Jalanan amat sepi. Bagaimana tidak? Sudah pukul sebelas malam. Hentakan kakiku bergaung. Aku tak dapat menahan diri, menoleh ke belakang hanya untuk mendapati gang yang kosong dan lengang. Dengan perasaan tak nyaman, kupercepat langkah. Lalu buru-buru membuka pintu begitu tiba di kamar kos.
Sunyi. Sepi. Mataku berat, tubuhku remuk. Setelah melepas sepatu dan melempar ransel seenaknya, Aku merebahkan badan di lantai, menutup mata sejenak, hendak mengusir lelah.
Dengan mata tertutup begini, tentu saja pandangan akan terlihat ... merah? Ah, apa karena aku berbaring tepat di bawah lampu? Belum lagi pikiran itu terjawab, terdengar suara ketukan pintu. Aku begitu enggan membukanya--masih bergulat dengan warna merah. Lagipula, siapa yang bertamu selarut ini? Namun, semakin kuabaikan, ketukan itu semakin kencang. Maka, dengan enggan aku bangkit. Hendak mengintip melalui jendela, melihat wajah kelancangan itu.
Akan tetapi, baru saja mata kubuka, pintu kamar sudah terhempas keras. Sontak, membuatku duduk tegak, siluet lelaki jangkung dan besar berdiri di ambang pintu. Tetapi semuanya berbayang ... Merah? Untuk sejenak, tubuhku membatu. Sedangkan siluet itu berjalan mendekat. Begitu dekat hingga jarak kami terhitung satu langkah saja. Belum lagi kesadaranku pulih, ia sudah berteriak kencang dengan suara parau yang menggelegar. Mengatakan sesuatu yang tak dapat kumengerti. Tangannya yang kekar melayang ke atas, saat itulah kulihat sebilah pisau siap meluncur ke dahiku. Seluruh tubuhku membeku, tulangku menggigil. Aku tak kuasa untuk menutup mata. Begitu ujung pisau yang dingin itu mengenai dahi, aku tersentak.
Sunyi. Senyap. Tak ada yang terdengar kecuali degup jantungku. Pintu kamar tertutup rapat. Tak ada seorang pun di sini. Mimpi. Itu hanya mimpi. Aku menghela napas lega. Tersenyum. Tiba-tiba saja, sesuatu yang kental dan ... dingin, mendarat di dahiku. Segera kuseka ia. Merah. Ini darah. Bagaimana bisa? Saat mendongak, kudapati langit-langit kamar merah, bersimbah darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar