Kamis, 01 Mei 2025

Tentang Mereka yang Menangis Demi Senyum Kita Hari Ini



Cerita dikit, boleh, ya. Jadi buku "Mereka Menangis Demi Senyum Kita Hari Ini" itu berisi kumpulan cerpen biografi pahlawan Indonesia. Buku ini berangkat dari niat baik owner, staf dan admin komunitas KLPK untuk ningkatin semangat anak bangsa buat ngenal lagi tokoh-tokoh hebat Indonesia dan belajar keteladan dari beliau-beliau (tahulah keadaan bangsa sekarang gimana. Iya, termasuk saya juga 😅). Nah dari niat itu, KLPK ngadain event menulis cerpen biografi pahlawan nasional juga daerah. Hasil penjaringan naskah ini nanti akan diterbitkan oleh Penerbit PKP (ya, ownernya yg itu, yg populer itu. Apalagi buat mak-mak, dah. Pasti ngefans, kan? Gak apa-apa kok. Ownernya kagak cuma menang populer doang, karyanya juga bagus). 


Saya untuk pertama kalinya ngeberaniin diri buat ikutan event. Mayan bisa sambilan belajar, pikir saya. Proses menulisnya bukan main. Karena ini biografi, mesti pakai sumber yg benar. Jadi, ya, riset dan pengolahan data serta fakta penting banget. Abis, dah nyelam internet dan nyariin buku pahlawan. Masih ingat gimana nervousnya saya bacain buku yang bahas Agus Salim (saya milih mengangkat cerita beliau) berulang kali, takut salah memahami 😅. 


Setelah buat kerangka dan coret-coretannya, saya nemu masalah baru. "Gila, gimana caranya jadiin ini naskah kagak kayak laporan, ya?" Akhirnya saya berusaha semampu saya buat ngejadiin kisah luar biasa dan rekam perjalanan hidup serta karir Agus Salim yg panjang dan banyak itu dalam satu cerpen. 😅 Nerves saya nulisnya (semoga saia bagus dan bermanfaat). Ini event juga landasannya harus bisa dibaca anak-anak dan dewasa (Banyak pembaca PKP adalah org yg terjun ke dunia pendidikan atau peduli pendidikan). Tantangan banget, kan? Saya berdoa moga di naskah saya kagak ada fakta yang melenceng dan jadi fitnah. Setelah ngecek berkali-kali, naskahnya saya kirim. 



Dan... Kaget banget waktu tahu kalau naskah saya lolos kurasi juri, sekaget pas ngelihat naskah-naskah teman-teman penulis lain yang bagus-bagus banget. Ternyata ada banyak gaya bercerita dan banyak pahlawan yang memperjuangkan Indonesia tapi namanya nggak terlalu luas dikenal. Bahkan ada beberapa pahlawan yang saya baru tahu keberadaannya 😔. 

Emang keren penulis-penulis ini, pikir saya. 👍



Setelah ditentukan siapa saja yang lolos kurasi, mulai deh bedah naskah. Wah, ini seru, sih. Ngobrol bareng editor PKP tentang naskah. Bukan berarti lolos penilaian juri naskah saya langsung selamat dan siap terbit. Tak semudah itu, Ferguso. Mbak editor (Mbak Vinny) baik banget. Obrolan kita open banget dan kagak ngejudge. Mbaknya kagak serta-merta coret atau hapus sana-sini. Prosesnya diskusi. Juga diberi kesempatan buat ngejelasin sudut pandang kita sebagai penulis utk mempertahankan atau memberi alasan mengapa menulis demikian. Di samping ngasih ilmu kepenulisan juga tentunya.



Mbaknya juga gak segan bagi-bagi tips dan cerita pengalaman sebagai penulis yang dieditori teman editor lain (meskipun mbaknya juga editor). Kira-kira, kata Mbaknya gini, "Penulis bakal susah objektif menilai karyanya tanpa ada editor selain diri sendiri. Kita bakal sulit ngelepasin ego kita tentang karya sendiri." Saya manggut2 atas pernyataan ini. 



Nggak nyangka sekarang semua proses itu sudah terlewati. Saya sangat bersyukur atas pelajaran ini. Makasih banget PKP dan KLPK. Kuylah baca di sini KLPK App



Sabtu, 26 April 2025

Cerpen: Manusia Kaktus

Oleh: S. N. Aisyah


Runi membuka pintu rumah. Sambil sedikit bersenandung ia meletakkan tiga kaktus di meja. Kaktus-kaktus itu didapatnya dari Ana, kawan baiknya. The Reluctant Ahjuma tampak bersemangat dengan tiga mainan barunya. Hari-hari sejak kaktus itu tiba, Runi mengurus tanaman mungil itu serta berbicara padanya. Ia menceritakan banyak hal, kebiasaan adiknya yang aneh, betapa ia tidak suka sinar yang terlalu terang, pekerjaan yang terkadang membuatnya ingin menyerah, bahkan acara tv favoritnya. Ia mengira bahwa kaktus akan menjadi kawan karibnya. 

Sayang, baru sepuluh hari berlalu, Runi tak lagi menganggap teman barunya itu menyenangkan. Bicara dengan nona duri bukan lagi hobinya. Ia menghabiskan hari-hari berikutnya dengan banyak kegiatan yang berbeda. Banyak, hanya saja tidak satu pun terkait dengan kaktus. Jika ditaksir, menonton acara favorit adalah satu hal yang menyebabkan Runi mengabaikan nona duri. 

Minggu sore itu, saat udara gersang mulai meninggalkan Agustus, Runi tersentak. Ia teringat akan kawan-kawannya yang malang. 

Kaktus bundar berwarna hijau sedikit tidak sehat, begitu pun dua kaktus yang menjulang 8 senti itu. Runi muram. Sejak saat itu, Ia berkunjung seolah nona berduri sedang dilanda sakit, maka hendaklah ia memberi obat dan nutrisi setiap tiga kali sehari, tak lupa ditemani mengobrol.

Kian hari, keadaan kaktus yang menjulang, yang dinamai Menara Kembar, semakin memburuk. Warna hijaunya berubah kecoklatan dan tampak layu. Runi mencoba merawatnya sebaik mungkin, serajin mungkin. Ia lebih sering menyiram tanaman ’kesayangannya’. Saban pagi ia membawa kaktus keluar untuk dijemur, pada sorenya kaktus-kaktus itu dipingit kembali. 

Bersama hembusan angin muson barat, Runi menyadari Menara Kembar tidak lagi bertahan. Mereka membusuk. Hanya bundar yang tersisa, sedikit bagiannya sudah mulai agak kecoklatan. Runi menyerah. Bundar takkan selamat, ia akan mati seperti Menara Kembar. Runi akan membuangnya saja. 

Runi mengangkut ketiga kaktus malang itu. Dengan langkah gontai ia menuju tong sampah yang terletak di pekarangan. Saat itu Ana yang baru saja akan bertamu mencegatnya.

”Mau dibawa ke mana?” Raut wajah Ana tak dapat dibaca dengan jelas. Ada raut heran, sedih, dan terkejut.

”Dua mati, satu lagi juga bakal mati, mau dibuang.” Runi terdengar amat menyesal.

”Lihat dulu,” Ana mengamati tanaman malang itu. ”Kok bisa gini?”

”Lama lupa nyiram. Kering banget kaktusnya kayak kurang nutrisi. Disiram tiap hari deh, tiga kali sehari. Terus jemur pagi sampe sore. Malam bawa masuk lagi,” Runi menjelaskan dengan pelan. Agaknya ia merasa bersalah.

”Kirain pas minta dibawain kaktus tahu cara rawatnya,” Ana berkata kemudian ia menghela napas. Tampaknya Ana lebih menyesali perbuatannya yang menyerahkan Kaktus tapi tidak memberikan ‘pelatihan’. 

”Enggak. Pengen aja punya.” Runi putus asa. Wajahnya kini semuram rumput-rumput kering yang mencuat dari bawah tong sampah.

”It’s a murder, then.” Ana sedikit sarkastik. Sesaat kemudian ia tersenyum jail. Ana hanya ingin menggoda Runi.

”Nggak maksud,” air muka runi menunjukkan bahwa ia cukup menderita. Tangannya kini tepat di atas permukaan tong sampah.

”Eh, jangan dibuang semua. Dua ini emang udah mati. Tapi yang ini coba dirawat dulu.”

”Ah, udah gini juga. Lagian udah salah dari awal.”

”Ya, ampun. Tumbuhan makhluk hidup juga. Jangan kejam gitu. Kesalahan di awal bukan jadi alasan buat nge-buang ini tanaman hidup.” Ana meraih kaktus bundar.

”Rawat dulu, ya. Jangan siram tiap hari, satu atau dua kali seminggu aja. Jangan taruh di tempat lembap. Jangan sampe kering banget juga. Dikasih pupuk juga.” Segera Ana mengembalikan Kaktus ke tangan Runi yang kini telah kosong.

”Bakal baik lagi, ini?” Runi menimbang-nimbang kaktusnya.

”Ya, nggak tau, namanya juga usaha.” Ana mengangkat bahu.

”Aku udah usaha buat sembuhin mereka ... ” Ada nada kecewa dalam suara Runi. Kekecewaan pada dirinya sendiri.

“Tapi usaha juga ada dasar ilmunya.” Ketukan lembut mendarat di kepala Runi.


”Iya, betul.” Runi terkekeh geli. Setelah mengobrol sebentar, kawan baiknya undur diri. 

Runi membawa kembali si Bundar. Ia taruh di sisi mejanya. Semua saran Ana dikerjakannya dengan taat. Selang dua pekan, si Bundar kembali terlihat sehat. Hari-hari berikutnya, Runi tidak lagi abai. Saat Ana kembali berkunjung, Bundar benar-benar telah tumbuh dengan menawan. 

”Wah,” Hanya itu yang dikatakan Ana.

”Makasih, ya. Maaf juga aku gak jaga dua lainnya.”

”Udah, udah lewat juga.” Ana asik memperhatikan kaktus bundar. 

”Kaktus itu keren, ya?” Runi menyela ’kegiatan observasi’ Ana.

”Keren?” Kata itu dilontarkan Ana dengan tersenyum.

”Menurutku dia lumayan mandiri, nyimpan cadangan air buat diri sendiri. Meksi butuh bantuan kita buat nyiram, tetap aja nggak ngerepotin.” Kini Runi bergabung di samping Ana menatap lekat Kaktusnya. Kaktus itu tampak lebih besar. Duri-durinya kini sangat rapat.

”Kayak kita, ya, manusia. Sejago apa pun, tetap tak bisa hidup sendiri.” Ana menyetujui Runi.

”Iya, kaktus masih perlu air buat hidup. Mungkin bakal beda lagi kalo kita nggak ngusik kaktus dan biarin mereka hidup di alamnya, pasti ini kaktus lebih baik.” Ada sedikit jeda disela-sela ucapan Runi. Ia kini berjalan menuju sofa.

”Iya, karena takarannya sudah pasti pas.” Ana mengikuti Runi. Mereka duduk sambil menikmati kue kering serta beberapa camilan. 

“Kaktus hias perlu orang-orang baik untuk merawatnya. Aku hampir putus asa sama si Bundar.” Runi agaknya kembali mengenang perlakuan buruknya pada kaktus yang malang.

” Sesuatu yang diniatkan baik, diusahakan baik, atas izin Tuhan, bakal jadi baik. Ini kayak si Bundar,” selalu, Ana menyemangatinya. Dia menyodorkan toples kue pada Runi.

“Kayaknya aku pengen jadi kaktus.” Sambil mengunyah Runi berdeklarasi.

”Manusia kaktus? Nusuk mulu, dong?” 

Dua Reluctant Ahjuma itu terkekeh. Melanjutkan obrolan mereka. Menandaskan makanan yang ada. 

Jumat, 11 April 2025

Cerpen: Percakapan di Bahu Jalan

Aku mulai terengah menjajari langkahnya. Lalu lalang kendaraan mengisi jeda panjang dalam percakapan kami.

“Lalu kau akan ke mana?” Akhirnya kata itu melompat juga dari mulutku. Hening. Sesaat kemudian, hanya deru kendaraan lagi yang terdengar. Sedang langkahnya semakin panjang saja.

“Akan ke mana kau?!” Suaraku lebih lantang dari yang kuharapkan. Melesat begitu saja dengan buncah yang tidak terjelaskan.

Akhirnya ia menoleh juga. ”Ke mana saja,” hanya itu yang ia katakan. Ia kembali melangkah.

“Apa maksudmu ke mana saja. Kalau kau tidak punya tujuan, tak bisakah kau tetap tinggal?” Ini pertama kalinya aku mendengar ketidakyakinan darinya.

”Tidak. Kau tau aku tak bisa begitu,” ucapnya lemah. Ia berhenti melangkah. Mengambil tempat di bangku jalan. Aku turut duduk di sisinya. Merasa bersyukur ia memilih berhenti sebab napasku mulai tersengal.

”Omong kosong. Aku tidak terima alasan-alasanmu itu. Jika salah, perbaiki. Jika bodoh, belajar. Jika kurang, tambah. Bukan pergi. Bukan menyerah.” Aku mencecarnya dengan prinsip-prisipnya. Berani-beraninya ia mengkhianati prinsip yang selama ini teguh mengakar dalam dirinya. Alih-alih, ia memberikan alasan bodoh sebagai pembenaran.

”Kau benar.” Ia takzim mengaminiku. Kupikir ia akan meyakinkanku dengan argumen-argumennya – seperti yang biasanya ia lakukan. Entah mengapa aku merasa kedinginan. Seolah awan yang baru saja menutupi bulan sabit di langit malam ini turut menyelimutiku. Aku memangku tangan bersilang, menghangatkan diri seraya memanasi percakapan kami.

”Ya, aku benar. Lalu apa ini? Mengambil keputusan tak masuk akal? Senam otak? Kau sedang olahraga jantung? Sky diving saja sana!” Dengan ketus, aku berusaha menggoyahkan pilihannya.

Ia tertawa kecil. “Kau benar,” ia membenarkanku, tampak makin yakin dengan keputusannya. Ini membuatku jengkel. Kuputuskan untuk menyulutnya dengan berkata,”Jika kau tahu mana yang benar, kenapa memilih yang tidak benar?”

”Bagiku, dalam keadaanku, aku tidak bisa memilihnya.” Nada bicaranya sama saja. Ia tidak tersulut. Tidak terdengar api di sana. Ini tidak seperti percakapan kami yang selalu saja hangat atau membara.

”Kenapa?” Tanyaku melemah.

”Kau tidak mengerti.” Ia berkata tegas.

”Memang. Maka jelaskanlah,” aku memintanya dengan frustrasi. Ia mengalihkan wajah. Memandang kemuning cahaya lampu jalan. Di atas sana, ngengat mengelilingi cahaya itu, berdengung-dengung kecil. Ngengat saja berdengung, sedangkan ia? Tak ada yang terucap darinya.

“Kau lari? Kau melarikan diri?” Kutuduh saja ia. Betapa menyebalkan sikapnya ini.

“Terserah kau saja.” Suaranya nyaris tak terdengar. Dia menunduk, menatap ubin trotoar.

”Sekarang kau bersuara, heh? Pengecut.” Ia membuatku putus asa. Aku berharap ia akan membantahku bahkan membentakku atas hinaan itu. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia seperti menyetujui kata-kataku. Kepalanya semakin terbenam dalam tunduk. Pandangannya semakin melekat pada bahu jalan.

Hening. Tidak sepatah kata pun ia lontarkan. Sepanjang ingatanku, percakapan malam ini adalah percakapan paling sunyi. Perdebatan yang paling mudah dimenangkan. Tak tampak wajahnya yang membantah. Aku tidak melihat penolakan, aku tidak melihat pertimbangan atau sudut pandang berbeda yang selalu ia obral seperti hari-hari lalu. Aku tidak mendengar sanggahannya. Bahkan tidak dengkusan atau raut jengkel darinya. Perdebatan yang paling mudah kumenangkan, tapi tetap saja rasanya aku yang kalah.

”Apa – apakah menurutmu, di sini sangat buruk? Apakah kau pergi karena di sini sangat buruk bagimu?” takut-takut kulepas juga kalimat itu.

”Tidak. Kau tahu itu tidak benar,” buru-buru ia menyanggahku.

”Lalu, sebegitu bencinya kau pada kami?” Meski tidak siap mendengar jawabannya, kusampaikan juga gundahku padanya.

”Berhakkah aku membenci? Bahkan jika berhak, aku tidak bisa demikian.” Bagiku, ia terdengar putus asa.

”Jadi, kau benar benci, tapi berusaha tidak?” Aku nyaris tidak dapat mendengar suaraku. Pertanyaan itu sebenarnya berputar-putar hanya untuk diriku.

”Tidak. Bukan begitu.” Ia menjawab dengan tenang. Terdengar yakin. Apakah ia sungguh yakin dengan pernyataannya atau aku yang berharap demikian?

”Lalu?” Kuputuskan menuntutnya dengan alasan yang berterima bagiku. Tatapan kami bertemu. Aku tidak mengerti arti tatapannya itu. Sekilas terlihat sendu, sekelebat terlihat ragu, tapi selalu terlihat mampu. Ia tersenyum tipis. Aku tidak dapat membalasnya. Ia kembali membuang pandang.

Sunyi malam mendekap semakin erat. Membuatku sulit bernapas. Aku merasa seperti dipaksa minum soda dan kafein saat diserang gerd. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku seperti dapat mendengar detak jantungku, tapi tidak bisa merasakannya. Yang kutahu, ia akan pergi.

”Kalau begitu, apa kau akan kembali?” Kulepaskan kata, berusaha melarikan diri dari sunyi malam yang mencekam. Entah mengapa rasanya bukan hanya malam yang semakin sunyi, jauh dalam diriku rasa sepi semakin menjadi-jadi.

”Aku tidak tahu,” hanya kata itu yang ia lontarkan. Tidak sedikit pun ia menoleh padaku. Ia memilih untuk memandangi ngengat-ngengat yang mengitari lampu jalan. Selama beberapa saat, kami kembali tak bersuara. Agaknya, percakapan ini telah usai baginya. Namun, tidak bagiku. Meskipun begitu, aku tidak dapat berkata lagi. Kami semakin membenam di bangku kayu, berselimut cahaya jalan, dan tenggelam dalam malam. Hingga akhirnya, Ia bangun dari bangku kayu kemudian melangkahkan kaki. Tidak mengatakan apa-apa. Tidak mengundangku menuju ke tempat yang sama. Aku bergeming. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak merasa ingin menyusulnya. Aku tidak yakin bisa menjajari langkahnya lagi. Ia terus saja berjalan. Semakin lama, tubuhnya semakin mengecil dan jarak antara kami semakin membesar.

”Seberapa jauh pun kau pergi nanti, kembalilah. Suatu saat, kembalilah.” Akhirnya, aku dapat membebaskan diri dari cekatan yang menyumpal pita suara dan sulur-sulur tak berwujud yang mengunciku, bersusah-payah meneriakinya, berusaha agar suaraku tidak bergetar. Ia tidak menjawabku. Ia tidak berhenti berjalan. Bahkan ia tidak memberikan isyarat persetujuan atau pun penolakan. Tidak sedikit pun.

Maka, aku menyeru lantang. Kali ini dengan penuh keyakinan. Berharap keyakinan itu akan sampai padanya dan menjadi bekalnya dalam perjalanan panjang. “Jangan lupa pulang! Kau tahu ... pulang!”

Seperti sebelumnya, ia tetap berlalu tanpa menoleh ke belakang. Tanpa menoleh padaku. Tidak sekali pun. Tidak sedetik pun. Perlahan-lahan, ia hilang ditelan malam.

Senin, 17 Maret 2025

Books: Angkong Hantu

Oleh: S. N. Aisyah


Apakah kalian percaya hantu? Apakah hantu adalah suatu hal yang nyata ataukah ia hanyalah ilusi yang lahir dari ketakutan manusia? Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang hantu. Pada awal Februari tahun ini, saya putuskan untuk menghabiskan sebagian besar hari minggu di perpustakaan daerah. Di sanalah saya bertemu dengan Angkong Hantu. Ya, sebuah buku seri Fiksi Klasik. Mantap hati saya untuk menyelamatkan buku kecil dan tipis itu dari rikuhnya berhimpitan dengan buku-buku lain. Sebuah tindakan heriok, bukan? Haha. Anyways. 

Intinya, saya membaca buku yang berisi hanya dua judul cerita pendek Karya Rudyard Kipling ini. Kedua cerpen itu adalah "Angkong Hantu" yang kemudian diangkat sebagai judul buku dan "Sebuah Penipuan Bank". Seperti halnya karya-karya yang disuguhkan dalam kehidupan manusia, saya juga menemukan hal-hal menarik dalam dua cerita pendek ini. 

Bayangkan saja keseruan membaca buku ini. Cerpen "Angkong Hantu" akan menantang keyakinan dan bagaimana cara kita berpikir kritis terhadap keberadaan hantu. Singkatnya, cerpen ini  berkisah tentang Pansy, seorang pemuda yang hendak menikahi kekasihnya, Kitty. Namun, belum lagi rencana pernikahan itu terlaksana, Pansy dihantui terus oleh mantan kekasihnya, Agnes Wessington. Wanita itu kerap mendatanginya dan memohon-mohon agar mereka dapat kembali berteman seperti sedia kala. Segala upaya Pansy lakukan demi menjauhi Nyonya Wessington. Ia berharap bisa hidup tenang dengan Kitty. Namun, usahanya itu sia-sia belaka. Wanita berangkong itu selalu saja muncul di hadapannya. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Nyonya Wessington sudah meninggal dunia. Logikanya, Pansy dan Kitty sekarang dapat bersama tanpa ada gangguan dari Nyonya Wessington. Akan tetapi, siapa sangka, bahkan setelah meninggal pun, dengan angkongnya, Nyonya Wessington dan para pelayannya masih terus mengikuti ke manapun Pansy pergi. 

Bagaimanakah Pansy dapat menikahi Kitty dan hidup bahagia jika angkong hantu itu terus menghantuinya? Di sinilah letak menariknya kisah ini. Dengan alur campuran, cerpen ini menantang kejelian pembaca dalam menangkap clue-clue yang ditebarkan. Di samping atmosfer mistisnya, cerita ini juga menyuguhkan beberapa isu yang sangat relevan dengan kehidupan modern zaman ini. Salah satunya adalah sebuah kritik sosial terhadap kesalahan sistem yang membuat para pekerja menjadi kelebihan beban dan waktu kerja. Secara tipis, cerpen yang berlatar di India ini menyingung betapa banyaknya orang yang meninggal sebab kelelahan bekerja. Kisah Pansy sendiri kita dapatkan dari keterangan seorang dokter yang menangani Pansy dan menceritakan bagaimana penderitaan pemuda itu pada seorang pasien yang dikhawatirkan akan bernasib sama. Isu lainnya adalah isu kesehatan mental. Tentang bagaimana perasaan dan pikiran kompleks manusia dapat mempengaruhi kejiwaannya. Melalui tokoh Pansy, kita dibawa mengarungi jiwanya yang bergejolak dalam upayanya menyingkirkan Nyonya Wessington dari hidupnya bahkan hingga melahirkan rasa benci pada wanita itu. 

Dari sinilah keseruan lainnya muncul. Ada banyak pertanyaan dan dugaan yang saya dapatkan setelah membaca habis cerpen ini. Apakah Pansy mengidap penyakit jiwa? Apakah Pansy hanya kelelahan bekerja? Apakah pemuda malang itu benar membenci Agnes ataukah ia mencintainya? Atau, jangan-jangan Angkong Hantu itu benar-benar nyata? Bagi saya, penyajian Rudyard memberikan sebuah spektrum ruang interpretasi yang menarik. 

Saya memiliki sebuah kesimpulan tersendiri tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, jika dibahas akan menjadi spoiler yang sangat tak terhindarkan. Oh, ya. "Sebuah Penipuan Bank" juga sangat apik. Di lain kesempatan saya akan coret-coret pandangan amatir saya tentang cerpen ini, insya Allah. Lain daripada itu, sila dibaca bukunya. Cocok buat camilan bacaan sekali duduk. 

Bagian Satu: Pemakaman

 Oleh: S. N. Aisyah Apa yang dibawa oleh kematian? Apa yang dibawa oleh perpisahan jasad dan jiwa manusia? Apakah perpisahan i...