Sabtu, 28 Juni 2025

Cerpen: Seorang Kawan

Oleh: S. N. Aisyah


Sedari kecil, sepanjang ingatanku, aku tak pernah benar-benar memiliki harapan tertentu dalam hidup. Mungkin itu pulalah yang jadi sebabku mati suri. Aku tak melabeli diri sebagai manusia dingin dan tak berperasaan seperti yang digandrungi manusia-manuisa sakit abad ini. Lalu berbangga diri karenanya sebab memiliki kecenderungan psikopatis. Tidak. Hal itu hanya dilakukan oleh jiwa yang terperangkap dalam fase remaja pemberontak, ingin tampak berbeda, dan haus akan perhatian. Menurutku itu konyol dan—menghindari kata menjijikkan—itu menggelikan. Oh, tentu saja menyedihkan pula.

Kawan, aku bukanlah pengidap psikopatis, namun barangkali aku memang seorang pesakitan psikosis. Bualanku tentang mati suri itu, merujuk pada dangkalnya arus emosi yang mengalir dalam kehidupkanku. Jikalau ada, ia hanyalah riak yang begitu riuh, namun hanya sesaat. Sangat singkat kemudian tenang, diam seolah tak pernah ada. Tak berniat membekas atau bahkan membangun palung kenangan yang dapat kukunjungi sekehendak hati. Mungkin itulah sebabnya tak banyak hal yang kuingat dari masa lalu.

Kau tahu rasanya tenggelam dalam lautan abu-abu? Di sana, tidak ada semarak percikan kembang api kenangan yang dapat membujukku merindu 'rindu' atau berhasrat mengulang masa lalu, kemudian mencari-cari hal yang serupa dengannya di masa sekarang. Sialnya, tidak pula ada rasa sakit yang dapat kujadikan bara api untuk membalas dendam pada manusia atau bahkan pada nasib.

Kau boleh percaya atau tidak. Kau boleh saja mengataiku orang yang tak pandai bersyukur. Kau boleh mencercaku apa saja. Tak masalah. Setidaknya, itulah yang kupahami selama menjalani hidup. Kerap kali, sesaat setelah membuka mata dari tidur yang tak pernah nyenyak dan pikiran yang selalu tak karuan, pertanyaan itu mewujud layangan yang diterbangkan berputar-putar oleh badai suara dalam kepalaku: Mengapa kau hidup?

Sial! Pertanyaan itu, aku tak pernah dapat menjawabnya. Biarlah akan kubuang saja ia pada langit yang dengan lancangnya begitu cerah tanpa memberikan sontekan jawaban untukku.

Denger, nggak?!” Suara gadis itu mengejutkanku.

”Ya, tentu saja,” segera kusahut ia. Meskipun tak tahu apa yang telah kulewatkan.

”Bohong. Jelas-jelas kamu ngelamun. Tahu nggak berapa kali aku manggil?” Ia tersenyum sambil menggeleng. Kemudian mengencangkan tali sepatu. Jari-jari tangannya yang kecil terbakar cahaya matahari.

”Beberapa kali. Kau tadi bilang apa?” tanyaku padanya. Kukencangkan tali sepatu, mengikutinya.

“Besok, setelah sparing, anak-anak mengajak karoke. Kamu jangan ngilang terus. Ikut, ya?”

”Tidak, kau tahu aku tak akan datang,” sahutku ketus.

”Sesekali nggak masalah, ‘kan?” bujuknya. Tangannya lincah membereskan tas dan barang bawaan.

”Aku tak suka hal-hal semacam itu,” adalah hal terbaik yang dapat kukatakan tanpa berbohong. Kusandang tas, menunggunya.

”Maaf, aku tak bermaksud memaksamu. Kalau nggak suka, nggak apa-apa.” Ia penuh maklum. Ia tersenyum, lalu menyerahkan bola basket padaku. Kami mulai berjalan, bersisian.

”Kalau begitu, kamu suka apa?” agaknya ia tak bisa diam.

Aku tak tahu hal apa yang kusukai, maka dengan jujur kukatakan, ”Tak ada hal yang spesifik.”

”Serius? Bagaimana kalau makanan?” Ia bukan tak percaya, tapi kelihatan sangat maklum.

”Tak ada yang spesifik,” ini juga aku jujur.

”Oke. Kalau begitu, yang dibenci?” tanyanya penuh antisipasi.

”Pertanyaan seperti ini,” ucapku padanya.

”Jangan sok cool kamu.” Ia tertawa. Itulah yang membuatku tak terganggu atas kehadirannya. Caranya bersikap. Caranya menanggapi  kata-kata yang terlahir begitu saja dari benakku. Meskipun sangat mungkin kalimatku pernah menyayat hatinya, luka itu hanya disembunyikan di balik tawa. Tidak, aku tak menikmati kenyataan bahwa aku dapat memperlakukan orang dengan semena-mena. Kenyataan bahwa ada seseorang yang dapat mengerti seberapa besar keinginanku untuk tak menyakiti siapapun namun, sebegitu lemah aku untuk mengatasi sifat burukku, membuatku amat bersyukur—jika perasaan ini yang dinamakan bersyukur.  Pun dalam percakapan-percakapan dengan suara-suara di kepalaku, ia kusebut-sebut sebagai kawan. Sebuah opini yang mengejutkan diriku sendiri.

”Abis sparing ada rencana apa?” Dia benar-benar tak bisa diam.

”Mungkin pulang, mungkin mampir ke pustaka, mungkin yang lain,” begitulah. Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Tak ada hal yang benar-benar kunantikan atau ingin kulakukan.

”Oh, bareng, yuk. Boleh?” tanyanya semangat.

”Kenapa?” Aku tahu, ia dapat mendengar nada jengkelku.

”Kenapa apa?” tanyanya.

”Jika kau hanya merasa kasihan padaku, lupakan saja.” Ya, aku pasti melukainya. Sebab dapat kulihat rautnya yang sedikit berubah.

”Ngomong apa, sih?” ucapnya melemah.

”Aku tak suka menghalangi kesenangan orang lain,”  balasku datar, hampir tak terdengar.

”Siapa yang mengganggu kesenangan siapa?” tanyanya retoris. Aku hanya diam. Mencari jawaban di matanya. Mata yang bertanya dengan sorot sendu. Kali ini aku tak begitu yakin, apakah ia bersedih atau tengah prihatin, atau dua-duanya? Belum lagi teka-teki itu dapat kuatasi, senyum sudah terbit kembali. Begitulah ia. Terkadang aku sangat muak dengan tingkahnya itu, mungkin aku hanya sebal karena ia dapat melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan. Ia benar-benar selalu proihatian pada orang lain, peduli, dan tetap ceria. Bagaiman mungkin ia bisa tetap ceria di dunia yang busuk seperti ini? Apa ia tolol? Naif, atau ia hanyalah seorang yang tak tahu cara lain menggunakan hati tanpa tulus. Ya, yang terakhir adalah jawabannya.

”Apa kau sudah makan? Ayo kita lomba, Bakso Mbak Yanti?” ajaknya sambil cengengesan.

”Kau lapar tapi mau lomba lari?” aku sedikit mengkhawatirkan logikanya.

”Yang kalah bayar!” Belum lagi kami bersepakat, ia sudah berlari sambil tertawa, rambutnya beriap-riap disapu angin. Aku berdiam diri lalu memutuskan tak punya pilihan selain mengejarnya.

”Curang, kamu terlalu cepat.” Ia berteriak riang saat mendapati kami  telah bersisian.

”Aku curang? Kau yang curi start.” Balasku, riang?

Larinya melambat, Ia tersenyum seraya melihat  lekat padaku.

”Apa?”

”Senyummu manis,” katanya dengan enteng.  Ada jeda di antara kami, aku sedikit tersentak dan canggung tetapi ia tetap semeringah. Ia segera menarik lenganku. “Ayo, cepetan! Ntar keburu rame.”

Kami menyibak kerumunan bocah-bocah SMP yang  rusuh dan menguasai jalan tanpa rasa bersalah.

Selalu begitu. Saat canggung siap membangun tembok di antara kami, ia tepis dengan tangkas. Sangat tangkas. Tak memberi sedikitpun ruang ketidaknyamanan muncul. Lalu katakan padaku, bagaimana mungkin aku dapat membencinya? Saat mayat hidup sepertiku sekonyong-konyong, sekadar hidup, ia berikan komando hidup. Seperti saat ini, tangannya yang begitu mungil menyeretku, begitu jauh. Jauh tetapi tak pernah mengundangku untuk ikut dengannya.

Ya, tak pernah diundang untuk ikut dengannya sebab itu terakhir kalinya kami berlari bersama. Kawanku, kini tak dapat lagi berlari, atau sparing, atau sekadar makan bakso Mbak Yanti. Kini ia terbaring kritis, di ruang ICU. Tepat di depan warung bakso, ia terpelanting, dihantam truk saat menyelamatkan seorang bocah kecil yang berlarian ke jalan raya demi mengejar layangan. Aku masih dapat mencium darah segar yang mengalir dari tubuhnya. Kengerian saat kulihat tubuhnya terlempar dan terhempas masih melekat di setiap sarafku. Kawanku, satu-satunya kawanku. Bayangan itu tak bisa pergi, saat aku menghampirinya dengan dada berongga, dingin, dan tak karuan. Setiap sendiku mengigil. Sedangkan ia, sedikit tersenyum sebelum akhirnya hilang kesadaran. Betapa tubuh mungil itu remuk. Demi menyelamatkan satu nyawa, ia korbankan miliknya.

Setiap detik yang kuhabiskan di lorong rumah sakit amat menyiksa. Aku tak dapat mengusir  rasa dingin di tangan atau di dadaku. Tak lagi tahu sudah berapa lama aku berdiam di sana. Tak pernah pulang. Bicara pada orang-orang tapi tak dapat mengingat siapa dan apa yang kukatakan pada mereka. Tak henti-henti merapal doa dalam hati. Memohon Tuhan agar mendengar doa yang jarang kubisikkan.

Suatu pagi, di hari ke sekian sejak kejadian itu, seseorang mengguncang pelan bahuku. Aku membuka mata, menahan gigil akibat tidur di kursi besi lobi poli yang keras dan dingin. Bersusah payah mengerjapkan mata, meraih kesadaran penuh.

”Rania ingin bertemu,”

Langkahku memburu, mengikuti si pemandu dengan tergesa-gesa.

Di sana ia, kawanku. Menyambut dengan senyum lemah. Di belakangnya, cahaya matahari menembus kaca jendela. Menyinarinya dengan lembut dan agung. Waktu berputar lambat, amat lambat. Setiap pergerakan berjalan lamban. Aku tak dapat menahan haru. 

Seperti saat ini, aku pun tak lagi dapat mencegah air mata. Tak kuasa mengusir pilu yang bersemayam mencabik-cabik jantung. Senyumnya, sikapnya, semangat hidupnya, semua kebaikannya. Tertinggal di sini. Bersamaku. Saat tanah terakhir menimbun jenazah mungil itu, kata-katanya kembali bergaung di kepala.

”Hiduplah, karena kamu masih memilikinya.”

27 Juni 2025

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...