Nyanyian Nur
Oleh: S. N. Aisyah
Mungkin dua dekade lalu, saat berlarian pulang sebelum magrib masih jadi suatu keharusan—setidaknya bagi orang yang tak ingin sandal terbang emak mendarat tepat di badan. Saat berkumpul artinya bermain di tanah lapang, berkejaran, sesekali mengolok kawan sebatas candaan. Juga saat tv analog masih jadi pilihan yang kerap menyatukan—atau juga memecah—kehangatan keluarga. Di saat itulah aku mulai berkenalan dengan suatu takdir dalam hidupku.
Baiklah, demi jiwa melankolis yang sudah lama bersemayam dalam dada. Dengan alunan lagu menemani secangkir kopi dan bara api yang sesekali kutiupkan untuk asa terpendam nan nyaris padam, akan kuberitahu kisah itu, Kawan.
Bisikan takdir itu seolah baru saja jatuh dari langit Sumatera yang amat cerah. Menimpa wajahku dengan keras, melebihi kuatnya layangan sandal emak tiap kali bebalku kambuh. Siang bedengkang* itu, sepulang sekolah, aku berlarian memasuki rumah. Mengganti pakaian, kemudian duduk di muka televisi. Tak sabar, ingin segera menonton pertandingan bulu tangkis.
Siapa lagi yang hendak kutengok kalau bukan pebulu tangkis kenamaan Indonesia itu? Ya, Taufik Hidayat—kalau tak setuju, tak apa. Janganlah disela dulu ceritaku, oke? Ah, kau setuju denganku. Oke—pun seluruh timnas putri dan putra Indonesia.
Siaran pertandingan bulu tangkis yang amat digandrungi bangsa ini membawa suatu wabah,—jika tidak di seluruh penjuru negeri—setidaknya di desaku. Bilamana tak ada siaran pertandingan, orang-orang: tua-muda, tuan-puan, besar-kecil, tinggi-pendek, berpunya-tak berpunya, cakap-lengai, semuanya sibuk bermain bulu tangkis. Berlagak tengah bertanding memanggul nama Indonesia di punggung. Biasanya di sore hari dan akan berakhir saat magrib mulai melongok, menyuruh pulang. Bahkan, satu-dua dari mereka masih melanjutkan permainan selepas Isya. Namun, bukan bulu tangkis-lah yang hendak kuceritakan, Ah, sabarlah, Kawan. Aku memanglah banyak cakap. Ya, ‘cakap’ bukan cakap.
Intinya, aku yang masuk pada golongan lengai—tak cakap—dalam bermain bulu tangkis lebih suka jadi penonton. Euforia yang dibawa momen itu juga menjangkiti diriku. Gejalanya, di panas bedengkang* itu, aku duduk terpaku pada tv. Emak yang baru saja menyadari kepulanganku akhirnya menegur.
”Dah pulang, Nur? Biasanya ucap salam, tadi emak tak ada dengar. Makanlah dulu. Usah nonton pula yang diperturutkan,” ucap Emak berkacak sebelah pinggang seraya mengapit bakul anyaman rotan yang baru saja ia selesaikan.
”Ya, Mak,” jawabku singkat.
Emak menghilang, pergi ke bilik belakang.
Takut ketinggalan siaran, mengakibatkan perkataan emak terjemur di daun telinga. Sedangkan mataku asyik memelototi iklan. Waktu terus berlalu. Aku baru sadar bahwa ini kali keempat Emak berhilir-mudik sambil menyebut namaku. Takut tangan sakti Emak mengambil alih, aku insaf. Segera bangkit. Namun, saat bangkit itulah, dawai takdir berdenting.
Lagu itu mengalun khidmat namun berkobar. Suara merdu vokalis dipadu dengan musik pop-rock. Semangat juang pemuda nasionalis dituang dalam lirik puitis. Sungguh kontras yang indah.
Tahun itu memang piala Thomas dan Uber tak dapat diangkat Timnas naik podium, membuatku sedikit berkecil hati. Apalagi saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah. Biarpun begitu, lagu itu cukup menjadi pelipur lara. Bahkan tiap-tiap merayakan hari kemerdekaan, lagu tersebut terus membahana.
Memang ia liris dua tahun sebelum Indonesia menjadi tuan rumah Thomas-Uber, tetapi aku baru mengenalnya di masa Thomas –Uber. Tahulah, Kawan. Saat itu teknologi dan internet tak segencar sekarang. Akses segala macam hal dan segala hal viral? Tak semudah itu, meski lagi santai, Kawan.
Ah, oke, intinya. Tanpa kusadari, lagu itu telah menyusup dalam jiwa sentimentilku.
Aku dapat kesenangan baru. Menyanyi. Ya, kau tak salah dengar. Anak (yang biasanya—tidak sekarang, aku tahu) tak banyak bicara, yang hanya bersuara saat ditanyai ini, diam-diam senang bernyanyi. Sejak mendengar band kondang itu, bertahun-tahun selanjutnya dalam hidupku aku terus bersenandung. Hobi ini, asa terpendam yang nyaris padam ini, sempat mendapatkan perhatian di suatu hari, di sekolah.
”Sabtu depan, kita akan mengambil nilai bernyanyi,” titah Bu Nizam, wali kelas kami.
Kabar dari Bu Nizam berhasil membuat murid-murid kelas 5 SD yang berjumlah 55 orang dalam satu kelas itu terdengar seperti lebah yang mendengung. Tentu saja sepulang sekolah obrolan seputar lagu jadi bahasan paling seru.
”Kita boleh nyanyi bebas.”
”Aku akan nanyi lagu terhits.”
”Ayo, nanti kita lihat siaran konser di TV bersama.”
”Boleh-boleh, besok minggu kita nonton acara musik pagi.”
”Nanti aku pinjam buku catatan lagumu, ya?”
”Kau ikut ‘kan Nur?”
Begitulah keenam kawanku bergantian berceloteh.
”Ah, tidak. Aku tak ikut,” jawabku.
”Sesekali ikut, Nur. Biar seru.” Kalimat itu mengundang paksaan lainnya. Tentu saja aku menolaknya dengan diam dan senyuman. Sudah terbiasa dengan tingkahku, mereka lanjut mengobrol.
”Oh, nanti, tiap malam, kita bisa merequest lagu kita di radio. Siapa tahu diputar,” saran salah seorang.
”Setuju. Tapi, siapa yang kirim sms? Aku tak berani minta emak,” sahut sorang lainnya.
”Tenang, biar kupujuk kakakku nanti,” kawanku yang punya kakak murid SMA itu memberi solusi.
Inilah kali pertama kudengar kawan-kawanku bersemangat membicarakan radio. Maksudku, zaman itu memang radio amat populer, tetapi jarang bocah-bocah SD di sekitarku yang mendengarkan radio. Mereka lebih senang menonton tv atau bermain di luar rumah. Aku, sebab kakakku yang sudah SMA amat menyenangi radio—bahkan bertukar salam melaluinya—, dengan senang hati ikut mendengarkannya di malam hari, selepas isya. Apalagi di hari libur mengaji.
Kawanku terus bercerita sambil menyebut satu per satu lagu yang mereka sukai. Aku akan menyanyikan lagu ‘itu’ saja.
Menjelang tengah hari, di suatu Sabtu, hampir seluruh siswa sudah maju menyanyikan lagu favorit mereka. Beragam macamnya. Mulai dari lagu “Balonku Ada Lima” hingga lagu romansa yang bikin Bu Nizam geleng-geleng kepala. Waktu cepat berlalu, tinggal lima belas menit sebelum bel. Suara kelas kembali seperti gerombolan lebah. Wajar saja, mereka yang sudah tampil kini merasa santai. di saat anak-anak yang terlalu pemalu—yang suaranya hanya dapat didengar Bu Nizam—maju, mereka dengan ‘bijaksana’ berusaha untuk tak mendengarkan. Bu Nizam yang letih memperingatkan, memilih fokus mendengar si anak pemalu. Tetapi, di samping itu semua, tentu saja orang-orang tak dapat melupakan primadona kelas kami, Sabrina.
Sabrina, seorang gadis cantik, pintar, juara kelas, juga kerap mendapatkan juara umum. Kulitnya putih langsat. Rambutnya agak kepirangan, alami. Matanya bulat, besar, dan jernih. Siapa yang tak kenal Sabrina. Aku pun dari jauh juga mengaguminya. Pukul sebelas lebih seperempat hari itu, Bu Guru memanggil nama Sabrina. Kelas yang semula berdengung, jadi tenang. Gadis itu bangun dari duduknya, berjalan dengan anggun ke muka kelas. Semua mata mengikutinya. Begitu pula denganku. Bu guru takzim tersenyum menyambutnya.
Sabrina membuka mulut. Suaranya yang jernih dan merdu terdengar mengalun di kelas yang hening. Ia berhasil memukau seisi kelas. Begitu ia selesai bernyanyi, sedetik lamanya kami masih terdiam. Takjub dengan apa yang ia bawakan. Seolah baru saja melihat parade berjalan, detik berikutnya kelas riuh. Tepuk tangan dan sorak-sorai berhamburan. Satu dua anak lelaki bersiul. Anak-anak perempuan saling tatap sambil tersenyum dan bertepuk tangan. Sama-sama mengerti dan menyetujui betapa indahnya nyanyian Sabrina.
Oh, bagaimana mungkin ada Sabrina di dunia fana ini. Mengapa Tuhan menciptakannya sedemikian rupa? Segala keelokan ada padanya. Dilatari sorak-sorai itu, Sabrina meminta izin untuk kembali ke tempat duduk. Ia melangkah anggun, senyum-senyum terkembang. Namun, senyum yang paling luas dan bangga adalah milik Bu Nizam.
Setelah Sabrina, tibalah giliran Mawardi. Ia maju dengan sikap tegapnya. Mawardi juga amat terkenal di sekolah. Bukan seperti Sabrina. Namun, 180 derajat berbalik dari Sabrina. Anak jangkung itu menyanyi dengan baik meski tak seindah Sabrina. Ia membawakan lagu band yang tengah naik daun kala itu. Nyanyiannya diakhiri dengan tepukan tangan yang ramai.
Kini, degup jantung yang sedari tadi berusaha kuredam semakin lancang.
Entah mengapa, Bu guru berlama-lama pula melihat catatannya. Jeda lebih dari semenit itu mengubah anak-anak menjadi kumbang di siang hari, berdenging tak karuan. Aku berharap mereka terus saja sibuk sendiri saat aku maju nanti. Memikirkannya, membuatku relaks. Malang, saat jantungku kembali berdetak normal, Bu Nizam memanggilku.
Segera jantung itu melesat ke dasar perut. Aku bergeming hingga Bu Nizam memanggil untuk ketiga kalinya. Melangkah dengan gemetar. Bersusah payah berdiri tegak di samping Bu Guru. Keringat mengalir di dahiku. Telapak tanganku terasa amat lembap. Sejenak aku terdiam, entah mengapa kelas mendadak turut hening. Kakiku terasa lemas dan perutku mual bukan main.
Baik akan kumulai saja.
Bagian bridge telah lewat.
Kelas begitu sepi. Aku makin gentar. Kegentaran itu bahkan dapat kudengar.
Seolah ingin menambah kegamanganku, tiba-tiba saja Mawardi menggebrak mejanya.
”Oh, lagu itu? Kok bisa lagu itu?” begitulah ucapnya dengan kaget.
Meski disela oleh keributan kecil dari Mawardi, kelas tetap saja sunyi. Aku terlalu gugup untuk berhenti atau ambil peduli. Maka kulanjutkan saja.
Nyanyianku berakhir. Seluruh darah rasanya meluncur kembali dari dari jantung ke kepala sampai ke ujung kaki. Aku lega. Namun, kesunyian kelas tak kunjung usai. Kali ini sunyi, bukan hening. Teman-temanku seperti membatu. Bu Nizam tampak kesulitan berkata. Beliau memilih untuk menggores buku nilai dengan salah tingkah. Wajar saja, ini pertama kalinya aku bernyanyi dengan lantang. Agaknya lagu ‘itu’ mengobarkan semangatku. Ditampar oleh sepi (bukan hening) yang amat dingin, dengan terbata-bata aku menuju bangku. Sedangkan Bu Nizam yang seolah baru saja sadar dari lamunan, menganggap paling tidak menyumbangkan tanggapan terhadap penampilanku seperti penampilan teman-teman lain yang disambut dengan baik—atau tidak.
”Oke, anak-anak. Contoh bernyanyi yang bagus itu seperti … Sabrina.”
Aku nyaris terjatuh saat hendak duduk di bangku. Sedang Bu Guru memasang wajah seolah tak percaya dengan apa yang telah dikatakannya. Kami semua tahu, Bu Guru tak bisa dan tak pernah berbohong. Mungkin itu adalah kata-kata terbaik yang dapat disuarakan.
Hari itu, aku paham. Nyanyianku membawa trauma pada seisi kelas tetapi mereka jua tak sampai hati untuk mengutarakannya. Mujur, bel pulang sekolah memutus kecanggungan yang mencekik itu. Menyelamatkan kami semua.
Begitulah aku bertemu dengan salah satu takdirku. Meskipun hatiku mendayu, mulutku kerap bersenandung, apalah daya, telingaku buta nada. Aku tak marah, Kawan. Aku tak bersedih hati. Pada dasarnya, lumrah saja sesuatu yang kita sukai tak ditakdirkan menjadi milik kita. Amor Fati, Kawan. Amor Fati. Setidaknya itulah yang kukatakan pada diriku.
Kota Bertuah, 05 Oktober 2024
Catatan:
Panas bedengkang: Panas Sekali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar