Oleh: S. N. Aisyah
Kau tahu seberapa bodoh manusia? Ia hanya akan mendengar apa yang ingin ia dengar. Ia hanya akan melihat apa yang ingin ia lihat. Dan ... tentu saja, ia hanya akan memercayai apa yang ingin ia percayai. Manusia bodoh itu seperti kau, seperti dia, dan tentu saja seperti aku.
***
Untuk pertama kalinya, aku menemukan seseorang yang merenggut sebagian besar hidupku. Namun, tak pernah aku keberatan akan hal ini. Sebab, ia pula-lah yang mengisi kembali setiap inchi yang hilang itu. Membuatku menaruh hati padanya. Arum, namanya.
Arum, wanita itulah yang menjadi alasanku memacu mobil di pekatnya malam, membelah jalanan yang lengang. Membiarkan sunyi temani kunjunganku kali ini. Membawakannya sebuket mawar putih. Bahkan, kini dapat kubayangkan senyuman indah Arum saat menerima bunga itu nanti.
Mungkin saja, perjalananku sejauh 140 km dalam bekunya malam semata untuk bertemu Arum, dapat dikatakan tak rasional. Tak dapat pula kusangkal. Sejak bertemu dengannya, aku memang kerap melakukan hal-hal bodoh dan tak masuk akal. Meski sering kali ia melarangku berlaku demikian, kepalaku begitu batu. Bahkan, kebijaksanaan, pengertian, dan kebaikan hatinya ini justru membuatku makin menyukainya dan bertambah bodoh saja di hadapannya.
Aku tak menyesal dan tak akan menyalahkannya atas tindakan bodohku. Sebab, sejatinya semua orang memiliki kebodohan dalam dirinya. Perkara apakah manusia memilih untuk memelihara atau mengabaikan kebodohan itu, merupakan suatu perkara yang berbeda.
Kebodohanku sudah tampak sejak usiaku delapan tahun. Saat ibuku terus saja berkata bahwa ayahku akan kembali ke rumah jahanam kami, setiap kali aku bertanya pada Ibu tentangnya. Seperti Ibu, dengan lugunya aku akan duduk di beranda hingga senja benar-benar lenyap. Berganti ketenangan malam yang mendabuh dada, menggaungkan sepi yang saban malam saban mapan. Lalu, dalam diam aku dan Ibu akan berangkat tidur hanya untuk menemui pagi yang lebih sunyi.
Di pagi-pagi sunyi itu, jari-jari Ibu yang panjang dan kurus akan mengamit telapak tanganku. Mengalirkan hangat di sepanjang perjalanan kami menelusuri jalan berpagar hutan pinus menuju sekolah. Ditemani kicau burung, sinar matahari yang lembut, juga rumput dan dedaunan yang berbungkus embun pagi, aku dan Ibu saling menumpahkan rencana-rencana yang lahir di kepala kami. Rencana-rencana yang akan kami wujudkan saat pria itu pulang nanti.
Aku menyukai wajah Ibu saat tersenyum mendengar celotehku tentang minta diajari naik sepeda atau sekadar mengajak Ayah beli es krim di toko kelontong Pak Wim. Sebenarnya, tidak hanya saat itu aku menyukai senyum Ibu. Ibuku memang sering tersenyum. Senyumnya sangat indah. Namun, sesering senyumnya terbit, seacap itu pulalah Ibu tampak melamun. Matanya yang kosong menjadi cermin kesedihan yang tak dapat kulukiskan. Membuatku kerap menaruh iba padanya.
Akan tetapi, Ibu adalah Ibu. Wanita kuat yang berwatak lembut, bertutur halus, berwajah kasih. Selalu disembunyikannya duka hati dari orang lain. Dan ibulah satu-satunya orang yang ia bohongi. Semua orang tak dapat ditipu dengan senyum dan tawa itu, kecuali dirinya.
Satu-satunya senyum abadi yang Ibu miliki adalah saat ia merawat ladang arum lilinya. Satu-satunya saat ia tampak benar-benar bahagia adalah saat Ibu memanen arum lili putih dan merangkainya jadi buket yang indah, namun menyedihkan. Arum lili itu adalah bunga pertama dan terakhir yang diberikan Ayah pada Ibu. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan Ibu terobsesi dengan bunga itu. Seolah kesetiaannya menjaga arum lili menunjukkan kesetiaannya pada Ayah.
Cinta sialan Ibu pada Ayah yang tak kunjung pulang itu melahirkan awan-awan hitam di rumah kami. Induk dari segala kemurungan yang beranak pinak di setiap jengkal perjalanan panjang yang kian meletihkan. Perlahan, seiring usiaku beranjak, senyum Ibu turut memudar pula.
Tidak, Ibu tidak menangis atau bersedih hati. Tak pernah sekalipun ia memaki sosok lelaki yang meninggalkannya seorang diri tanpa kabar itu. Ibu memang tak memperlihatkan kesedihan di hadapan orang lain, tetapi kerap kali ia berdiam diri, mematung saat hendak melakukan apapun. Seperti orang bingung atau seperti hantu berjiwa kosong.
Suatu hari, saat aku berusia 14 tahun, kudapati Ibu duduk di lantai sambil memeluk vas bening berisi arum lilinya dengan erat. Menangis pilu, sesekali ia tergugu dan meraung-raung. Aku yang baru saja pulang sekolah, segera merangkulnya. Berusaha untuk menenangkan. Berulang kali kutanyakan apa yang telah terjadi. Namun, tak sekalipun Ibu menjawabku.
Ia terus saja menangis. Tubuhnya berguncang hebat. Sesekali memukul dada. Meronta-ronta saat hendak kuajak berdiri untuk duduk tenang. Lama benar ia larut menangis. Kutunggu, tak kunjung tangisannya berhenti meski suaranya tak lagi terdengar dan ia tak lagi dapat meronta sebab kehabisan tenaga. Ia tak henti menangis hingga matanya berubah semerah darah dan membengkak seperti disengat lebah.
Kutinggalkan Ibu. Pergi mencari jawaban atas tangisnya. Saat hendak meninggalkan rumah, Bu Ramli yang baru saja melintas, bertanya keadaan ibuku. Ia berkata bahwa ia khawatir, tak lupa ia mengusap punggungku, mengucap belangsungkawa. Sejenak, aku tak mengerti dengan apa yang Bu Ramli katakan.
”Maksudnya bagaimana, Bu?”
”Jadi Nak Dani belum tahu? Ibu tidak memberitahu?”
”Beritahu apa, Bu?”
”Kabar dari Ayah Nak Dani. Beliau sudah berpulang pada Tuhan. Seseorang dari seberang pulau baru saja membawa kabar, adik ipar ayah Nak Dani dari ibu tiri Nak Dani,” tutur Bu Ramli.
Aku punya ibu tiri? Sejak bila? Omong kosong ini membuat otakku bekerja dengan lamban. Samar namun menggema penjelasan Bu Ramli berikutnya berlarian di telingaku. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu.
“Cobalah lihat amplop berkas yang diberikannya kepada ibumu tadi. Semua penjelasannya ada di sana. Apa ibumu baik-baik saja?”
”Saya permisi dulu, Bu.” Aku berbalik badan, berlari menyusuri halaman agar segera tiba di rumah. Kemudian mencari-cari dokumen sialan itu. Sedang ibuku kini berdiam mematung, bermata kosong.
Seperti pohon kapas yang telah ranggas, sekering itu pulalah jiwa Ibu di hari-hari berikutnya. Berhari-hari ia menahan diri dalam rasa lapar yang tak pernah dihiraukannya. Seringkali Ibu melemparkan piring yang kuusodorkan. Selalu menolak tanganku yang ingin betul menyuapinya. Menepis gelas hingga jatuh berderai di lantai.
Bibir Ibu kerap kali teramat kering dan pecah-pecah. Ia pucat, makin kurus, dan tak lagi mengurusi bunga-bunga arum lili putihnya itu.
Berbulan-bulan Ibu larut dalam kedukaan yang tak tahu ujung. Ibu nyaris tak melakukan hal lain selain bermuram durja. Mengunci mulutnya, begitu pula dengan jiwanya. Kerap kudapati Ibu memandang dengan mata kosong, duduk di bangku kayu di dapur, tepat di depan jendela, menghadap ke ladang arum lili. Saban hari, ibaku kian merebak. Begitu pula dengan sesalku.
Aku dan Ibu hidup dalam nestapa hingga bulan-bulan kelam itu akhirnya menemui ajalnya. Suatu hari, entah sejak bila mulanya, pun aku tak tahu. Tiba-tiba saja, Ibu tersenyum ceria. Kembali menjadi ibuku. Ibuku yang dulu selalu tersenyum, yang selalu memasak untukku, yang selalu merawat arum lilinya.
Tiba-tiba saja aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Di Hari-hari saat kami masih mengobrol bahagia tentang Ayah. Aku melihat sosok Ibu yang dulu selalu menggenggam tanganku, mengantar ke sekolah. Namun, bedanya, kini tak ada lagi duduk di beranda hingga senja atau obrolan tentang Ayah dalam kehidupan kami.
Mungkin aku adalah orang yang paling bahagia saat ibuku kembali menjadi Ibu yang lembut, penyayang, dan ceria. Membuatku ingin kembali duduk berlama-lama di beranda hingga senja menjelang. Mencoba mencari jawaban dari semua kejanggalan ini. Tentu saja tanpa ditemani Ibu.
Suatu malam yang dingin di musim kemarau, aku terbangun dengan tenggorokan yang terasa amat kering. Dengan sedikit enggan aku berjalan menuju dapur. Saat itu, dari pintu dapur, kulihat Ibu tengah memasak membelakangiku seraya berbicara, seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Siapa pula yang datang selarut ini? Aku melongok ke dalam dapur. Tak ada seorang pun selain Ibu.
”Ibu, Ibu bicara dengan siapa?”
Ibu terkejut hingga hampir menumpahkan sayur kucai dari wajan yang sedang ia pegang.
“Tidak, tidak ada. Mungkin kau salah dengar.”
”Benarkah?” tanyaku seraya menuang air dalam gelas. Kemudian meneguk habis air itu. Aku masih tak percaya pada Ibu, padahal jelas-jelas Ibu berbicara tadi.
“Ya, duduklah. Ayo kita makan. Ibu masak kucai, sayur kesukaan ayahmu.”
Sebenarnya aku tak berselera makan di larut malam begini. Apalagi membawa-bawa nama Ayah. Namun, demi melihat binar mata dan wajah Ibu yang berseri, tak sampai hati aku menolaknya.
Sejak malam dingin di musim kemarau itu, sering kudapati Ibu bangun tengah malam serta meracau di ruang tamu. Ia sesekali tersenyum manis dan seperti mengobrol dengan seseorang. Kadang kala, di malam-malam itu Ibu akan memasak makanan kesukaan Ayah sambil berbicara sendiri. Pada mulanya, Ibu selalu menutupi kebiasaan barunya. Hingga akhirnya semua itu tak dapat lagi ia sembunyikan dariku yang selalu menuntut jawaban.
”Ibu sedang bicara pada ayahmu, Nak,” jawab Ibu saat aku bertanya untuk yang kesekian kalinya.
”Mana ayahnya, Ibu? Tidak ada siapa-siapa di sini.”
”Ibu tahu kau kesal pada ayahmu, Nak. Tetapi jangan sampai kau menolaknya begini. Lihatlah, ayahmu jadi menangis,” ucap ibuku dengan wajah iba.
”Ibu, tidak ada orang selain kita berdua di sini. Ayah sudah mati. Bukankah itu yang dikatakan oleh keluarga sialannya?” Entah mengapa aku jadi sangat emosional. Segala perasaan bercampur aduk dalam dadaku. Hatiku buncah.
”Lancang sekali kau, Dani!”
Ibu menamparku dengan keras, kemudian ia kembali menangis seperti saat pertama berita terkutuk itu tiba. Selama tiga hari berturut-turut Ibu mengunci diri di kamar. Bahkan tak keluar saat Paman Rusli, adik ibu, datang menjenguk. Selama ini, Paman Rusli-lah yang membantu kehidupan aku dan Ibu. Ibu sudah berhenti menjahit sejak berbulan-bulan yang lalu.
Jika masa-masa suram seperti ini kembali tiba, aku akan semakin rajin melarikan diri ke sekolah, belajar dan kemudian bekerja sebagai pencuci piring di warung makan Bu Isil, sepulang sekolah. Aku bekerja sampai pukul sembilan malam dengan upah yang lumayan bagus. Selain itu, Bu Sil selalu membungkuskan lauk untuk kubawa pulang. Katanya,”Makanlah bersama Ibumu.”
Hari-hari kulalui dengan pola yang sama. Aku hanya dapat membereskan rumah, mencuci, dan belajar sendiri di malam hari. Terkadang badanku terasa remuk-redam, tapi itu lebih baik. Sebab, rasa letih memaksaku untuk dapat tidur, melupakan kesengsaraan Ibu atas cintanya pada Ayah. Dahulu, selalu kucoba untuk meyakinkan Ibu. Meminta Ibu menuruti kata Paman, menemui dokter. Namun, Ibu tetap bergeming. Ia akan sangat marah jika sudah membicarakan hal ini. Aku tak lagi berani meminta.
Di hari keempat sejak Ibu mengurung diri, sepulang sekolah, kudapati Ibu sedang merawat ladang arum lilinya kembali. Ia menyapaku dengan hangat, menyuruhku makan masakan yang telah disediakan di meja makan. Di hari ke tujuh, Ibu kembali menerima pesanan menjahit.
Itulah mulanya buket-buket arum lili kembali menghias tiap ruang. Sekilas Ibu terlihat kembali seperti semula, ibuku yang dulu, yang selalu menuntun tanganku saat pergi ke sekolah. Namun, Ibu juga kembali bertingkah seperti Ayah hadir di antara kami.
Kali ini, sikap Ibu persis seperti saat sebelum Ayah lenyap tanpa kabar. Ibu terlihat sehat dan bahagia. Jadi, aku hanya membiarkannya saja. Kembali menjalani rutinitasku, sekolah dan bekerja. Terkadang, aku hampir saja percaya bahwa Ayah kembali hadir menemani kami.
Begitulah kami hidup bertahun-tahun. Berpura-pura, membodohi diri sendiri.
Hingga pada suatu hari, di usiaku yang ke 30 tahun, aku bertemu Arum. Ia wanita manis yang sangat baik. Ia tangguh, cerdas, lembut juga penyayang. Ia sangat menyukai mawar putih. Kukira, inilah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkannya pada Ibu.
Maka, di suatu siang akhir pekan itu, aku menjemput wanita yang menawan hatiku. Berkendara sejauh 130 kilometer. Dapat kurasakan senang dan gugupnya ia saat tahu bahwa kami akan menemui ibuku. Agaknya, sama seperti yang kurasakan saat pertama kali menemui orang tuanya. Namun, siapa yang menyangka bahwa hari itu bukanlah hari yang kami nantikan.
***
Malam makin larut. Jalan menuju rumah Arum sangat gelap. kuputar setir memasuki parkiran khusus kompleks kediaman Arum. Menyusuri gang sempit yang berbatas pagar besi dan belukar. Aku memburu langkah. Membiarkan ujung celana parka panjangku ditampar kubangan aspal yang kian berongga.
Saat pagar rumahnya tampak di ujung tikungan, saat itu pulalah kulihat wajah sendunya bercahaya. Bibirnya mengulas senyum. Rembulan kenari seolah redup oleh binar matanya. Suara burung gagak di kejauhan lesap oleh degup jantungku. Lima, empat, tiga, dua, satu langkah lagi. Aku tiba di ambang pintu. Membuka pagar, mendekati wanitaku.
Kuraih tangannya, kemudian menyerahkan sebuket bunga yang ia suka. "Kau datang?" tanyanya penuh haru. Dipangkunya mawar yang senada dengan gaun putihnyanya. Aku hanya mengangguk. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan selalu mengunjunginya? Agaknya pikun gadis ini makin menjadi-jadi saja.
"Kemarin aku berkunjung ke rumahmu. Tapi mereka semua tampaknya tak menyukaiku. Tak ada yang acuh padaku. Bahkan mereka tak bicara sepatah pun padaku." Mata hitamnya berlinang.
Aku tak tahu harus berkata apa, maka kukatakan saja, "Kau tahu mereka tak membencimu. Mereka mencintaimu seperti aku mencintaimu." Ia hanya mengangguk. Kuusap rambut panjangnya. "Istirahatlah, besok aku akan datang lagi," ucapku padanya.
"Kau tidak bohong? Kau tidak akan mengkhianatiku, kan?" Dapat kudengar harapan dan ketakutan dalam suaranya.
"Kau mengenalku. Aku membenci kebohongan. Istirahatlah," ujarku padanya. Ya, aku membenci kebohongan yang telah melekat dalam hidupku. Hidupku yang terkutuk dalam kepura-puraan.
Sejak kecelakaan yang menimpa kami di hari akan bertemu Ibu itu, Arum berubah menjadi gadis pemurung. Penyakit paranoia menggerogotinya. Ia dihantui ketakutan bahwa Ibu dan keluargaku tak akan menyukainya. Sebab, kini ia tak lagi memiliki fisik yang sempurna.
Ia selalu saja takut jika aku pergi meninggalkannya. Yang tak Arum ketahui, aku adalah anak ibuku. Wanita pemilik cinta sialan yang terkutuk pada Ayah. Bagaimana mungkin hal sekecil ini dapat memalingkanku darinya?
Arum tersenyum, menuruti permintaanku. Ia mundur beberapa langkah. Menatapku lekat-lekat. Begitu pula aku, menatapnya dengan amat lekat. Menghapus rinduku padanya.
Ia tersenyum. Senyum indah yang kerap terukir di wajahnya. Kemudian, detik berikutnya, ia menghilang di balik nisan. Pergi tidur dalam makam. Meninggalkan sebuket mawar putih di badan makamnya. Sejenak aku terdiam. Membiarkan udara malam menyapu wajahku, membiarkan angin berbisik di telingaku. Ya, semua sah dalam cinta.
Manusia itu bodoh. Sebodoh ia yang menolak kematianya, dan sebodoh aku yang mengamininya.
Kukira aku sudah gila seperti ibuku. Memilih hidup dalam kebodohan dan kepura-puraan yang kubenci.
Kota Bertuah, 28 Maret 2024