Coba saja kau bayangkan, bagaimana mungkin sesuatu lahir begitu saja? Maksudku, segala sesuatu itu tak lepas dari rantai sebab-akibat.
Nah, perkara tipu-menipu, ia lahir dari kerusakan. Jangan tanya apa maksudku. Kau pasti paham maksudku. Aku yakin bahkan kau sendiri sering ditipu oleh dirimu, kan?
Menurutmu, siapa penipu dalam dirimu? Apakah itu lidahmu? Matamu? Telingamu? Apa kau mengerti maksudku?
Intinya, kita sering ditipu bahkan oleh diri sendiri sekalipun.
Begitulah perdebatan kami berakhir pada suatu kesepakatan.
Keesokan harinya, saat matahari masih berleha-leha di langit timur, kawanku yang baru saja pulang dari berbelanja bahan masak menghampiriku yang tengah memotong-motong sayur di dapur.
" Ini," ujarnya seraya menyerahkan kantong belanjaan. Ia berbalik menaruh tepung dan bahan lainnya pada lemari yang terletak tepat di belakang meja dapur, tempat aku memeriksa belanjaan pagi itu.
Singkatnya, kami saling membelakangi.
"Eh?" Mendengar suara itu aku langsung menoleh ke belakang. Apakah ia melupakan sesuatu?
Kudapati kawanku juga menoleh padaku.
"Apa?" Ujar kami serentak.
"Kau bilang sesuatu?" tanyanya padaku. Wajahnya tampak bingung.
"Kukira kau yang ngomong," jawabku. Sama bodohnya.
Lalu kami terdiam. Siapa lagi yang bicara kalau bukan salah satu di antara kami? Jelas-jelas aku mendengar suara itu tepat di belakangku.
Lalu siapakah penipu kali ini?
Telingaku, telinganya? Otakku atau otaknya? Ataukah ini perkara hati manusia yang suka membodohi dan pengecut, yang percaya bahwa arwah wanita itu datang menyapa?
18 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar