Sabtu, 15 Maret 2025

Fiksi Mini: Nekromansi

Oleh: S. N. Aisyah


Pukul sepuluh. Malam ini, seperti yang dikatakannya, bulan biru (the blue moon) bertengger di langit.

Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk.

 “Di depan.”

Kusibak tirai jendela. Helen—si anak gotik—berdiri tepat di seberang rumahku. Kulitnya yang pualam terlihat semakin pucat pasi di bawah naungan rembulan. Segera kutemui ia. Tak lama kemudian, kami sudah berada jauh di perut hutan. Tepat di bawah rindang pohon beringin, Helen mengeluarkan sebuah kapur putih, 5 lilin, 5 bagian tulang, sebuah kerangkeng kecil, macis, dan sebilah pisau lipat dari tasnya. Ia menggambar lingkaran serta bintang bersudut lima di tanah dingin menggunakan kapur lalu menyusun lilin dan tulang di tiap-tiap sudut bintang.

”Duduklah,” ucapnya. Kandang berisi tikus dan ransel yang menggembung tergeletak di sisi kirinya.

”Kau … yakin?” tanyaku. Ragu-ragu pula aku duduk di hadapannya.

“Tentu saja!”  jawabnya tegas. Kemudian, ia kembali merogoh tasnya.

Dag!

Jantungku jatuh ke dasar perut saat ia menaruh bangkai kucing di antara kami.

Sabtu, 08 Maret 2025

Cerpen: Tak Ada Hukum Newton Hari Itu?

Oleh: S. N. Aisyah


Hukum I: Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya.

Hukum II: Perubahan dari gerak selalu berbanding lurus terhadap gaya yang dihasilkan/bekerja, dan memiliki arah yang sama dengan garis normal dari titik singgung gaya benda.

Hukum III: Untuk setiap aksi selalu ada reaksi yang sama besar dan berlawanan arah: atau gaya dari dua benda pada satu sama lain selalu sama besar dan berlawanan arah.

Aku bersyukur akan teori Newton. Sangat berguna dalam kehidupan. Aku kagum pada para fisikawan namun bukan fanatik yang memahami segala macam keabstrakan yang berguna itu. Maksudku, aku harus menjalani tiga kali perbaikan hanya untuk menemukan simpangan vektor sampan yang sedang menyeberang di arus sungai yang kuat. Mungkin itu pulalah yang menjadi sebab salam perpisahanku dengan ilmu benda mati ini. Aku suka belajar, hanya saja tidak rajin mempelajarinya. Kau mengerti maksudku, kan?

Sewaktu sekolah, aku sering membawa buku-buku berat. Buku-buku pelajaran yang tebal-tebal itu sering kutenteng bolak–balik, sekolah—rumah. Tak pernah sedikitpun berniat meninggalkannya di loker seperti teman-teman lain. Buku-buku yang seberat ’beban hidup anak SMA’ itu harus kubawa pulang.

Baiklah, sebelum terjadi kesalah-pahaman, kukatakan padamu dulu. Aku bukan murid kutu buku-pintar-rajin-teladan. Buku-buku malang itu tidak juga sering kuajak mengobrol di rumah. Hanya saja, menyandera buku sudah menjadi kebiasaanku. Bahkan hingga kini, jika berpergian ke mana saja, aku selalu menyekap sebuah buku di dalam tas. Ya, menyekap bukan membaca.

Benda berguna dan ajaib ini sering kujadikan alat penyelamat hidup. Katakanlah canggung sosial. Ponsel pintar? Kau akan terlihat sangat bodoh saat tak ada kerjaan lalu bolak-balik buka aplikasi padahal tak ada yang akan kau kerjakan. Tahu maksudku, kan? Lagipula saat itu belum eranya ponsel pintar menjamur.

Dengan buku, meskipun kau(aku) bodoh, tidak akan terlalu ketara, kan? Beruntung jika buku itu benar-benar kaubaca. Jika tidak, ia dapat menyelamatkanmu dari situasi sosial yang canggung, menjauhkanmu dari gangguan tetapi tetap membuatmu mawas lingkungan (tak seperti ponsel pintar yang terkadang membuatmu bodoh itu) dan plusnya kau akan terlihat kolot.

Jangan khawatir, semua orang pernah menjadi kolot dalam hidupnya. Dan kau akan berbangga dengan kekolotanmu itu—atau tidak. Oh, satu lagi, buku bisa kau jadikan senjata membela diri jika kau terpaksa harus baku hantam, lebih tebal lebih baik. Aku hanya bercanda. Ha ha, tidak juga, tapi, ya. Ha ha.

Di sore Selasa yang terlampau cerah, dengan bersusah-payah aku turun dari angkot. Saat itu, seperti biasanya, tasku penuh. Aku harus menenteng tiga buku—beban hidup siswa SMA— di tangan. Mungkin jika kau pernah naik angkot, kau akan tahu bagaimana rasanya turun angkot tanpa memegang pintu, mission impossible.


Dengan badan dan jari-jariku yang serba mini, kupeluk buku-buku itu dalam dekapan. Rumahku lumayan jauh. Setelah menaiki angkot, harus menyewa ojek untuk sampai. Bisa saja berjalan kaki. Lima belas menit jalan cepat. Dua puluh lima menit perjalanan wisata ditemani langit cerah yang indah, lingkungan yang masih tergolong hijau, rumah dan ruko, pepohonan, bahu jalan berpasir putih yang amat gembur, rumput yang tinggi, matahari yang menyengat, dan terpaan debu kasar yang dibawa berlari oleh pengendara yang tengah memacu kendaraan bak dikejar teman yang suka pinjam dulu seratus itu. Berjalan kaki? Di sore yang amat cerah ini? Tidak, terima kasih.

Dengan pertimbangan menyayangi diri sendiri, kukorbankan uang saku yang kuhemat-hemat agar dapat mampir ke toko buku itu. Ironi. Balada hidup bocah SMA. Berat langkahku menyusuri jalan. Menggendong tas yang hampir memuntahkan buku, ransel yang mencekik botol minumku hingga ia mencuat hendak melarikan diri dari saku ransel.

Aku berjalan menunduk, memeluk tiga buku—how to torture highschooler in a good way— itu seraya memperhatikan sepatu hitamku berubah kelabu karena terbenam dalam pasir putih yang bergelombang di sepanjang bahu jalan beraspal. Setelah beberapa langkah berjalan kemudian, aku berhenti sejenak. Menatap pada sebuah pondok yang dibangun di bawah dua pohon akasia. Menatap dengan nelangsa.

Biasanya, di pondok itu mangkal beberapa ojek. Namun, kali itu tak ada seorang tukang ojek pun di sana. Hanya beberapa bapak-bapak yang duduk memunggungi jalan, menghadap lapangan bola kaki, berteduh dari sinar menyengat matahari sore sambil menonton anak-anak bermain bola.

Rasanya makin berat saja kakiku melangkah. Kulewati pondok kayu berdinding sepinggang orang dewasa itu, terus berjalan menunduk. Meratapi kesempatan emas menjadi atlet jalan cepat sesaat. Tidak, sebelum kau protes, akan kuberitahu. Saat itu belum ada layanan ojek online. Sekarang kau mengerti perasaanku, kan?

Saat terbenam dalam jalan berpasir dan lamunan, tiba-tiba kudengar suara pahlawan para pejalan kaki.

”Ojek, Dek?” seorang abang ojek yang muncul secara tiba-tiba menanyaiku.

Seperti menemukan oasis di Gurun Sahara, aku berjalan mendekat seraya mengangguk padanya. Semua beban hidup seolah menguap. Dalam sekejap, ibu-ibu yang berjualan di simpang ojek ini terlihat amat bahagia bagiku, begitu pula dengan bapak-bapak yang duduk di pelataran warung. Tampak seperti minum kopi pahit tanpa mengecap pahit hidup lagi. Angin bersepoi, anak-anak pemain sepak bola tertawa. Abang ojek tersenyum dari ujung telinga ke ujung telinga.

Semangatku bangkit kembali. Hingga akhirnya …. Lagi, seperti menuruni angkot, dengan susah-payah pula aku menaiki motor, duduk menyamping. Mencoba menyeimbangkan posisi yang beberapa kali tergelincir. Rok panjang abu-abu berpola A dan berkain licin ini sangat sulit diajak kerja sama. Saat merasa lega karena sudah duduk di jok belakang motor yang berbunyi cempreng itu, aku menyadari sesuatu. Kukira motor ini sakit karena sesekali ia terbatuk-batuk. Melontarkan kepulan asap hitam. Serupa suasana hatiku yang kembali memusuhi cahaya matahari, amat suram.

”Siap, Dek?” tanya abang ojek.

”Siap, Bang,” ragu-ragu aku menjawab. Ternyata, tak hanya rok ini yang berbahan licin, jok motor yang sedang sakit ini melengkung dengan kaku dan ’beruntungnya’ juga licin. Ditambah, tak ada penyangga pada belakang jok.

Tak lama kemudian, abang ojek mengengkol motornya.”Pegangan, Dek,” seru abang ojek.

Suara motor menggaung sumbang dan terbata-bata. Dengan erat aku berpegangan. Pada buku. Bukan pada abang ojek. Atau pegangan sadel belakang motor tempat biasa aku berpegangan saat naik ojek. Setelah menggebyer motornya beberapa kali, abang ojek melepas gas. Lalu, terdengar suara orang berteriak-teriak.

”Oi! Oi! Penumpangnya tinggal!”

Ya, motor melaju, aku diam di tempat. Untuk sesaat, aku seperti mengambang di udara. Kemudian terjatuh tepat di tempat yang sama saat naik motor tadi. Tak bergeser seinchi pun. Semua kesulitanku seharian ini mencapai puncaknya. Hidup benar-benar seperti lelucon.

Sisi baiknya, akhirnya, setelah berbulan-bulan purnama, untuk pertama kali, posisiku dan buku berganti. Kali ini, akulah yang menyelamatkan buku-yang-menyiksa-murid-SMA-dengan baik itu. Buku-buku itu aman dalam dekapanku. Ia tak terjatuh, tak terkena pasir gembur, tak lecet sedikit pun. Di bawah siraman cahaya emas matahari sore, ia bersinar dengan anggun. Dan … sedikit memuakkan.

Semua orang yang ada di simpang ojek melihat kekonyolan ini sambil tertawa dan terheran-heran. Mengapa bisa jatuh? Di tempat yang sama? Aku pun tak tahu. Hukum Newton pun seolah tak berlaku saat itu. Kuulangi, seolah tak berlaku. Jangan percaya pada hipotesis bocah SMA yang harus mengulang satu topik bahasan fisika tiga kali berturut-turut. Sana pelajari bukumu. Tanyakan pada gurumu. Atau kau akan bernasib sama dengannya. Bercanda. Ha ha. Tidak juga. Ha ha.


Rabu, 19 Februari 2025

Puisi

 

Igau Pujangga

: R, padamu jua sajakku berlabuh

(oleh: S. N. Aisyah)

Kau mendongak ke langit  paling pekat

--Legam, serupa kopi nan kauteguk sehari-hari—

berjalan menuju kawah rawa

tempat segala buaya menanti mangsa

kunang-kunang terbang

jalinan waktu minta dikenang-kenang

lewati saban detik, titi papan bederik

Cahaya matahari jatuh di gulungan awan

Memberi kelam pada bumi yang sawan

Malam-malam jelma makam

Kawan-kawan adalah amam

Di naung kabut dini dan asap  kalbu,

Kau dan aku duduk: kusesal impi, kauusap bahu

Berkilah mengutuk nasib abu-abu

Memilih buku-buku, rambu-rambu, dan kubu-kubu semu

Mencari tanya yang tak tentu, melempar jawab nan tak perlu

Kerap, saat fajar,  suara-suara dalam kepala kita rekah;

Mencari jawab,  usir amarah:

Adakah menara yang lebih rapuh dari raga

berumah jaring laba-laba?

akankah kita melangkah meski kopi tak lagi dapat kaunikmati?

Akankah kebebasan kita rangkul saat mengalah?

Kepada siapa kita ‘kan berserah?

Mahato, 25 Juli 2022

Jumat, 14 Februari 2025

Cerpen


Nyanyian Nur

Oleh: S. N. Aisyah


sumber gambar: ImagineArt


Mungkin dua dekade lalu, saat berlarian pulang sebelum magrib masih jadi suatu keharusan—setidaknya bagi orang yang tak ingin sandal terbang emak mendarat tepat di badan. Saat berkumpul artinya bermain di tanah lapang, berkejaran, sesekali mengolok kawan sebatas candaan. Juga saat tv analog masih jadi pilihan yang kerap menyatukan—atau juga memecah—kehangatan keluarga. Di saat itulah aku mulai berkenalan dengan suatu takdir dalam hidupku.

Baiklah, demi jiwa melankolis yang sudah lama bersemayam dalam dada. Dengan alunan lagu  menemani secangkir kopi dan bara api yang sesekali kutiupkan untuk asa terpendam nan nyaris padam, akan kuberitahu kisah itu, Kawan.

Bisikan takdir itu seolah baru saja jatuh dari langit Sumatera yang amat cerah. Menimpa wajahku dengan keras, melebihi kuatnya layangan sandal emak tiap kali bebalku kambuh. Siang bedengkang* itu, sepulang sekolah, aku berlarian memasuki rumah. Mengganti pakaian, kemudian duduk di muka televisi. Tak sabar, ingin segera menonton pertandingan bulu tangkis.

Siapa lagi yang hendak kutengok kalau bukan pebulu tangkis kenamaan Indonesia itu? Ya, Taufik Hidayat—kalau tak setuju, tak apa. Janganlah disela dulu ceritaku, oke? Ah, kau setuju denganku. Oke—pun seluruh timnas putri dan putra Indonesia.

Siaran pertandingan bulu tangkis yang amat digandrungi bangsa ini membawa suatu  wabah,—jika tidak di seluruh penjuru negeri—setidaknya di desaku. Bilamana tak ada siaran pertandingan, orang-orang: tua-muda, tuan-puan, besar-kecil, tinggi-pendek,  berpunya-tak berpunya, cakap-lengai, semuanya sibuk bermain bulu tangkis. Berlagak tengah bertanding memanggul nama Indonesia di punggung. Biasanya di sore hari dan akan berakhir saat magrib mulai melongok, menyuruh pulang. Bahkan, satu-dua dari mereka masih melanjutkan permainan selepas Isya. Namun, bukan bulu tangkis-lah yang hendak kuceritakan, Ah, sabarlah, Kawan. Aku memanglah banyak cakap. Ya, ‘cakap’ bukan cakap.

Intinya, aku yang masuk pada golongan lengai—tak cakap—dalam bermain bulu tangkis lebih suka jadi penonton. Euforia yang dibawa momen itu juga menjangkiti diriku. Gejalanya, di panas bedengkang* itu, aku duduk terpaku pada tv. Emak yang baru saja menyadari kepulanganku akhirnya menegur.

”Dah pulang, Nur? Biasanya ucap salam, tadi emak tak ada dengar. Makanlah dulu. Usah nonton pula yang diperturutkan,” ucap Emak berkacak sebelah pinggang seraya mengapit bakul anyaman rotan yang baru saja ia selesaikan.

”Ya, Mak,” jawabku singkat.

Emak menghilang, pergi ke bilik belakang.

Takut ketinggalan siaran, mengakibatkan perkataan emak terjemur di daun telinga. Sedangkan mataku asyik memelototi iklan. Waktu terus berlalu.  Aku baru sadar bahwa ini kali keempat Emak berhilir-mudik sambil menyebut namaku. Takut tangan sakti Emak mengambil alih, aku insaf. Segera bangkit. Namun, saat   bangkit itulah, dawai takdir berdenting.

Lagu itu mengalun khidmat namun berkobar. Suara merdu vokalis dipadu dengan musik pop-rock. Semangat juang pemuda nasionalis dituang dalam lirik puitis. Sungguh kontras yang indah.

Tahun itu memang piala Thomas dan Uber tak dapat diangkat Timnas naik podium, membuatku sedikit berkecil hati.  Apalagi saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah. Biarpun begitu, lagu itu cukup menjadi pelipur lara. Bahkan tiap-tiap merayakan hari kemerdekaan, lagu tersebut terus membahana.

Memang ia liris dua tahun sebelum Indonesia menjadi tuan rumah Thomas-Uber, tetapi aku baru mengenalnya di masa Thomas –Uber. Tahulah, Kawan.  Saat itu teknologi dan internet tak segencar sekarang. Akses segala macam hal dan segala hal viral? Tak semudah itu, meski lagi santai, Kawan.

Ah, oke, intinya. Tanpa kusadari, lagu itu telah menyusup dalam jiwa sentimentilku.

Aku dapat kesenangan baru. Menyanyi. Ya, kau tak salah dengar. Anak (yang biasanya—tidak sekarang, aku tahu) tak banyak bicara, yang hanya bersuara saat ditanyai ini, diam-diam senang bernyanyi. Sejak mendengar band kondang itu, bertahun-tahun selanjutnya dalam hidupku aku terus bersenandung. Hobi ini, asa terpendam yang nyaris padam ini, sempat mendapatkan perhatian di suatu hari, di sekolah.

”Sabtu depan, kita akan mengambil nilai bernyanyi,” titah Bu Nizam, wali kelas kami.

Kabar dari Bu Nizam berhasil membuat murid-murid kelas 5 SD yang berjumlah 55 orang dalam satu kelas itu terdengar seperti lebah yang mendengung. Tentu saja sepulang sekolah obrolan seputar lagu jadi bahasan paling seru.

”Kita boleh nyanyi bebas.”

”Aku akan nanyi lagu terhits.”

”Ayo, nanti kita lihat siaran konser di TV bersama.”

”Boleh-boleh, besok minggu kita nonton acara musik pagi.”

”Nanti aku pinjam buku catatan lagumu, ya?”

”Kau ikut ‘kan Nur?”

Begitulah keenam kawanku bergantian berceloteh.

”Ah, tidak. Aku tak ikut,” jawabku.

”Sesekali ikut, Nur. Biar seru.” Kalimat itu mengundang paksaan lainnya. Tentu saja aku menolaknya dengan diam dan senyuman. Sudah terbiasa dengan tingkahku, mereka lanjut mengobrol.

”Oh, nanti, tiap malam, kita bisa merequest lagu kita di radio. Siapa tahu diputar,” saran salah seorang.

”Setuju. Tapi, siapa yang kirim sms? Aku tak berani minta emak,” sahut sorang lainnya.

”Tenang, biar kupujuk kakakku nanti,” kawanku yang punya kakak murid SMA itu memberi solusi.

Inilah kali pertama kudengar kawan-kawanku bersemangat membicarakan radio. Maksudku, zaman itu memang radio amat populer, tetapi jarang bocah-bocah SD di sekitarku yang mendengarkan radio. Mereka lebih senang menonton tv atau bermain di luar rumah. Aku, sebab kakakku yang sudah SMA amat menyenangi radio—bahkan bertukar salam melaluinya—, dengan senang hati ikut mendengarkannya di malam hari, selepas isya. Apalagi di hari libur mengaji.

Kawanku terus bercerita sambil menyebut satu per satu lagu yang mereka sukai. Aku akan menyanyikan lagu ‘itu’ saja.

Bagian Satu: Pemakaman

 Oleh: S. N. Aisyah Apa yang dibawa oleh kematian? Apa yang dibawa oleh perpisahan jasad dan jiwa manusia? Apakah perpisahan i...