Kamis, 22 Mei 2025

Fiksi Mini: Tangkap Penipunya!

Oleh: S. N. Aisyah

Di  suatu malam, aku dan kawanku terlibat sebuah perdebatan yang membawa kami pada suatu kesimpulan. Bahwa, kebanyakan manusia itu seorang penipu. Tetapi, sifat penipu itu tidak lahir begitu saja. 

Coba saja kau bayangkan, bagaimana mungkin sesuatu lahir begitu saja? Maksudku, segala sesuatu  itu tak lepas dari rantai sebab-akibat. 

Nah, perkara tipu-menipu, ia lahir dari kerusakan. Jangan tanya apa maksudku. Kau pasti paham maksudku. Aku yakin bahkan kau sendiri sering ditipu oleh dirimu, kan? 

Menurutmu, siapa penipu dalam dirimu? Apakah itu lidahmu? Matamu? Telingamu? Apa kau mengerti maksudku?

Intinya, kita sering ditipu bahkan oleh diri sendiri sekalipun. 

Begitulah perdebatan kami berakhir pada suatu kesepakatan. 

Keesokan harinya, saat matahari masih berleha-leha di langit timur, kawanku yang baru saja pulang dari berbelanja bahan masak menghampiriku yang tengah memotong-motong sayur di dapur. 

" Ini," ujarnya seraya menyerahkan kantong belanjaan. Ia berbalik menaruh tepung dan bahan lainnya pada lemari yang terletak tepat di belakang meja dapur, tempat aku memeriksa belanjaan pagi itu. 

Singkatnya, kami saling membelakangi. 
"Eh?" Mendengar suara itu aku langsung menoleh ke belakang. Apakah ia melupakan sesuatu?

Kudapati kawanku juga menoleh padaku.

"Apa?" Ujar kami serentak. 

"Kau bilang sesuatu?" tanyanya padaku. Wajahnya tampak bingung. 

"Kukira kau yang ngomong," jawabku. Sama bodohnya. 

Lalu kami terdiam. Siapa lagi yang bicara kalau bukan salah satu di antara kami? Jelas-jelas aku mendengar suara itu tepat di belakangku. 

Lalu siapakah penipu kali ini? 
Telingaku, telinganya? Otakku atau otaknya? Ataukah ini perkara hati manusia yang suka membodohi dan pengecut, yang percaya bahwa arwah wanita itu datang menyapa?

18 Mei 2025





Selasa, 20 Mei 2025

Poems: Rumah Duka

oleh: S. N. Aisyah


Lalu harus ke manakah duka akan dibawa?


apakah  pada sungai yang tak lagi mengalun

tak lagi menerjang bebatuan

dengan sapaan syahdu?


apakah pada langit yang selalu muram

acap kali lupa undang mentari, 

sibuk berkabung dengan awan hitam?


apakah pada lautan yang tak lagi 

mengirim ombak ke tepian

sebab angin enggan singgah barang sebentar?


Ke manakah duka harus bersemayam

jika tidak pada makam

yang telah kusediakan?


Negeri Bertuah, 18 Mei 2025




Senin, 19 Mei 2025

Books: Saat ’Nemesis’ Menjadi Nemesismu

oleh: S. N. Aisyah




Judul buku    : Nemesis

Penulis           : Agatha Christie 

 

Seberapa buruk sikap skeptis dapat memengaruhi hidup seseorang? Sebenarnya saya juga tak tahu tapi dalam skala yang lebih kecil, saya sudah mendapatkan hantaman dari skeptism itu.

 

Saya sering melewati rak buku Agatha Christie saat mengunjungi perpustakaan wilayah. Agatha Christie adalah salah satu nama besar dalam dunia literasi bergenre misteri-thriller-detektif. Tapi, tak tahu mengapa, saat itu  saya tak kunjung membaca bukunya. Meski beberapa kali mengambil dan menimbangnya dalam tangan, buku Agatha Christie itu akhirnya kembali saya taruh dengan keragu-raguan  ke rak.

 

Sangat sulit untuk meyakinkan diri saya. Ditambah lagi peraturan hanya boleh membawa pulang dua buku dalam satu waktu, membuat saya memilih buku lain yang bersinggungan dengan kepentingan saat itu. Ya, setiap saat. How stupid!


Suatu hari saya menonton Film Murder on the Orient Express, adaptasi dari novel Agatha dengan judul yang sama. Saya merasa terkesan dengan nuansa yang diberikan oleh film tersebut. Terutama pada tokoh Hercule Poirot. Seperti perpaduan antara Sherlock Holmes dan Arsene Lupin (just personal opinion, don’t take it seriously or personally, ok? :)). 

 

Berbekal kesan itu, saya memutuskan untuk membaca karya Agatha Chirstie, namun,  tidak dengan judul yang sama. Saya ingin tahu apakah saya menyukai Agatha atau Hercule Poirot. Maka, misi saya ke pustaka wilayah sukses dengan membawa pulang buku Nemesis di tangan.

 

Nemesis, dengan uniknya mengangkat wanita tua yang memiliki isu kebugaran (dan mungkin juga kesehatan  fisik) sebagai tokoh utamanya. Suatu hari, Jane Marple, seorang wanita tua mendapatkan sebuah surat wasiat dari Jason Rafiel—kenalannya saat berlibur beberapa waktu lalu (baca buku A Caribbean Mystery).  Dalam wasiatnya, Mr. Rafiel meminta Miss Marple untuk mengusut sebuah kasus. Jika wanita itu  bersedia, ia menawarkan imbalan sejumlah 20 ribu pound.  

 

Seperti telah mengenal Miss Marple dengan sangat baik, (meski mereka hanya bertemu sekali dalam kurun waktu yang relatif singkat)  Mr. Rafiel tak hanya menawarkan imbalan besar saja. Ia juga menawarkan sebuah teka-teki, sebuah misteri untuk dipecahkan Miss Marple.

 

Miss Marple yang merasa iba dengan kematian Mr. Rafiel, menyambut harapan terakhir pria –yang dalam pandangan Miss Marple—baik hati itu. Meskipun ia sedikit terkejut pada kenyataan bahwa permintaan itu berasal langsung dari mendiang melalui surat wasiat. Seolah tahu bahwa nyawanya terancam, sebelum ajalnya tiba, Mr. Rafiel telah mempersiapkan semua hal yang diperlukan Miss Marple untuk memecahkan teka-teki itu. Semuanya. Kecuali keterangan kasus.

 

Ternyata kasus itu benar-benar kasus misterius. Miss Marple harus menemukan sendiri kasus apakah yang sebenarnya perlu ia ungkap, sebab Mr. Rafiel tidak memberikan penjelasan umum, tidak juga petunjuk khusus. Miss Marple hanya digiring menuju berbagai tempat, dibawa menemui bermacam-macam orang. Tetapi tak ada keterangan mengenai peristiwa, apalagi hipotesis atau asumsi dasar.

 

Dalihnya, pria kaya-raya itu sangat percaya pada kemampuan menilai seorang Jane Marple, Sang Nemesis. Tidak, bukan nemesis dalam artian musuh bebuyutan. Namun Nemesis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani kuno.

 

Perjalanan memecahkan teka-teki itu, mengantarkan Miss Marple pada kematian-kematian lain yang menggelitik instingnya. Ia juga mendapatkan fakta-fakta menarik di balik kehidupan Mr. Rafiel. Mungkin saja ini adalah suatu petunjuk. Bagaimanakah Miss Marple dapat memenuhi wasiat kawannya itu? Kasus apa yang sebenarnya harus Miss Marple pecahkan? Petualangan memecahkan kasus misterius oleh  Jane Marple, wanita tua sederhana dari desa sederhana sangat menarik untuk diikuti.

 

Membaca novel ini seolah menyaksikan teropong Agatha Cristie mengarah pada kehidupan dan nasib orang-orang sepuh yang tinggal di desa, serta kehidupan warga desa atau orang sepuh pada umumnya. 

 

Realita kehidupan orang-orang tua di desa, terutama wanita tua yang telah ditinggal suaminya, terekam baik dalam narasi Agatha. Dapat terlihat bagaimana mereka saling bergantung satu sama lain.

 

Mungkin Anda juga akan jatuh cinta pada cara Agatha dalam menggambarkan tokoh-tokohnya. Misalnya Miss Marple. Kesederhanaan dan keluguan Jane Marple dipadu dengan kecerdasan, kebaikan hati serta tabiat wanita tua (termasuk tabiat buruk) pada umumnya. Namun, bagaimanapun juga ada suatu hal spesial yang tak diungkap tentang Miss Marple dalam buku ini, sehingga memancing rasa penasaran terhadap masa muda dan kisah hidupnya.

 

Nemesis mengandung kritik sosial yang menarik tentang gaya hidup anak muda dari sudut pandang generasi lansia. Seperti hal klasik lainnya, pandangan tersebut sangat relevan dengan masa kini. Meski misteri cerita tak begitu sulit untuk ditebak, tetapi jangan khawatir. Latar-latar yang indah, dinamika tokoh dan penokohan, peristiwa kecil yang tak disangka-sangka dapat menjadi humor, narasi yang menegangkan, dan  sebuah ketenangan(?) juga disuguhkan dalam buku ini.

 

Bagi saya, secara keseluruhan, warna dan nuansa buku ini seperti: 


fajar sipil. Saat sinar matahari pagi sudah cukup untuk membantu kita melihat dan membedakan benda-benda sekitar, namun, belum cukup terang, apalagi untuk merasakan hawa panas. Meski begitu, Agatha memberikan selimut dan secangkir teh hangat untuk menemani perenungan dan percakapan yang akrab. Menurut saya itu unik. Mendapatkan rasa hangat dan akrab  dari sebuah cerita misteri.

 

Terkadang, rasa cinta yang besar saja tidak cukup dalam hidup. Kebijaksanaan, ketulusan, serta ketabahan hati yang luar biasa dibutuhkan untuk memahami kehidupan. Itulah yang diajarkan buku ini pada saya. Oh, satu lagi! Sikap skeptis yang ekstrem dapat merugikanmu.

 

Oktober 2023

Sabtu, 17 Mei 2025

Cerpen: Secangkir Teh dan Segelas Kopi

Oleh: S. N. Aisyah


Ia berdiam diri di hadapan sebuah monitor. Beberapa menit larut dalam hening, kemudian ia berjalan menuju dapur. Tangannya menggapai cangkir teh, namun segera diurungkan niat itu. Dengan langkah gontai, ia berbalik arah, kembali pada monitor, megutak-atik sebuah playlist. Lagu classic retro menggema sayup. Di luar, hujan masih saja turun. Embun menyerbu jendela, menutupi pemandangan kota. Ia duduk sedikit meringkuk. Membenamkan diri dalam sweater, menungkus diri dalam selimut.

 

Tepat dihadapannya, kursor berkedip-kedip dalam lembar kosong monitor. Meja kerja penuh tumpukan kertas, buku, koran, majalah, kacamata, dan alat tulis. Semuanya menebar tak berpola. Sebuah surat kabar menjuntai pada sisi meja. Lembar kosong monitor dan meja nan penuh itu berbagi rasa yang sama: nelangsa. Sedangkan bola matanya jauh menerawang.

 

Kira-kira pukul lima. Saat matahari sudah secondong masyarakat--sangat ke barat-- dan angin musim hujan yang bersilir menjadi tiupan kencang, Ia menyusuri paving block jalan utama kota. Berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar. Melewati dinding-dinding tinggi gedung pencakar langit.

 

Pepohonan yang menjejeri jalan raya mendayu-dayu. Dedaun kering berguguran, sebagian dibawa tiupan angin. Lampu-lampu jalan masih belum menyala meski langit sudah terlihat murung. Kakinya tak berjeda memangkas setiap senti jarak antar rusunami dan gedung angkuh tempatnya bekerja. Tidak jauh memang. Hanya beberapa blok saja.

 

“Maaf,” Ia berkata pelan dengan suara terburu. Hanya beberapa senti jaraknya, nyaris saja Ia menabrak seseorang.

 

“Saya juga, maaf,” calon korban tabrakan itu menjawab seraya tersenyum.

 

Ia bergeming sepersekian detik lamanya kemudian menggeleng kecil seolah hendak mengusir nyamuk yang berdenging di telinga. Sesambar kilat, wajahnya kembali datar lalu kedua alisnya menyeringit seolah begitu banyak hal janggal yang ditemukannya pada wanita itu. Mungkin senyumnya, scraftnya, tote bagnya, matanya, keseluruhan dirinya.
 

Ia sudah terbiasa untuk mengabaikan segala hal yang ia kira tak perlu, tak terkait dengannnya. Akan tetapi, tidak jarang perkiraannya tersebut tak kena sasaran. Atas azas praduganya yang tak dapat di nalar oleh kelompok sosial manapun, rasa bersalah kerap menghampirinya. Namun, tentu saja ia anggap hal itu sama-sekali tak terkait dengan hidupnya, tidak diperlukannya.


Banyak pekerjaan yang telah ia lakukan tanpa pernah mengerti alasan mengerjakannya. Ia tak berniat untuk ambil peduli. Akan tetapi, wanita ini merupakan hal yang berbeda baginya. Ia tidak dapat mengabaikannya. Ia tak tahu apa. Namun, kejanggalan tersebut merupakan sebuah ‘ketidakasingan’. Hal yang mungkin jarang ia temukan pada sosok manapun, bahkan hingga detik terakhir saat ia menyadarinya.
 

“Bagaimana kabar Anda?” Wanita muda itu bertanya kepadanya. Ia hanya diam. Bukan karena tidak mengerti dengan pertanyaan itu, hanya saja ia tidak mengerti akan alasan pertanyaan itu.

 

Balasan diam yang begitu canggung disambut dengan senyuman dan pertanyaan serupa, “Bagaimana kabar Anda?”

 

Kembali wanita muda itu bertanya. Pertanyaan ringan yang diiringi ekspresi paling tulus yang dapat direka wajah agaknya.

 

“Maaf, apa saya mengenal Anda?” Ia hanya menjawab dingin, seolah dilanda keraguan untuk sekadar berbasa-basi. Khas persona-persona yang mengaku kukuh dan piawai dalam kehidupan sosial kini, salah satunya: urus urusanmu sendiri. Penyakit ini kiranya sudah menjangkit siapa saja. Tentu dengn berbagai macam sebab, dalih, dan alasan untuk dijangkit atau terjangkit.

 

Tak seperti dingin yang dilontarkan, langit seolah ingin mencairkan percakapan. Angin yang bertiup kencang kini disusul awan-awan kelabu, lalu satu-dua rintik air mulai berjatuhan. Agaknya obrolan basa-basi dapat dilancarkan seperti breaking the ice yang digunakan oleh orang-orang inggris di buku teks pembelajaran bahasa asing. Ah, biarlah obrolan semacam itu tetap ia simpan di buku pembelajaran bahasa asing.

 

“Pertanyaan Anda begitu lucu. Mengapa Anda bertanya pada saya, bukankah Anda yang tahu jawabannya?” Cakap wanita itu cukup masuk akal. Jawaban yang cukup mudah untuk diterima seperti halnya semudah menerima wanita muda ini dalam kawanan sosial. Terutama di kota mereka. Di negeri kecil yang terombang-ambing arus dunia yang sangat besar.

 

“Oh, apa Anda mengenal saya?” pertanyaan konyol itu disambut semburat tawa kecil.

 

Lalu dengan ceria wanita muda itu berkata, “Apa saya harus mengenal seseorang terlebih dahulu, untuk menanyakan kabarnya?”

 

“Hah…” ia kehilangan kata-katanya. Akan tetapi rasa tertarik tidak dapat ia singkirkan dengan mudah. Tidak pada wanita ini. Setelah berpikir sejenak, maka ia memutuskan untuk bertanya “Kalau begitu, bolehkah saya mengenal Anda?”

 

Meski belum larut, namun, kota sudah ditutupi bayang-bayang. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Pendar-pendar redup itu memagari jalan raya. Memberi bias keemasan dalam setiap pantulannya. Gedung-gedung dan etalase sudah mentereng. Aroma kopi, roti, serta makanan hangat lainnya menguar. Tak henti-henti menerobos lembap udara, seolah melarikan diri dari dapur-dapur, menggoda siapa saja untuk singgah meski sedetik sahaja.

 

Kini rintik berubah menjadi rinai. Butir demi butir air nyaris sempurna menutupi permukaan bumi. Menyebabkan sekelompok gadis yang berjejer di bangku jalan utama berhamburan.

 

“Bagaimana dengan segelas kopi? Oh, teh tentunya bagi Anda?” Wanita itu sigap menyahut. Seolah mereka saling berbagi memori, bersilang kenangan. Mengingatkannya pada suatu waktu di masa lampau yang tak dapat ia rengkuh kembali.

 

“Tentu”.

 

Ia tidak pernah mengira bahwa akan datang hari ia dapat dengan senang hati beriringan dengan seseorang—yang bahkan bukan kenalannya—tanpa ada beban, meski hanya sedetik saja. Tak ada komando, tanpa kata, dua pasang kaki mengarah pada arah yang sama. Mereka memasuki kedai kopi, memilih sebuah meja persegi dengan dua bangku di sudut belakang, tepat di hadapan sebuah jendela. Tak tersentuh hujan, cukup jauh dari hiruk-pikuk.

 

“Bagaimana Anda tahu tentang teh?” Suaranya terdengar jelas. Kontras dengan musik yang mengalun sendu dari pengeras suara di langit-langit warung kopi, lagu-lagu yang sesekali akan terdengar syahdu bagi penyendiri pengidap sakit sepi.

 

“Bukankah sangat jelas?” jawab wanita itu.

 

Sangat jelas? Agaknya Wanita muda menganggap jawabannya selicin lantai kayu yang mereka susuri sejak memasuki pintu utama warung. Sejelas meja-meja panjang tempat barista bekerja. Atau mungkin, jawaban itu didapat asal mau mengamati kusen-kusen jendala dan pintu yang terbuat dari kayu jati yang telah dipernis dengan teliti? Pikirnya.

 

“Jelas? Anda seorang detektif?” Ia mendengkus seraya tersenyum sinis.

 

“Pengamat, mungkin?” jawab si wanita lagi seraya menarik senyum. Tentu saja senyum yang berbeda.

 

Hening sejenak. Minuman tertata di meja. Setelah berterima kasih pada pramusaji, kemudian, si wanita angkat suara, “Bukankah Askar dan NaaNaa begitu mengesankan?” Ia merujuk pada dua penulis besar dari kota mereka.

 

“Begitukah?” Ia meraih cangkirnya. Asap tipis menari-nari. Samar tercium aroma teh sakura.

 

“Tentu saja Anda berpikir begitu, benar?” Ada sirat semangat pada mata wanita itu. Hanya sekilas lalu, sebelum tatapan menunggu persetujuan dilayangkan.

 

Lantas, Wanita muda melanjutkan, “ Seperti halnya serial yang Anda baca, tulisan Anda juga penuh misteri.”

 

“Dan hal itu mengacu kepada?” tanyanya. Dahinya menyeringit lagi. Kepala sedikit dimiringkan. Menuntut penjelasan atau mungkin hanya menagih ulasan.

 

“Perubahan cerita, kaitan-kaitan realita dan refleksinya dalam tulisan Anda, bukankah mereka tidak pernah bertemu? Tidak pernah mengobrol dengan secangkir kopi atau teh?” Setiap kata yang terlontar dari bibir wanita itu, diterima dengan lamban. Seolah kata-kata itu hendak menuntut sesuatu yang tidak pernah ia miliki. Entah mengapa, ketenangan suara wanita muda itu melukainya dengan hebat.

 

“Mereka tidak membutuhkannya. Realita dan refleksi tidak perlu menghabiskan waktu di warung kopi,” acuh tak acuh ia menjawab. Lalu dialihkannya pandangan.

Sekelompok orang baru saja mengambil meja di tengah warung kopi. Agaknya mereka terlampau ribut baginya. Membuatnya mendelik tak suka.

 

“Ya, mereka tak perlu, masyarakat yang memerlukannya. Penting bagi masyarakat agar realita dan refleksinya dalam tulisan saling bertemu, ‘kan?” Wanita yang berada di hadapannya berujar tanpa menoleh padanya.

Ribut sekelompok pengunjung baru itu memang mengalihkan perhatian. Tentu saja, kedua orang yang tengah mengobrol ini memiliki tanggapan yang berbeda terhadap gerombolan manusia itu.

 

“Masyarakat hanya menginginkan hiburan. Mereka hanya sekadar memenuhi rasa ingin tahunya, juga hanya mendengar hal yang dianggap benar, dianggap menyenangkan.” Ia telah kembali seutuhnya dalam percakapan. Di sela kalimat, ia tertawa sinis.

 

“ Membosankan, memuakkan, ya, ‘kan?” Wanita ini membenarkan dengan senyum prihatin.

 

“Ya, dapat dikatakatan begitu.” Ia terdengar seperti orang yang dirundung bosan. Kerontang seperti bangunan kota ketika musim kemarau menyapa.

 

“Lalu, yang Anda lakukan adalah …?” Kini Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Kedua sikunya menumpu pada meja. Jari-jarinya saling bertaut menopang dagu.

 

“Memberikan hiburan. Bermain dengan mereka dan meraih keuntungan, tentu saja.” Tampak tidak nyaman, ia mengadu bahu pada sandaran kursi sedangkan lutut kanannya menumpu lutut kiri.

 

“Bahkan Anda jauh lebih memuakkan. Benar, hiburan yang Anda berikan kepada saya begitu banyak. Anda tahu bagaimana rasanya bermain dengan misteri ‘realita dan bayangannya’ dari kata-kata yang Anda rangkai?” Suara wanita itu hilang timbul dalam riuh yang memenuhi ruangan. Lalu katanya lagi;

 

“Terkadang rumit memang, terkadang setegas matahari yang terbit dari timur. Namun, satu dua terlihat seperti sirkus murahan, sekadar lelucon yang menertawakan tanpa kritik cerdas sama sekali. Jauh dari wira atau cendekia.” Si Wanita menatap lekat, berusaha melontarkan setiap kata dengan tenang. Akan tetapi, rasa kecewa itu kiranya tak dapat dibendung, meluap melalui suaranya yang sedikit bergetar.

 

“Anda begitu peduli pada saya, tampaknya?” Ia membalas.

Suaranya tinggi tertahan. Kini kedua tangannya saling menyilang di depan dada. Berupaya tak peduli, agaknya juga sedikit menjaga kebanggan diri. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat seolah dapat dihanyutkan oleh gusarnya.

 

“Ya, saya mengikuti Anda karena masyarakat. Apa yang membuat tulisan itu berjalan dengan gerakan misterius? Bagi masyarakat yang sudah tangguh, mungkin mereka tidak akan membeli pertunjukkan murahan Anda. Tapi bagaimana dengan mereka yang goyah, yang hanya menginginkan kesenangan belaka? Mereka tidak akan berpikir lebih jauh dan saat memutuskan untuk mengikuti, mereka hanya akan terbiasa dengan pola pikir yang terlampau membeo. Merupakan tanggung jawab Anda untuk tidak membuat beo meluapkan kata-kata tak bermartabat.” Ada ketegasan dalam setiap kata-kata itu. Ada tuntutan dalam setiap kalimat. Tatapan hangat itu kini menunjukkan tajamnya.

 

“Saya membantu mereka, memberikan apa yang mereka inginkan. Memenuhi rasa ingin tahu yang sesuai dengan harapan. Menyanyikan lagu nina bobo. Membuka dunia modern, memberikan kebebasan, peluang untuk menginterpretasi hidup seperti yang sebagian besar dunia sedang lakukan.

Mengapa saya harus bertanggung jawab atas kebodohan mereka? Atas keputusan mereka untuk mengejar hasratnya? Mereka abai apabila suatu hal tidak menyenangkan bagi diri mereka. Jika saya mengambil jalan tak menyenangkan itu, akibatnya apa yang saya lakukan akan lebih sia-sia, tidak dipedulikan sama sekali.

Jika sudah begitu, saya juga tidak akan mendapat keuntungan apa-apa. Lalu apa yang menjadi misteri dalam kata-kata saya? Tidak ada. Saya hanya melakukan hal yang seharusnya saya lakukan. Memberikan kesenangan dan mendapatkan balasannya. Simbiosis mutualisme.” Semua ia utarakan dengan suara tenang, namun juga dengan luapan emosi yang labil. Ia terdengar muak, ia terdengar prihatin, ia terdengar marah, ia terdengar merana dan dilanda sakit sepi. Tak sedikit pun ia terdengar bahagia.

 

“Simbiosis mutualisme hanya berlaku jika sama-sama menguntungkan. Tetapi Anda dan mereka hanya berbagi ilusi. Rasa bersalah terkadang menghantui Anda, bukan? Menjilati kaki pengusaha bajingan, menjadi anjing penjaga penguasa biadab, memupuk hedoisme, bermain-main dengan kebenaran, membodohi, menipu, manipulatif, menutup-tutupi, menyingkirkan apapun yang dapat menjadi penghalang ketenaran, kekuasaan, pengaruh, status, dan segala kesenangan belaka.

Semua itu pada akhirnya hampa, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga berlaku bagi Anda. Dapat Anda konfirmasi?” Wanita itu berkata cepat bak kereta listrik, seolah ingin mengantarkan penumpangnya—kekecewaan dan kegetiran— sesegera mungkin pada stasiun berikutnya, bahkan lebih cepat dari pada kemampuan si kereta.

 

Hening, tidak ada kata lagi yang terdengar. Ia dan wanita muda itu melebur dalam diam. Seolah tenggelam pada pikiran masing-masing. Mencoba terlihat normal, menyibukkan diri pada cangkir teh dan gelas kopi. Menyeruput teh yang sudah tidak hangat, meneguk pekatnya es kopi yang mencair. Dalam diam, mereka saling menilai, saling menyelidiki.
 

2017-2023

Bagian Satu: Pemakaman

 Oleh: S. N. Aisyah Apa yang dibawa oleh kematian? Apa yang dibawa oleh perpisahan jasad dan jiwa manusia? Apakah perpisahan i...