunia-dunia baru yang dapat menyeret saya kedalamnya tanpa harus beranjak sesenti pun. Membuka pintu-pintu dan jendela-jendela yang begitu asing, namun begitu menyenangan. Akan tetapi, seiring beranjak dewasa, membaca buku tak lagi seperti berpetualang, seolah tak ada lagi hal yang benar-benar baru. Membaca menjadi kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menstimulus otak, menerjemahkan simbol-simbol, pencarian informasi dan makna, mencari hikmah, mengasah empati, serta  mengasosiasi bacaan dengan kehidupan nyata untuk belajar--memahami manusia dan dunianya. Ketika beranjak dewasa, Sudut pandang membaca buku tak lagi sama dengan masa kecil dahulu: sederhana, baru, mendebarkan, tetapi juga penuh pembelajaran tanpa rasa antisipasi dan ekspektasi terhadapnya. Begitu lugu dan polos.

Sudah lama saya tak merasakan perasaan itu saat membaca hingga akhirnya saya bertemu dengan Moby Dick. Tentu saja dalam sebuah novel karya Herman Melville.
 
Sudahkah kamu mengenalnya juga,  Moby Dick,  paus putih raksasa legendaris--monster lautan yang tak terkalahkan itu?

Kita dapat 'mengenal' Sang Legenda Lautan itu dari seorang pensiunan guru muda, Ishmael--tokoh utama kita dalam novel ini-- yang merasa bosan dengan hidupnya. Demi  menyalakan percikan api untuk mengobarkan semangat hidup, ia meninggalkan profesi yang lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kelas itu. Menantang hidup secara nyata, memenuhi panggilan hatinya untuk mengarungi lautan luas.

Ishmael, sang mantan guru itu, akhirnya mengunjungi New Bedford yang berada di daerah Massachussets,  menyewa kamar di penginapan murah, tempat bersarangnya para  pemburu paus. Di sanalah ia  mendaatkan seorang teman, Queequeeg. Seorang penombak jitu, pemburu paus yang memiliki reputasi dan penampilan yang amat tegas--mungkin juga menakutkan bagi sebagian orang-- tetapi hatinya sangat amat baik. Ia seorang penombak jitu sejati. 

Dua sekawan ini, akhirnya pergi ke pelabuhan untuk mencari kapal yang dapat membawa mereka pergi memburu paus. Hingga akhirnya, Ishmael dan Queequeeg memilih melaut bersama Kapal Pequod,  kapal terkutuk yang dipimpin oleh Ahab, seorang kapten berkaki satu. Mengabaikan peringatan dari sosok misterius yang ia jumpai di pelabuhan tepat sesaat setelah mendaftar menjadi awak kapal Peqoud.

Tak pernah ia sangka bahwa pelayarannya bersama Peqoud itu menjadi momen yang akan menguncang hidup Ishmael. Ahab, Sang Kapten terobsesi untuk memburu paus legendaris, Moby Dick, si paus putih, monster lautan yang tak terkalahkan dan konon telah merenggut kaki Sang Kapten. Dengan kaki palsunya, Ahab melangkah, bersumpah akan menangkap Moby Dick, membalaskan dendam. Berduel hidup atau mati. 

Kisah Ishmael dan Peqoud benar-benar sangat mendebarkan. Herman Melville dapat merekam perjalanan berlayar di laut lepas dengan jelas dan membekas. Kata-kata yang lugas, sederhana  dan bernyawa dapat membuat saya tenggelam dalam cerita sepenuhnya, merasakan pengalaman baru. Ia membuat saya terkenang kembali akan masa kecil, ketika membaca adalah dunia berpetualang saya. Menyedot saya sepenuhnya ke dalam perburuan paus di lautan lepas. Moby Dick mampu melakukan itu pada jiwa kanak-kanak saya, memanggilnya kembali. Membantu saya kembali merasakan bagaimana membaca tanpa ekspektasi. Namun, tetap dapat memperoleh petualangan dan petuah darinya.

Dari Moby Dick, saya diajak mengingat lagi hal-hal yang sudah diajarkan oleh hidup. Banyak nilai moral tersirat dan tersurat yang dapat diperoleh dalam kisah perjalanan memburu paus ini. Salah satu yang paling mencolok adalah pentingnya peran Kapten atau pemimpin dalam berlayar, juga bagaimana ambisi  dapat menghancurkan seseorang dan bahkan dapat menyeret orang-orang lain bersamanya.  

Tak hanya itu, konflik antar tokoh dan konflik batin dari tokoh-tokohnya juga dikemas dengan baik. Dengan alur cerita sederhana dan berisikan nilai-nilai klasik yang sering terlupakan, Moby Dick mampu menyuguhkan sebuah kisah petualangan mengarungi lautan, yang diselesaikan dengan penuh hikmah, sunyi, serta penuh perenungan. Bahkan, mampu membawa kembali jiwa kanak-kanak pulang. 



Poem: Pagi

oleh: S. N. Aisyah

Angin

Belai kepala

Usir kantuk dan rutuk


Matahari

Menyundul langit

Bikin mata menyeringit


Kurentang lengan

Berkawan dengan angan


Meski barang sebentar 

Menghadap diri 

dengan sabar


June, 2025

Sabtu, 28 Juni 2025

Cerpen: Seorang Kawan

Oleh: S. N. Aisyah


Sedari kecil, sepanjang ingatanku, aku tak pernah benar-benar memiliki harapan tertentu dalam hidup. Mungkin itu pulalah yang jadi sebabku mati suri. Aku tak melabeli diri sebagai manusia dingin dan tak berperasaan seperti yang digandrungi manusia-manuisa sakit abad ini. Lalu berbangga diri karenanya sebab memiliki kecenderungan psikopatis. Tidak. Hal itu hanya dilakukan oleh jiwa yang terperangkap dalam fase remaja pemberontak, ingin tampak berbeda, dan haus akan perhatian. Menurutku itu konyol dan—menghindari kata menjijikkan—itu menggelikan. Oh, tentu saja menyedihkan pula.

Kawan, aku bukanlah pengidap psikopatis, namun barangkali aku memang seorang pesakitan psikosis. Bualanku tentang mati suri itu, merujuk pada dangkalnya arus emosi yang mengalir dalam kehidupkanku. Jikalau ada, ia hanyalah riak yang begitu riuh, namun hanya sesaat. Sangat singkat kemudian tenang, diam seolah tak pernah ada. Tak berniat membekas atau bahkan membangun palung kenangan yang dapat kukunjungi sekehendak hati. Mungkin itulah sebabnya tak banyak hal yang kuingat dari masa lalu.

Kau tahu rasanya tenggelam dalam lautan abu-abu? Di sana, tidak ada semarak percikan kembang api kenangan yang dapat membujukku merindu 'rindu' atau berhasrat mengulang masa lalu, kemudian mencari-cari hal yang serupa dengannya di masa sekarang. Sialnya, tidak pula ada rasa sakit yang dapat kujadikan bara api untuk membalas dendam pada manusia atau bahkan pada nasib.

Kau boleh percaya atau tidak. Kau boleh saja mengataiku orang yang tak pandai bersyukur. Kau boleh mencercaku apa saja. Tak masalah. Setidaknya, itulah yang kupahami selama menjalani hidup. Kerap kali, sesaat setelah membuka mata dari tidur yang tak pernah nyenyak dan pikiran yang selalu tak karuan, pertanyaan itu mewujud layangan yang diterbangkan berputar-putar oleh badai suara dalam kepalaku: Mengapa kau hidup?

Sial! Pertanyaan itu, aku tak pernah dapat menjawabnya. Biarlah akan kubuang saja ia pada langit yang dengan lancangnya begitu cerah tanpa memberikan sontekan jawaban untukku.

Denger, nggak?!” Suara gadis itu mengejutkanku.

”Ya, tentu saja,” segera kusahut ia. Meskipun tak tahu apa yang telah kulewatkan.

”Bohong. Jelas-jelas kamu ngelamun. Tahu nggak berapa kali aku manggil?” Ia tersenyum sambil menggeleng. Kemudian mengencangkan tali sepatu. Jari-jari tangannya yang kecil terbakar cahaya matahari.

”Beberapa kali. Kau tadi bilang apa?” tanyaku padanya. Kukencangkan tali sepatu, mengikutinya.

“Besok, setelah sparing, anak-anak mengajak karoke. Kamu jangan ngilang terus. Ikut, ya?”

”Tidak, kau tahu aku tak akan datang,” sahutku ketus.

”Sesekali nggak masalah, ‘kan?” bujuknya. Tangannya lincah membereskan tas dan barang bawaan.

”Aku tak suka hal-hal semacam itu,” adalah hal terbaik yang dapat kukatakan tanpa berbohong. Kusandang tas, menunggunya.

”Maaf, aku tak bermaksud memaksamu. Kalau nggak suka, nggak apa-apa.” Ia penuh maklum. Ia tersenyum, lalu menyerahkan bola basket padaku. Kami mulai berjalan, bersisian.

”Kalau begitu, kamu suka apa?” agaknya ia tak bisa diam.

Aku tak tahu hal apa yang kusukai, maka dengan jujur kukatakan, ”Tak ada hal yang spesifik.”

”Serius? Bagaimana kalau makanan?” Ia bukan tak percaya, tapi kelihatan sangat maklum.

”Tak ada yang spesifik,” ini juga aku jujur.

”Oke. Kalau begitu, yang dibenci?” tanyanya penuh antisipasi.

”Pertanyaan seperti ini,” ucapku padanya.

”Jangan sok cool kamu.” Ia tertawa. Itulah yang membuatku tak terganggu atas kehadirannya. Caranya bersikap. Caranya menanggapi  kata-kata yang terlahir begitu saja dari benakku. Meskipun sangat mungkin kalimatku pernah menyayat hatinya, luka itu hanya disembunyikan di balik tawa. Tidak, aku tak menikmati kenyataan bahwa aku dapat memperlakukan orang dengan semena-mena. Kenyataan bahwa ada seseorang yang dapat mengerti seberapa besar keinginanku untuk tak menyakiti siapapun namun, sebegitu lemah aku untuk mengatasi sifat burukku, membuatku amat bersyukur—jika perasaan ini yang dinamakan bersyukur.  Pun dalam percakapan-percakapan dengan suara-suara di kepalaku, ia kusebut-sebut sebagai kawan. Sebuah opini yang mengejutkan diriku sendiri.

”Abis sparing ada rencana apa?” Dia benar-benar tak bisa diam.

”Mungkin pulang, mungkin mampir ke pustaka, mungkin yang lain,” begitulah. Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Tak ada hal yang benar-benar kunantikan atau ingin kulakukan.

”Oh, bareng, yuk. Boleh?” tanyanya semangat.

”Kenapa?” Aku tahu, ia dapat mendengar nada jengkelku.

”Kenapa apa?” tanyanya.

”Jika kau hanya merasa kasihan padaku, lupakan saja.” Ya, aku pasti melukainya. Sebab dapat kulihat rautnya yang sedikit berubah.

”Ngomong apa, sih?” ucapnya melemah.

”Aku tak suka menghalangi kesenangan orang lain,”  balasku datar, hampir tak terdengar.

”Siapa yang mengganggu kesenangan siapa?” tanyanya retoris. Aku hanya diam. Mencari jawaban di matanya. Mata yang bertanya dengan sorot sendu. Kali ini aku tak begitu yakin, apakah ia bersedih atau tengah prihatin, atau dua-duanya? Belum lagi teka-teki itu dapat kuatasi, senyum sudah terbit kembali. Begitulah ia. Terkadang aku sangat muak dengan tingkahnya itu, mungkin aku hanya sebal karena ia dapat melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan. Ia benar-benar selalu proihatian pada orang lain, peduli, dan tetap ceria. Bagaiman mungkin ia bisa tetap ceria di dunia yang busuk seperti ini? Apa ia tolol? Naif, atau ia hanyalah seorang yang tak tahu cara lain menggunakan hati tanpa tulus. Ya, yang terakhir adalah jawabannya.

”Apa kau sudah makan? Ayo kita lomba, Bakso Mbak Yanti?” ajaknya sambil cengengesan.

”Kau lapar tapi mau lomba lari?” aku sedikit mengkhawatirkan logikanya.

”Yang kalah bayar!” Belum lagi kami bersepakat, ia sudah berlari sambil tertawa, rambutnya beriap-riap disapu angin. Aku berdiam diri lalu memutuskan tak punya pilihan selain mengejarnya.

”Curang, kamu terlalu cepat.” Ia berteriak riang saat mendapati kami  telah bersisian.

”Aku curang? Kau yang curi start.” Balasku, riang?

Larinya melambat, Ia tersenyum seraya melihat  lekat padaku.

”Apa?”

”Senyummu manis,” katanya dengan enteng.  Ada jeda di antara kami, aku sedikit tersentak dan canggung tetapi ia tetap semeringah. Ia segera menarik lenganku. “Ayo, cepetan! Ntar keburu rame.”

Kami menyibak kerumunan bocah-bocah SMP yang  rusuh dan menguasai jalan tanpa rasa bersalah.

Selalu begitu. Saat canggung siap membangun tembok di antara kami, ia tepis dengan tangkas. Sangat tangkas. Tak memberi sedikitpun ruang ketidaknyamanan muncul. Lalu katakan padaku, bagaimana mungkin aku dapat membencinya? Saat mayat hidup sepertiku sekonyong-konyong, sekadar hidup, ia berikan komando hidup. Seperti saat ini, tangannya yang begitu mungil menyeretku, begitu jauh. Jauh tetapi tak pernah mengundangku untuk ikut dengannya.

Ya, tak pernah diundang untuk ikut dengannya sebab itu terakhir kalinya kami berlari bersama. Kawanku, kini tak dapat lagi berlari, atau sparing, atau sekadar makan bakso Mbak Yanti. Kini ia terbaring kritis, di ruang ICU. Tepat di depan warung bakso, ia terpelanting, dihantam truk saat menyelamatkan seorang bocah kecil yang berlarian ke jalan raya demi mengejar layangan. Aku masih dapat mencium darah segar yang mengalir dari tubuhnya. Kengerian saat kulihat tubuhnya terlempar dan terhempas masih melekat di setiap sarafku. Kawanku, satu-satunya kawanku. Bayangan itu tak bisa pergi, saat aku menghampirinya dengan dada berongga, dingin, dan tak karuan. Setiap sendiku mengigil. Sedangkan ia, sedikit tersenyum sebelum akhirnya hilang kesadaran. Betapa tubuh mungil itu remuk. Demi menyelamatkan satu nyawa, ia korbankan miliknya.

Setiap detik yang kuhabiskan di lorong rumah sakit amat menyiksa. Aku tak dapat mengusir  rasa dingin di tangan atau di dadaku. Tak lagi tahu sudah berapa lama aku berdiam di sana. Tak pernah pulang. Bicara pada orang-orang tapi tak dapat mengingat siapa dan apa yang kukatakan pada mereka. Tak henti-henti merapal doa dalam hati. Memohon Tuhan agar mendengar doa yang jarang kubisikkan.

Suatu pagi, di hari ke sekian sejak kejadian itu, seseorang mengguncang pelan bahuku. Aku membuka mata, menahan gigil akibat tidur di kursi besi lobi poli yang keras dan dingin. Bersusah payah mengerjapkan mata, meraih kesadaran penuh.

”Rania ingin bertemu,”

Langkahku memburu, mengikuti si pemandu dengan tergesa-gesa.

Di sana ia, kawanku. Menyambut dengan senyum lemah. Di belakangnya, cahaya matahari menembus kaca jendela. Menyinarinya dengan lembut dan agung. Waktu berputar lambat, amat lambat. Setiap pergerakan berjalan lamban. Aku tak dapat menahan haru. 

Seperti saat ini, aku pun tak lagi dapat mencegah air mata. Tak kuasa mengusir pilu yang bersemayam mencabik-cabik jantung. Senyumnya, sikapnya, semangat hidupnya, semua kebaikannya. Tertinggal di sini. Bersamaku. Saat tanah terakhir menimbun jenazah mungil itu, kata-katanya kembali bergaung di kepala.

”Hiduplah, karena kamu masih memilikinya.”

27 Juni 2025

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...