Jumat, 11 April 2025

Cerpen: Percakapan di Bahu Jalan

Aku mulai terengah menjajari langkahnya. Lalu lalang kendaraan mengisi jeda panjang dalam percakapan kami.

“Lalu kau akan ke mana?” Akhirnya kata itu melompat juga dari mulutku. Hening. Sesaat kemudian, hanya deru kendaraan lagi yang terdengar. Sedang langkahnya semakin panjang saja.

“Akan ke mana kau?!” Suaraku lebih lantang dari yang kuharapkan. Melesat begitu saja dengan buncah yang tidak terjelaskan.

Akhirnya ia menoleh juga. ”Ke mana saja,” hanya itu yang ia katakan. Ia kembali melangkah.

“Apa maksudmu ke mana saja. Kalau kau tidak punya tujuan, tak bisakah kau tetap tinggal?” Ini pertama kalinya aku mendengar ketidakyakinan darinya.

”Tidak. Kau tau aku tak bisa begitu,” ucapnya lemah. Ia berhenti melangkah. Mengambil tempat di bangku jalan. Aku turut duduk di sisinya. Merasa bersyukur ia memilih berhenti sebab napasku mulai tersengal.

”Omong kosong. Aku tidak terima alasan-alasanmu itu. Jika salah, perbaiki. Jika bodoh, belajar. Jika kurang, tambah. Bukan pergi. Bukan menyerah.” Aku mencecarnya dengan prinsip-prisipnya. Berani-beraninya ia mengkhianati prinsip yang selama ini teguh mengakar dalam dirinya. Alih-alih, ia memberikan alasan bodoh sebagai pembenaran.

”Kau benar.” Ia takzim mengaminiku. Kupikir ia akan meyakinkanku dengan argumen-argumennya – seperti yang biasanya ia lakukan. Entah mengapa aku merasa kedinginan. Seolah awan yang baru saja menutupi bulan sabit di langit malam ini turut menyelimutiku. Aku memangku tangan bersilang, menghangatkan diri seraya memanasi percakapan kami.

”Ya, aku benar. Lalu apa ini? Mengambil keputusan tak masuk akal? Senam otak? Kau sedang olahraga jantung? Sky diving saja sana!” Dengan ketus, aku berusaha menggoyahkan pilihannya.

Ia tertawa kecil. “Kau benar,” ia membenarkanku, tampak makin yakin dengan keputusannya. Ini membuatku jengkel. Kuputuskan untuk menyulutnya dengan berkata,”Jika kau tahu mana yang benar, kenapa memilih yang tidak benar?”

”Bagiku, dalam keadaanku, aku tidak bisa memilihnya.” Nada bicaranya sama saja. Ia tidak tersulut. Tidak terdengar api di sana. Ini tidak seperti percakapan kami yang selalu saja hangat atau membara.

”Kenapa?” Tanyaku melemah.

”Kau tidak mengerti.” Ia berkata tegas.

”Memang. Maka jelaskanlah,” aku memintanya dengan frustrasi. Ia mengalihkan wajah. Memandang kemuning cahaya lampu jalan. Di atas sana, ngengat mengelilingi cahaya itu, berdengung-dengung kecil. Ngengat saja berdengung, sedangkan ia? Tak ada yang terucap darinya.

“Kau lari? Kau melarikan diri?” Kutuduh saja ia. Betapa menyebalkan sikapnya ini.

“Terserah kau saja.” Suaranya nyaris tak terdengar. Dia menunduk, menatap ubin trotoar.

”Sekarang kau bersuara, heh? Pengecut.” Ia membuatku putus asa. Aku berharap ia akan membantahku bahkan membentakku atas hinaan itu. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia seperti menyetujui kata-kataku. Kepalanya semakin terbenam dalam tunduk. Pandangannya semakin melekat pada bahu jalan.

Hening. Tidak sepatah kata pun ia lontarkan. Sepanjang ingatanku, percakapan malam ini adalah percakapan paling sunyi. Perdebatan yang paling mudah dimenangkan. Tak tampak wajahnya yang membantah. Aku tidak melihat penolakan, aku tidak melihat pertimbangan atau sudut pandang berbeda yang selalu ia obral seperti hari-hari lalu. Aku tidak mendengar sanggahannya. Bahkan tidak dengkusan atau raut jengkel darinya. Perdebatan yang paling mudah kumenangkan, tapi tetap saja rasanya aku yang kalah.

”Apa – apakah menurutmu, di sini sangat buruk? Apakah kau pergi karena di sini sangat buruk bagimu?” takut-takut kulepas juga kalimat itu.

”Tidak. Kau tahu itu tidak benar,” buru-buru ia menyanggahku.

”Lalu, sebegitu bencinya kau pada kami?” Meski tidak siap mendengar jawabannya, kusampaikan juga gundahku padanya.

”Berhakkah aku membenci? Bahkan jika berhak, aku tidak bisa demikian.” Bagiku, ia terdengar putus asa.

”Jadi, kau benar benci, tapi berusaha tidak?” Aku nyaris tidak dapat mendengar suaraku. Pertanyaan itu sebenarnya berputar-putar hanya untuk diriku.

”Tidak. Bukan begitu.” Ia menjawab dengan tenang. Terdengar yakin. Apakah ia sungguh yakin dengan pernyataannya atau aku yang berharap demikian?

”Lalu?” Kuputuskan menuntutnya dengan alasan yang berterima bagiku. Tatapan kami bertemu. Aku tidak mengerti arti tatapannya itu. Sekilas terlihat sendu, sekelebat terlihat ragu, tapi selalu terlihat mampu. Ia tersenyum tipis. Aku tidak dapat membalasnya. Ia kembali membuang pandang.

Sunyi malam mendekap semakin erat. Membuatku sulit bernapas. Aku merasa seperti dipaksa minum soda dan kafein saat diserang gerd. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku seperti dapat mendengar detak jantungku, tapi tidak bisa merasakannya. Yang kutahu, ia akan pergi.

”Kalau begitu, apa kau akan kembali?” Kulepaskan kata, berusaha melarikan diri dari sunyi malam yang mencekam. Entah mengapa rasanya bukan hanya malam yang semakin sunyi, jauh dalam diriku rasa sepi semakin menjadi-jadi.

”Aku tidak tahu,” hanya kata itu yang ia lontarkan. Tidak sedikit pun ia menoleh padaku. Ia memilih untuk memandangi ngengat-ngengat yang mengitari lampu jalan. Selama beberapa saat, kami kembali tak bersuara. Agaknya, percakapan ini telah usai baginya. Namun, tidak bagiku. Meskipun begitu, aku tidak dapat berkata lagi. Kami semakin membenam di bangku kayu, berselimut cahaya jalan, dan tenggelam dalam malam. Hingga akhirnya, Ia bangun dari bangku kayu kemudian melangkahkan kaki. Tidak mengatakan apa-apa. Tidak mengundangku menuju ke tempat yang sama. Aku bergeming. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak merasa ingin menyusulnya. Aku tidak yakin bisa menjajari langkahnya lagi. Ia terus saja berjalan. Semakin lama, tubuhnya semakin mengecil dan jarak antara kami semakin membesar.

”Seberapa jauh pun kau pergi nanti, kembalilah. Suatu saat, kembalilah.” Akhirnya, aku dapat membebaskan diri dari cekatan yang menyumpal pita suara dan sulur-sulur tak berwujud yang mengunciku, bersusah-payah meneriakinya, berusaha agar suaraku tidak bergetar. Ia tidak menjawabku. Ia tidak berhenti berjalan. Bahkan ia tidak memberikan isyarat persetujuan atau pun penolakan. Tidak sedikit pun.

Maka, aku menyeru lantang. Kali ini dengan penuh keyakinan. Berharap keyakinan itu akan sampai padanya dan menjadi bekalnya dalam perjalanan panjang. “Jangan lupa pulang! Kau tahu ... pulang!”

Seperti sebelumnya, ia tetap berlalu tanpa menoleh ke belakang. Tanpa menoleh padaku. Tidak sekali pun. Tidak sedetik pun. Perlahan-lahan, ia hilang ditelan malam.

Senin, 17 Maret 2025

Books: Angkong Hantu

Oleh: S. N. Aisyah


Apakah kalian percaya hantu? Apakah hantu adalah suatu hal yang nyata ataukah ia hanyalah ilusi yang lahir dari ketakutan manusia? Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang hantu. Pada awal Februari tahun ini, saya putuskan untuk menghabiskan sebagian besar hari minggu di perpustakaan daerah. Di sanalah saya bertemu dengan Angkong Hantu. Ya, sebuah buku seri Fiksi Klasik. Mantap hati saya untuk menyelamatkan buku kecil dan tipis itu dari rikuhnya berhimpitan dengan buku-buku lain. Sebuah tindakan heriok, bukan? Haha. Anyways. 

Intinya, saya membaca buku yang berisi hanya dua judul cerita pendek Karya Rudyard Kipling ini. Kedua cerpen itu adalah "Angkong Hantu" yang kemudian diangkat sebagai judul buku dan "Sebuah Penipuan Bank". Seperti halnya karya-karya yang disuguhkan dalam kehidupan manusia, saya juga menemukan hal-hal menarik dalam dua cerita pendek ini. 

Bayangkan saja keseruan membaca buku ini. Cerpen "Angkong Hantu" akan menantang keyakinan dan bagaimana cara kita berpikir kritis terhadap keberadaan hantu. Singkatnya, cerpen ini  berkisah tentang Pansy, seorang pemuda yang hendak menikahi kekasihnya, Kitty. Namun, belum lagi rencana pernikahan itu terlaksana, Pansy dihantui terus oleh mantan kekasihnya, Agnes Wessington. Wanita itu kerap mendatanginya dan memohon-mohon agar mereka dapat kembali berteman seperti sedia kala. Segala upaya Pansy lakukan demi menjauhi Nyonya Wessington. Ia berharap bisa hidup tenang dengan Kitty. Namun, usahanya itu sia-sia belaka. Wanita berangkong itu selalu saja muncul di hadapannya. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Nyonya Wessington sudah meninggal dunia. Logikanya, Pansy dan Kitty sekarang dapat bersama tanpa ada gangguan dari Nyonya Wessington. Akan tetapi, siapa sangka, bahkan setelah meninggal pun, dengan angkongnya, Nyonya Wessington dan para pelayannya masih terus mengikuti ke manapun Pansy pergi. 

Bagaimanakah Pansy dapat menikahi Kitty dan hidup bahagia jika angkong hantu itu terus menghantuinya? Di sinilah letak menariknya kisah ini. Dengan alur campuran, cerpen ini menantang kejelian pembaca dalam menangkap clue-clue yang ditebarkan. Di samping atmosfer mistisnya, cerita ini juga menyuguhkan beberapa isu yang sangat relevan dengan kehidupan modern zaman ini. Salah satunya adalah sebuah kritik sosial terhadap kesalahan sistem yang membuat para pekerja menjadi kelebihan beban dan waktu kerja. Secara tipis, cerpen yang berlatar di India ini menyingung betapa banyaknya orang yang meninggal sebab kelelahan bekerja. Kisah Pansy sendiri kita dapatkan dari keterangan seorang dokter yang menangani Pansy dan menceritakan bagaimana penderitaan pemuda itu pada seorang pasien yang dikhawatirkan akan bernasib sama. Isu lainnya adalah isu kesehatan mental. Tentang bagaimana perasaan dan pikiran kompleks manusia dapat mempengaruhi kejiwaannya. Melalui tokoh Pansy, kita dibawa mengarungi jiwanya yang bergejolak dalam upayanya menyingkirkan Nyonya Wessington dari hidupnya bahkan hingga melahirkan rasa benci pada wanita itu. 

Dari sinilah keseruan lainnya muncul. Ada banyak pertanyaan dan dugaan yang saya dapatkan setelah membaca habis cerpen ini. Apakah Pansy mengidap penyakit jiwa? Apakah Pansy hanya kelelahan bekerja? Apakah pemuda malang itu benar membenci Agnes ataukah ia mencintainya? Atau, jangan-jangan Angkong Hantu itu benar-benar nyata? Bagi saya, penyajian Rudyard memberikan sebuah spektrum ruang interpretasi yang menarik. 

Saya memiliki sebuah kesimpulan tersendiri tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, jika dibahas akan menjadi spoiler yang sangat tak terhindarkan. Oh, ya. "Sebuah Penipuan Bank" juga sangat apik. Di lain kesempatan saya akan coret-coret pandangan amatir saya tentang cerpen ini, insya Allah. Lain daripada itu, sila dibaca bukunya. Cocok buat camilan bacaan sekali duduk. 

Sabtu, 15 Maret 2025

Fiksi Mini: Nekromansi

Oleh: S. N. Aisyah


Pukul sepuluh. Malam ini, seperti yang dikatakannya, bulan biru (the blue moon) bertengger di langit.

Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk.

 “Di depan.”

Kusibak tirai jendela. Helen—si anak gotik—berdiri tepat di seberang rumahku. Kulitnya yang pualam terlihat semakin pucat pasi di bawah naungan rembulan. Segera kutemui ia. Tak lama kemudian, kami sudah berada jauh di perut hutan. Tepat di bawah rindang pohon beringin, Helen mengeluarkan sebuah kapur putih, 5 lilin, 5 bagian tulang, sebuah kerangkeng kecil, macis, dan sebilah pisau lipat dari tasnya. Ia menggambar lingkaran serta bintang bersudut lima di tanah dingin menggunakan kapur lalu menyusun lilin dan tulang di tiap-tiap sudut bintang.

”Duduklah,” ucapnya. Kandang berisi tikus dan ransel yang menggembung tergeletak di sisi kirinya.

”Kau … yakin?” tanyaku. Ragu-ragu pula aku duduk di hadapannya.

“Tentu saja!”  jawabnya tegas. Kemudian, ia kembali merogoh tasnya.

Dag!

Jantungku jatuh ke dasar perut saat ia menaruh bangkai kucing di antara kami.

Sabtu, 08 Maret 2025

Cerpen: Tak Ada Hukum Newton Hari Itu?

Oleh: S. N. Aisyah


Hukum I: Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya.

Hukum II: Perubahan dari gerak selalu berbanding lurus terhadap gaya yang dihasilkan/bekerja, dan memiliki arah yang sama dengan garis normal dari titik singgung gaya benda.

Hukum III: Untuk setiap aksi selalu ada reaksi yang sama besar dan berlawanan arah: atau gaya dari dua benda pada satu sama lain selalu sama besar dan berlawanan arah.

Aku bersyukur akan teori Newton. Sangat berguna dalam kehidupan. Aku kagum pada para fisikawan namun bukan fanatik yang memahami segala macam keabstrakan yang berguna itu. Maksudku, aku harus menjalani tiga kali perbaikan hanya untuk menemukan simpangan vektor sampan yang sedang menyeberang di arus sungai yang kuat. Mungkin itu pulalah yang menjadi sebab salam perpisahanku dengan ilmu benda mati ini. Aku suka belajar, hanya saja tidak rajin mempelajarinya. Kau mengerti maksudku, kan?

Sewaktu sekolah, aku sering membawa buku-buku berat. Buku-buku pelajaran yang tebal-tebal itu sering kutenteng bolak–balik, sekolah—rumah. Tak pernah sedikitpun berniat meninggalkannya di loker seperti teman-teman lain. Buku-buku yang seberat ’beban hidup anak SMA’ itu harus kubawa pulang.

Baiklah, sebelum terjadi kesalah-pahaman, kukatakan padamu dulu. Aku bukan murid kutu buku-pintar-rajin-teladan. Buku-buku malang itu tidak juga sering kuajak mengobrol di rumah. Hanya saja, menyandera buku sudah menjadi kebiasaanku. Bahkan hingga kini, jika berpergian ke mana saja, aku selalu menyekap sebuah buku di dalam tas. Ya, menyekap bukan membaca.

Benda berguna dan ajaib ini sering kujadikan alat penyelamat hidup. Katakanlah canggung sosial. Ponsel pintar? Kau akan terlihat sangat bodoh saat tak ada kerjaan lalu bolak-balik buka aplikasi padahal tak ada yang akan kau kerjakan. Tahu maksudku, kan? Lagipula saat itu belum eranya ponsel pintar menjamur.

Dengan buku, meskipun kau(aku) bodoh, tidak akan terlalu ketara, kan? Beruntung jika buku itu benar-benar kaubaca. Jika tidak, ia dapat menyelamatkanmu dari situasi sosial yang canggung, menjauhkanmu dari gangguan tetapi tetap membuatmu mawas lingkungan (tak seperti ponsel pintar yang terkadang membuatmu bodoh itu) dan plusnya kau akan terlihat kolot.

Jangan khawatir, semua orang pernah menjadi kolot dalam hidupnya. Dan kau akan berbangga dengan kekolotanmu itu—atau tidak. Oh, satu lagi, buku bisa kau jadikan senjata membela diri jika kau terpaksa harus baku hantam, lebih tebal lebih baik. Aku hanya bercanda. Ha ha, tidak juga, tapi, ya. Ha ha.

Di sore Selasa yang terlampau cerah, dengan bersusah-payah aku turun dari angkot. Saat itu, seperti biasanya, tasku penuh. Aku harus menenteng tiga buku—beban hidup siswa SMA— di tangan. Mungkin jika kau pernah naik angkot, kau akan tahu bagaimana rasanya turun angkot tanpa memegang pintu, mission impossible.


Dengan badan dan jari-jariku yang serba mini, kupeluk buku-buku itu dalam dekapan. Rumahku lumayan jauh. Setelah menaiki angkot, harus menyewa ojek untuk sampai. Bisa saja berjalan kaki. Lima belas menit jalan cepat. Dua puluh lima menit perjalanan wisata ditemani langit cerah yang indah, lingkungan yang masih tergolong hijau, rumah dan ruko, pepohonan, bahu jalan berpasir putih yang amat gembur, rumput yang tinggi, matahari yang menyengat, dan terpaan debu kasar yang dibawa berlari oleh pengendara yang tengah memacu kendaraan bak dikejar teman yang suka pinjam dulu seratus itu. Berjalan kaki? Di sore yang amat cerah ini? Tidak, terima kasih.

Dengan pertimbangan menyayangi diri sendiri, kukorbankan uang saku yang kuhemat-hemat agar dapat mampir ke toko buku itu. Ironi. Balada hidup bocah SMA. Berat langkahku menyusuri jalan. Menggendong tas yang hampir memuntahkan buku, ransel yang mencekik botol minumku hingga ia mencuat hendak melarikan diri dari saku ransel.

Aku berjalan menunduk, memeluk tiga buku—how to torture highschooler in a good way— itu seraya memperhatikan sepatu hitamku berubah kelabu karena terbenam dalam pasir putih yang bergelombang di sepanjang bahu jalan beraspal. Setelah beberapa langkah berjalan kemudian, aku berhenti sejenak. Menatap pada sebuah pondok yang dibangun di bawah dua pohon akasia. Menatap dengan nelangsa.

Biasanya, di pondok itu mangkal beberapa ojek. Namun, kali itu tak ada seorang tukang ojek pun di sana. Hanya beberapa bapak-bapak yang duduk memunggungi jalan, menghadap lapangan bola kaki, berteduh dari sinar menyengat matahari sore sambil menonton anak-anak bermain bola.

Rasanya makin berat saja kakiku melangkah. Kulewati pondok kayu berdinding sepinggang orang dewasa itu, terus berjalan menunduk. Meratapi kesempatan emas menjadi atlet jalan cepat sesaat. Tidak, sebelum kau protes, akan kuberitahu. Saat itu belum ada layanan ojek online. Sekarang kau mengerti perasaanku, kan?

Saat terbenam dalam jalan berpasir dan lamunan, tiba-tiba kudengar suara pahlawan para pejalan kaki.

”Ojek, Dek?” seorang abang ojek yang muncul secara tiba-tiba menanyaiku.

Seperti menemukan oasis di Gurun Sahara, aku berjalan mendekat seraya mengangguk padanya. Semua beban hidup seolah menguap. Dalam sekejap, ibu-ibu yang berjualan di simpang ojek ini terlihat amat bahagia bagiku, begitu pula dengan bapak-bapak yang duduk di pelataran warung. Tampak seperti minum kopi pahit tanpa mengecap pahit hidup lagi. Angin bersepoi, anak-anak pemain sepak bola tertawa. Abang ojek tersenyum dari ujung telinga ke ujung telinga.

Semangatku bangkit kembali. Hingga akhirnya …. Lagi, seperti menuruni angkot, dengan susah-payah pula aku menaiki motor, duduk menyamping. Mencoba menyeimbangkan posisi yang beberapa kali tergelincir. Rok panjang abu-abu berpola A dan berkain licin ini sangat sulit diajak kerja sama. Saat merasa lega karena sudah duduk di jok belakang motor yang berbunyi cempreng itu, aku menyadari sesuatu. Kukira motor ini sakit karena sesekali ia terbatuk-batuk. Melontarkan kepulan asap hitam. Serupa suasana hatiku yang kembali memusuhi cahaya matahari, amat suram.

”Siap, Dek?” tanya abang ojek.

”Siap, Bang,” ragu-ragu aku menjawab. Ternyata, tak hanya rok ini yang berbahan licin, jok motor yang sedang sakit ini melengkung dengan kaku dan ’beruntungnya’ juga licin. Ditambah, tak ada penyangga pada belakang jok.

Tak lama kemudian, abang ojek mengengkol motornya.”Pegangan, Dek,” seru abang ojek.

Suara motor menggaung sumbang dan terbata-bata. Dengan erat aku berpegangan. Pada buku. Bukan pada abang ojek. Atau pegangan sadel belakang motor tempat biasa aku berpegangan saat naik ojek. Setelah menggebyer motornya beberapa kali, abang ojek melepas gas. Lalu, terdengar suara orang berteriak-teriak.

”Oi! Oi! Penumpangnya tinggal!”

Ya, motor melaju, aku diam di tempat. Untuk sesaat, aku seperti mengambang di udara. Kemudian terjatuh tepat di tempat yang sama saat naik motor tadi. Tak bergeser seinchi pun. Semua kesulitanku seharian ini mencapai puncaknya. Hidup benar-benar seperti lelucon.

Sisi baiknya, akhirnya, setelah berbulan-bulan purnama, untuk pertama kali, posisiku dan buku berganti. Kali ini, akulah yang menyelamatkan buku-yang-menyiksa-murid-SMA-dengan baik itu. Buku-buku itu aman dalam dekapanku. Ia tak terjatuh, tak terkena pasir gembur, tak lecet sedikit pun. Di bawah siraman cahaya emas matahari sore, ia bersinar dengan anggun. Dan … sedikit memuakkan.

Semua orang yang ada di simpang ojek melihat kekonyolan ini sambil tertawa dan terheran-heran. Mengapa bisa jatuh? Di tempat yang sama? Aku pun tak tahu. Hukum Newton pun seolah tak berlaku saat itu. Kuulangi, seolah tak berlaku. Jangan percaya pada hipotesis bocah SMA yang harus mengulang satu topik bahasan fisika tiga kali berturut-turut. Sana pelajari bukumu. Tanyakan pada gurumu. Atau kau akan bernasib sama dengannya. Bercanda. Ha ha. Tidak juga. Ha ha.


Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...