Jumat, 13 Juni 2025
Thought: Not So Late-(Night)Thought?
Kamis, 12 Juni 2025
Fiksi Mini: Kera-Kera.
Sudah dua bulan lamanya kera-kera itu berkeliaran mengusik perkampungan kami. Mereka mengeluarkan suara-suara aneh. Menyerbu masuk ke rumah warga lalu hilang begitu saja saat hendak di tangkap. Apalagi di malam hari. Ya, padahal kera-kera itu bukan Aotus--si kera malam, mereka bukanlah hewan nokturnal.
Tidak hanya itu masalah yang kampung kami hadapi. Sejak kemunculan makhluk itu, selalu ada hal aneh yang terjadi. Salah satunya kejadian malam itu.
Aku yakin saat itu adalah bulan purnama penuh. Saat pertama kali kami melihat sosok yang bergelayut, mengayun, mendayu-dayu di ambang jendela. Kupikir itu adalah seekor kera. Dari kejauahn tampak begitu. Aku dan Bang Aswan yang sedang berpatroli ronda, memilih untuk mempercepat langkah. Merasakan ada hal ganjil yang membuat hati tak nyaman. Terutama di rumah kosong Pak Rahmat.
"Ayo kita jalan saja," ujar Bang Aswan semakin mempercepat langkahnya.
"Tetapi, itu siapa?" tanyaku hendak memastikan, meskipun dalam hati juga mengira bahwa makhluk itu pasti si kera.
Terdengar suara bantingan dan pecahan benda-benda. Riuh sekali.
"Siapa lagi kalau bukan kera-kera itu. Mereka belakangan memang sering datang, 'kan?" Bang Aswan meneruskan langkah, berlawan arah dengan rumah Pak Rahmat.
"Bagaimana kalau dia merusak rumah Pak Rahmat?" Aku menahan langkah.
Hening. Betapa Bang Aswan enggan untuk ke sana, terlihat jelas di wajahnya.
"Bukankah kita beronda untuk menjaga lingkungan kondusif, agar warga merasa aman?" Aku bertanya pelan.
"Kau benar. Ah, Pak Rahmat. Mau berapa lama lagi ia keluar kota, ya?" Mau tak mau ia berbalik arah, memandu langkah.
"Mengapa tak ada yang menjaga rumahnya?" tanyaku tak perlu.
"Mana kutahu. Ayo," titah Bang Rahmat itu kami amini dengan mulai memasuki pekarangan kediaman Si Tuan Tanah yang angkuh.
Kami berjalan menuju rumah kosong Pak Rahmat. Di kejauhan, suara burung wak-wak terdengar. Juga suara menyeramkan lainnya dari hutan. Angin bertiup kencang, menderu di telinga kami. Rembulan menyinari atap rumah Pak Rahmat dengan sendu. Saat mulai dekat dengan satu-satunya jendela yang terang, perlahan siluet makhluk yang kami kira kera itu semakin tampak jelas. Untuk sesaat aku dan Bang Aswan saling pandang. Berusaha saling meyakinkan bahwa kami tidak salah lihat. Jarak kami terhitung sepuluh langkah saja darinya, sosok yang bergelayut itu akhirnya tak lagi bergerak. Aku dan Bang Aswan membatu. Itu bukan kera, itu adalah Pak Rahmat yang tergantung di ambang jendela rumahnya. Pucat pasi. Sudah tak bernyawa.
12 Juni 2025
Rabu, 11 Juni 2025
Poem: Merpati Putih Juni (Kepada Nona N.S.)
Senin, 09 Juni 2025
Book: E-Book untuk Penulis Era Digital
Thought: Bangku Suporter
Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...
-
Oleh: S. N. Aisyah Kau tahu seberapa bodoh manusia? Ia hanya akan mendengar apa yang ingin ia dengar. Ia hanya akan melihat apa ...
-
Oleh: S. N. Aisyah Ia berdiam diri di hadapan sebuah monitor. Beberapa menit larut dalam hening, kemudian ia berjalan menuju dap...
-
Salah satu puisi saya. Mampir ke akun-akun saya buat baca karya lainnya, Yuk. Suatu ketika pertanyaan ini muncul dalam forum obrolan komunit...