Oleh: S. N. Aisyah
Sudah enam pekan
lamanya sejak wanita muda itu diselamatkan. Saban hari ia berkurung diri dalam kamar.
Merajuk. Minta diizinkan pergi menjenguk tahanan kota yang dulu kerap jadi
buron.
”Keluarlah, Nak. Apa yang kau inginkan dari menjenguk orang tak beradab, yang
tahunya merampas orang dengan menyandera?” Begitulah Sang Ibu membujuknya.
”Ibu tak tahu. Tak pernah tahu. Dia baik, Bu. Tak pernah ia menyakitiku. Toh,
uang tebusan itu tak pernah jua ia terima.” Wanita muda itu enggan memenuhi
permintaan orang tuanya.
Agaknya dua pekan dalam sanderaan memengaruhi kewarasannya. Begitulah pikir
orangtuanya, lalu kata Sang Ibu lagi,”Hanya sebab kami menemukanmu. Jika tidak,
tentu uang itu dilibasnya.”
”Tidak. Bukan begitu. Dia hanya butuh kawan. Biarkan aku menjenguknya. Kasihan
dia,” suara putri kesayangannya bergetar.
”Apa kau sudah dijampi?” berang dan putus asa melanda Sang Ibu.
”Apa yang salah dari mengunjungi orang yang tak punya siapa-siapa lagi di muka
bumi? Bukankah ibu yang mengajarkanku
untuk peduli pada orang lain?” Begitulah kukuhnya pendirian wanita itu.
”Baik, pergilah. Setelah itu berhentilah bertingkah.” Mungkin saja sebab tak
tahan akan keadaan anaknya, ibu mengalah.
Dua hari kemudian, wanita muda itu menemui tahanan. Juga hari-hari selanjutnya.
Hingga, di hari ke-20 kunjungannya, anak semata wayang itu tak pernah pulang. Tiga
hari telah berlalu sejak laporan orang hilang diajukan. Dalam perjalanan mencari anak, Sang Ibu singgah sebentar di sebuah warung. Mendadak jantungnya seakan jatuh ke dasar perut, TV di warung itu melantangkan sebuah berita. Si Tahanan Kota kabur … bersama
putrinya.
Kota Bertuah, 22 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar