Rabu, 19 Februari 2025

Puisi

 

Igau Pujangga

: R, padamu jua sajakku berlabuh

(oleh: S. N. Aisyah)

Kau mendongak ke langit  paling pekat

--Legam, serupa kopi nan kauteguk sehari-hari—

berjalan menuju kawah rawa

tempat segala buaya menanti mangsa

kunang-kunang terbang

jalinan waktu minta dikenang-kenang

lewati saban detik, titi papan bederik

Cahaya matahari jatuh di gulungan awan

Memberi kelam pada bumi yang sawan

Malam-malam jelma makam

Kawan-kawan adalah amam

Di naung kabut dini dan asap  kalbu,

Kau dan aku duduk: kusesal impi, kauusap bahu

Berkilah mengutuk nasib abu-abu

Memilih buku-buku, rambu-rambu, dan kubu-kubu semu

Mencari tanya yang tak tentu, melempar jawab nan tak perlu

Kerap, saat fajar,  suara-suara dalam kepala kita rekah;

Mencari jawab,  usir amarah:

Adakah menara yang lebih rapuh dari raga

berumah jaring laba-laba?

akankah kita melangkah meski kopi tak lagi dapat kaunikmati?

Akankah kebebasan kita rangkul saat mengalah?

Kepada siapa kita ‘kan berserah?

Mahato, 25 Juli 2022

Jumat, 14 Februari 2025

Cerpen


Nyanyian Nur

Oleh: S. N. Aisyah


sumber gambar: ImagineArt


Mungkin dua dekade lalu, saat berlarian pulang sebelum magrib masih jadi suatu keharusan—setidaknya bagi orang yang tak ingin sandal terbang emak mendarat tepat di badan. Saat berkumpul artinya bermain di tanah lapang, berkejaran, sesekali mengolok kawan sebatas candaan. Juga saat tv analog masih jadi pilihan yang kerap menyatukan—atau juga memecah—kehangatan keluarga. Di saat itulah aku mulai berkenalan dengan suatu takdir dalam hidupku.

Baiklah, demi jiwa melankolis yang sudah lama bersemayam dalam dada. Dengan alunan lagu  menemani secangkir kopi dan bara api yang sesekali kutiupkan untuk asa terpendam nan nyaris padam, akan kuberitahu kisah itu, Kawan.

Bisikan takdir itu seolah baru saja jatuh dari langit Sumatera yang amat cerah. Menimpa wajahku dengan keras, melebihi kuatnya layangan sandal emak tiap kali bebalku kambuh. Siang bedengkang* itu, sepulang sekolah, aku berlarian memasuki rumah. Mengganti pakaian, kemudian duduk di muka televisi. Tak sabar, ingin segera menonton pertandingan bulu tangkis.

Siapa lagi yang hendak kutengok kalau bukan pebulu tangkis kenamaan Indonesia itu? Ya, Taufik Hidayat—kalau tak setuju, tak apa. Janganlah disela dulu ceritaku, oke? Ah, kau setuju denganku. Oke—pun seluruh timnas putri dan putra Indonesia.

Siaran pertandingan bulu tangkis yang amat digandrungi bangsa ini membawa suatu  wabah,—jika tidak di seluruh penjuru negeri—setidaknya di desaku. Bilamana tak ada siaran pertandingan, orang-orang: tua-muda, tuan-puan, besar-kecil, tinggi-pendek,  berpunya-tak berpunya, cakap-lengai, semuanya sibuk bermain bulu tangkis. Berlagak tengah bertanding memanggul nama Indonesia di punggung. Biasanya di sore hari dan akan berakhir saat magrib mulai melongok, menyuruh pulang. Bahkan, satu-dua dari mereka masih melanjutkan permainan selepas Isya. Namun, bukan bulu tangkis-lah yang hendak kuceritakan, Ah, sabarlah, Kawan. Aku memanglah banyak cakap. Ya, ‘cakap’ bukan cakap.

Intinya, aku yang masuk pada golongan lengai—tak cakap—dalam bermain bulu tangkis lebih suka jadi penonton. Euforia yang dibawa momen itu juga menjangkiti diriku. Gejalanya, di panas bedengkang* itu, aku duduk terpaku pada tv. Emak yang baru saja menyadari kepulanganku akhirnya menegur.

”Dah pulang, Nur? Biasanya ucap salam, tadi emak tak ada dengar. Makanlah dulu. Usah nonton pula yang diperturutkan,” ucap Emak berkacak sebelah pinggang seraya mengapit bakul anyaman rotan yang baru saja ia selesaikan.

”Ya, Mak,” jawabku singkat.

Emak menghilang, pergi ke bilik belakang.

Takut ketinggalan siaran, mengakibatkan perkataan emak terjemur di daun telinga. Sedangkan mataku asyik memelototi iklan. Waktu terus berlalu.  Aku baru sadar bahwa ini kali keempat Emak berhilir-mudik sambil menyebut namaku. Takut tangan sakti Emak mengambil alih, aku insaf. Segera bangkit. Namun, saat   bangkit itulah, dawai takdir berdenting.

Lagu itu mengalun khidmat namun berkobar. Suara merdu vokalis dipadu dengan musik pop-rock. Semangat juang pemuda nasionalis dituang dalam lirik puitis. Sungguh kontras yang indah.

Tahun itu memang piala Thomas dan Uber tak dapat diangkat Timnas naik podium, membuatku sedikit berkecil hati.  Apalagi saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah. Biarpun begitu, lagu itu cukup menjadi pelipur lara. Bahkan tiap-tiap merayakan hari kemerdekaan, lagu tersebut terus membahana.

Memang ia liris dua tahun sebelum Indonesia menjadi tuan rumah Thomas-Uber, tetapi aku baru mengenalnya di masa Thomas –Uber. Tahulah, Kawan.  Saat itu teknologi dan internet tak segencar sekarang. Akses segala macam hal dan segala hal viral? Tak semudah itu, meski lagi santai, Kawan.

Ah, oke, intinya. Tanpa kusadari, lagu itu telah menyusup dalam jiwa sentimentilku.

Aku dapat kesenangan baru. Menyanyi. Ya, kau tak salah dengar. Anak (yang biasanya—tidak sekarang, aku tahu) tak banyak bicara, yang hanya bersuara saat ditanyai ini, diam-diam senang bernyanyi. Sejak mendengar band kondang itu, bertahun-tahun selanjutnya dalam hidupku aku terus bersenandung. Hobi ini, asa terpendam yang nyaris padam ini, sempat mendapatkan perhatian di suatu hari, di sekolah.

”Sabtu depan, kita akan mengambil nilai bernyanyi,” titah Bu Nizam, wali kelas kami.

Kabar dari Bu Nizam berhasil membuat murid-murid kelas 5 SD yang berjumlah 55 orang dalam satu kelas itu terdengar seperti lebah yang mendengung. Tentu saja sepulang sekolah obrolan seputar lagu jadi bahasan paling seru.

”Kita boleh nyanyi bebas.”

”Aku akan nanyi lagu terhits.”

”Ayo, nanti kita lihat siaran konser di TV bersama.”

”Boleh-boleh, besok minggu kita nonton acara musik pagi.”

”Nanti aku pinjam buku catatan lagumu, ya?”

”Kau ikut ‘kan Nur?”

Begitulah keenam kawanku bergantian berceloteh.

”Ah, tidak. Aku tak ikut,” jawabku.

”Sesekali ikut, Nur. Biar seru.” Kalimat itu mengundang paksaan lainnya. Tentu saja aku menolaknya dengan diam dan senyuman. Sudah terbiasa dengan tingkahku, mereka lanjut mengobrol.

”Oh, nanti, tiap malam, kita bisa merequest lagu kita di radio. Siapa tahu diputar,” saran salah seorang.

”Setuju. Tapi, siapa yang kirim sms? Aku tak berani minta emak,” sahut sorang lainnya.

”Tenang, biar kupujuk kakakku nanti,” kawanku yang punya kakak murid SMA itu memberi solusi.

Inilah kali pertama kudengar kawan-kawanku bersemangat membicarakan radio. Maksudku, zaman itu memang radio amat populer, tetapi jarang bocah-bocah SD di sekitarku yang mendengarkan radio. Mereka lebih senang menonton tv atau bermain di luar rumah. Aku, sebab kakakku yang sudah SMA amat menyenangi radio—bahkan bertukar salam melaluinya—, dengan senang hati ikut mendengarkannya di malam hari, selepas isya. Apalagi di hari libur mengaji.

Kawanku terus bercerita sambil menyebut satu per satu lagu yang mereka sukai. Aku akan menyanyikan lagu ‘itu’ saja.

Senin, 10 Februari 2025

Poems: Percakapan Hujan


Oleh: S. N. Aisyah

Malam ini, kudengar percakapan 

hujan dan genteng 

Begitu riuh dan langgeng

Berceloteh riang

Mengisahkan bulan,

Yang tiap malam berputar, 

kadang temaram, kadang benderang, 

kadang ia padam.

Juga tentang pohon, 

Kendati diterpa badai dan geledek

Teguh mengakar, tak merengek.

Serta tanah, tak tahu lelah

Biarpun tinggi, tak ‘kan lebih

Dari telapak kaki


Malam ini,

kudengar pula

Percakapan dalam kepala

Memaki tiap muram, keluh, 

pun gerutu

Hati dan benakku 

Tak henti berseteru

merajam kalbu

buat saraf beku


Di balik tempurung kepala

Gemuruh angin mengoyak plafon,

dingin hujan jatuh berderu

hunjam hening 

di wajahku


Runung, 10 Februari 2025

01: 07 A.M.

Selasa, 04 Februari 2025

Books:

 Charles Bukowski on Writing

oleh: S. N. Aisyah


sumber gambar: shira media


Identitas Buku:

Judul                    : On Writing

Penulis                 : Charles Bukowski

Penerjemah         : Laila Qadira

Penyunting         : Zulkarnaen Ishak

Penyelaras Akhir: Ipank Pamungkas

Tata Letak            : Herdiantoro

Desain Sampul     : Sekar Bestari

Rancang Sampul  : Katatika Project

Penerbit                : Shira Media

Cetakan                : Pertama, tahun 2020

Tebal                    : x + 254 hlm; 14 x 21 cm

ISBN                    : 978-602-7760-29-5

On Writing adalah sebuah buku yang berisi kumpulan surat Charles Bukowski. Hak cipta buku ini dimiliki oleh Linda Lee Bukowski. Pertama kali diterbitkan dan disusun Ecco, bagian dari HarperCollin Publisher pada tahun 2015. Surat-surat ini dipilih dari ribuan surat yang telah ditulis oleh Bukowski, yang dianggap paling memiliki warna dan menggambarkan diri Bukowski dalam menulis.


Surat Bukowski memberikan tak hanya pemikiran dan pandangannya dalam menulis tetapi juga membocorkan sedikit-banyaknya kehidupan penyair, pengarang, penulis yang penyendiri dan pemurung itu. Surat-surat itu ditulis dengan lugas. Bukowski agaknya tak sedikitpun menyembunyikan perasaan dan pikirannya saat menulis surat. Bahasanya gamblang, pengibaratan dan kata-katanya terkadang kasar.

Pesan–pesan Bukowski pada banyak rekannya itu berisi bermacam hal terkait tulis-menulis. Dalam suratnya itu ia berterima kasih, memberikan dukungan, menerima kritik terhadap dirinya, mengkritik dunia menulis ataupun pelakunya, memberikan tanggapan, menyemangati, membahas karya, dan banyak hal lainnya. Sebagian besar surat ini beralamat pada editor, penyair atau penulis, redaktur majalah atau penerbitan.


Alih-alih menggunakan format surat formal, Bukowski selalu menuliskan suratnya dengan dinamis dan khas. Ia kerap bercerita tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya atau apa yang sedang ia alami. Baginya surat itu sama pentingnya dengan prosa ataupun puisi-puisinya, ditulis dengan sepenuh hati. Membaca surat-suratnya merupakan pintu untuk memahami pribadi dan hidup Bukowski.

Ia telah mengenyam berbagai macam pekerjaan di samping menulis untuk membiayai hidup. Berbagai pekerjaan serabutan yang dilakoninya itu, membawanya bertemu dengan berbagai macam manusia. Berbagai dimensi hidup yang ia temui (dari masyarakat golongan bawah hingga kaum elite) membawanya pada pandangan bahwa Charles lebih menyukai duduk dengan salah satu orang buangan seperti dirinya dibanding dengan penyair dan penulis sombong yang suka bergosip. Di sisi lain, dari suratnya kita dapat melihat Charles menjalani hidup yang sulit. Terutama pada masa-masa awal kariernya. Candunya pada mabuk-mabukan membuatnya hampir ma ti dan hidup dalam penderitaan.

Bukowski mengaku bahwa ia membenci banyak hal dan cenderung membenci orang pada umumnya. Hal tersebut membuatnya megisolasi diri. Ia juga mengatakan bahwa banyak orang yang juga tak menyukainya. Bukowski tampaknya menerima hal itu dengan baik. Dalam suatu suratnya, ia juga mengatakan bahwa ia benci mengajar di kelas Bahasa Inggris.


Ia keras dalam mengkritik namun di saat yang sama tidak merasa lebih baik dari orang lain. Beberapa kali ia sampaikan hal itu di surat-suratnya (bahwa ia mengkritik bukan berarti ia merasa lebih baik dalam menulis).


Bukowski seorang penulis yang tidak begitu berteman dengan teknik menulis. Uniknya, ia kerap salah mengeja kata namun akurat dalam tanda baca dan tata bahasa. Bukan berarti ia pembenci kelas dan teknis menulis. Menurut Bukowski kelas dan teknik menulis itu bermanfaat, hanya saja itu bukan gayanya dan ia tak pernah memaksa orang lain untuk mengikuti caranya.


Katanya, ia hanya menuliskan hal yang ia sukai. Ia membenci seni buruk yang dilahirkan demi popularitas. Menurutnya, hal demikian serupa pertunjukan dan kepalsuan. Mungkin, bakat adalah teknik, gaya, dan cara rahasia Bukowski.

Dalam surat-suratnya itu, Bukowski kerap menunjukkan kekecewaanya pada fakta yang terjadi dalam dunia kepenulisan di sekitarnya.


Misalnya saja, penerbitan karya yang tak berdasarkan kualitas karya, namun berlandaskan relasi (bahkan hubungan gelap) penyair atau penulis, penulis yang setelah menghasikan dua karya lumayan bagus lalu berkelana mengajari orang cara menulis tinimbang menulis karya bagus lainnya. Penyair yang membacakan puisi hanya demi popularitas, penyair dan penulis muda yang setelah menghasilkan satu-dua karya lumayan bagus lalu hilang di telan bumi, penulis dan penyair yang menghabiskan tenaga untuk bergosip dan iri pada kesuksesan orang lain dibandingkan sibuk menulis untuk menghasilkan karya bagus, dan banyak hal lain yang menjadi kekecewaan Bukowski dalam dunia kepenulisan.

Katanya, “Menurutku, penulis adalah seseorang yang menulis. Yang duduk di depan mesin tik dan menuliskan kata-kata. Itu intinya. Bukan mengajar orang lain, bukan duduk di acara seminar, bukan membacakan puisi di tengah keramaian.” Begitulah idealisme Bukowski dalam menulis. Perlu dipahami, ini bukan berarti penulis tak boleh mengajar, seminar atau yang lainnya.

Apakah itu hanya jargonnya saja? Tidak bisa dikatakan begitu. Bukowski yang menulis di usia muda memang sempat vakum menulis selama 10-15 tahun lamanya. Kemudian, ia bangkit. Kembali mulai menulis tanpa henti di usia 35 tahun hingga menjelang ajalnya.

Karyanya berlimpah. Ada ribuan karyanya (novel, cerpen, dan sajak puisi) yang ditaruh dalam kardus. Itu tak termasuk karyanya yang telah ia robek-robek sebab ia merasa karya tersebut tak cukup bagus atau karya tersebut selalu ditolak. Juga tidak termasuk karyanya yang hilang, dan juga tidak termasuk ribuan karyanya yang disimpan oleh John Martin, rekan yang mendapatkan hak dan kesetiaan Bukowski untuk menerbitkan karya-karya Bukowski. Sayangnya (dan juga masuk akal), tak semua karya itu diterbitkan.

Terlepas dari bagaimana ia menjalani hidup, melalui surat-surat Bukowski, kita dapat melihat evolusinya dalam menulis. Dari penolakan demi penolakan terhadap karyanya menjadi permintaan demi permintaan. Dari pernyataannya bahwa ia tak cukup banyak membaca seperti yang seharusnya hingga membaca hampir seluruh buku di perpustakaan yang kerap dikunjunginya. Dari “Aku benci menulis sajak,” menjadi penyair populer dengan ribuan puisi bahkan diminta untuk membacakannya. Dari “Aku tak menulis novel,” menjadi novelis laris.

Ia berevolusi namun tetap orisinil dan idealis. Ia menolak tawaran yang tak sesuai dengan kata hatinya. Ia menyukai tulisan yang berbicara tentang realita dengan sentuhan humor. Kegilaan dan kedisiplinannya dalam menulis membuatnya menjadi raksasa dalam dunia itu. Lalu alkohol adalah sebab dan pelarian penderitaannya. Betapa ironi.

Buku On Writing ini juga dilengkapi dengan salinan tulisan tangan asli dan sketsa-sketsa yang dibuat Bukowski. Sebab buku ini berisi kumpulan surat-surat Bukowski, tak banyak hal yang dapat dikomentari dari segi teknisnya. Meskipun surat-suratnya bersifat pribadi, namun, dengan membacanya kita dapat belajar banyak tentang kepenulisan dari pandangan-pandangan yang dituliskan Bukowski dalam surat-surat itu.

Dalam suratnya yang dialamatkan kepada Guy Owen pada awal maret Maret 1960, ia mengemukakan pendapatnya tentang penyair gadungan yang pada akhirnya menghilang, tak lagi menulis hanya karena beratnya nasib yang datang melanda. Mengingat bagaimana keras hidup yang dijalaninya, dan betapa ia tak berhenti menulis hingga di penghujung usianya, wajar saja bila Bukowski berpendapat demikian.

Ia juga berpendapat bahwa penyair muda belum terperangkap (belum menyatu) dalam dunia menulis berbeda dengan penyair tua. Kata Bukowski, “Perlihatkan padaku seorang penyair tua, dan akan kutunjukkan, kalau tidak  gila, dia pasti seorang master.” Siapa mengira bahwa semasa 73 tahun perjalanan hidupnya, Charles Bukowski menyandang dua titel itu. Ia pria tua yang gila menulis dan juga seorang master dalam kepenulisan.







Minggu, 02 Februari 2025

Tak Lagi Menyewa Sebuah Kamar di Lautan Ruang

sumber gambar: freepik
Saya tak lagi menyewa kamar di lautan ruang kehidupan
 Ya, saya baru saja mengatakan hal aneh itu pada judul. Rasanya, dalam hidup ini banyak sekali ruang-ruang dengan berbagai macam bentuk yang bertebaran. Mengimbau dengan suara merdu tetapi amat dingin, meminta untuk didatangi. Sayangnya, menempati ruang tersebut tidaklah cuma-cuma. Ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi untuk menyewa. Tak jarang, untuk mendapatkannya kita mesti berkompetisi dengan calon penyewa lain. Begitulah kira-kira yang saya pikirkan tentang kehidupan. Ruang-ruang itu seperti peran-peran yang tersedia, menggiurkan untuk diisi tetapi berat untuk dipenuhi. 

Bagi saya, manusia dengan  kacamata bergurat, ruang-ruang tersebut tak lagi cemerlang dan menggiurkan. Memandanginya hanya membuat saya over stimulated dan begitu jengah. Entah mengapa, rasanya tak ada satu pun ruang yang cocok untuk saya tempati di lautan losmen ini. Bersama dengan udara Februari, saya menarik napas dan menghembuskannya. Menyatakan pikiran dan perasaan yang telah lama bergentanyangan dengan lantang. Saya Tak Lagi Menyewa Kamar dari Lautan Ruang Kehidupan. Ya, saya tak mau menyewa apa-apa yang ditawarkan. Mengerjarnya mati-matian, memahat tubuh dan mengikir jiwa  agar "layak"dengan ruang yang ditawarkan. Memilah bawaan saya dengan berat hati hanya agar muat dan pantas dipajang dalam etalase mentereng yang disiapkan. Saya tak akan menyewanya, biarpun sungguh terlihat sangat indah dan menjamin. 

Mungkin, membangun kamar sendiri lebih tepat bagi saya. Tempat saya membuang dan menumpuk barang usang, antik, ataupun penemuan baru yang sepele. Menatanya dalam kamar itu, menjadikanya sebuah ruang yang dapat dengan bebas saya tempati tanpa perlu merasa harus menyortir untuk ditaruh di etalase. Bahkan tak harus ada etalase.  Tanpa perlu memajang atau menyembunyikan apapun, tak pula berpura-pura. Membukakan pintu hanya bagi yang bersedia singgah barang satu-dua saat untuk mengobrol, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berdiskusi, berdebat sehat,  mencoba sekadar mengenal atau mungkin menetap. Tanpa paksaan, tanpa ekspektasi. 

Lalu di manakah kamar itu saya bangun? Di sini. Ini adalah salah satu kamar yang saya bangun. Tempat saya menuangkan diri saya secara mentah dan mematangkannya. Tempat saya meracau atau  merenung. Tempat menumpuk atau menyimpan, tempat membuang atau mengumpulkan.  Perlahan-lahan saya akan bangun kamar ini. Menyediakan sebuah sudut untuk membaca dan memandang. Entah akan jadi apa nantinya, yang saya tahu ini bukan ruang yang saya sewa. Tak lagi sebuah kamar sewaan. 

Begitulah kira-kira. Ah, racauan ini. Begitu  mentah dan transparan, kan? Selamat datang  di Books and Thoughts. Selamat bersenang-senang dengan kekacauan yang (mungkin) ditawarkan, atau mungkin menderita karenanya. 

Ya, begitulah. 

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...