Sabtu, 10 Mei 2025

Cerpen: Mesti Tak Mesti

Oleh: S. N. Aisyah


Petang hari, di penghujung September, angin musim hujan mulai mengiring Kota Bertuah. Udara terasa sedikit lembap. Sesekali deru angin menyenggol palang rambu pemberhentian bus hingga membuatnya seolah berayun mendayu. Palang itu terlihat semenyedihkan halte yang bertengger setia  di sampingnya -- tak berpenghuni selain semilir dan deru angin yang sesekali menghampiri.  Selang lalulnya beberapa kendaraan, sebuah bus biru merapat. Berpasang-pasang kaki menapaki halte, mengantar kepala-kepala memenuhi halte sempit, melepasnya dari kungkungan sepi.  Di antara barisan kepala itu,  Ru  menyelinap keluar halte. Berjalan tergesa menyeberangi  trotoar. Menyusuri dua blok pergedungan, kemudian memasuki salah satunya.


“Ru! Hoy, sini!” Suara itu milik seorang wanita muda bernama Sa. Ia duduk beberapa meja jauhnya dari pintu utama. Suara Sa  membuat ‘si tergesa Ru’ menjadi rileks kemudian berjalan menghampiri. 

 

“Tukang telat,” sapaan itu menerbitkan cengiran Ru. Dihadapannya, tiga pasang mata menyambut, terlihat ramah. Seramah meja yang mereka kelilingi. Disesaki gelas minuman, ada yang masih penuh, ada yang telah disesap seperempatnya, dan ada yang hampir tandas tak ingin bersisa. 



“Kalian PHP.” Ru, The Reluctant Ahjuma, masih memegang teguh keahliannya. Tidak pernah bersepakat akan waktu. Kebiasaan yang diakuinya bukanlah suatu kebiasaan. Suatu waktu ia katakan bahwa ia tak pernah bermaksud agar sesiapa menunggu. Hanya ia kurang akur dengan waktu. Bila masa ia datang terlambat, lain masa ia jadi yang pertama. Tapi, sayang, tak pernah tepat kedatangannya. Kali ini, ia selang lima belas menit lebih lama dari kawan-kawanya.


 

“Kok PHP, Ru? Ru telat, kita PHP?” Ze, kawannya yang bermata coklat terang, protes tak terima. Namun, sepertiga detik berikutnya, senyumnya tak kepalang merekah. 


 

“Penanti harapan palsu, ” serempak, kursi tertarik, jawaban Ru asal lalu.


 

“Apaan?” Fa menimpali. Wajahnya direka semasam mungkin. Tetap saja, rasa senangnya tak tertutupi.


 

“Basi!” Sa menyambar seraya menyongsong segelas teh kamomil yang tak lagi hangat kepada Ru. Ia berseri-seri. Ini kali pertama mereka berempat bertemu sejak setahun  lalu. Agaknya itulah penyebab ketiga wanita itu sudah semeringah bahkan sebelum Ru menghampiri mereka. 


 

“Ya, Reluctant Ahjuma! Kalian sibuk apa?” Ru, masuk obrolan. 


 

“Enak aja Ahjuma, masih muda tau!” Ze, kembali protes. 


 

“Pasti belum mudik, kan?” Fa menebak gelagat kawannya. Sedang si tertuduh, Ze terlihat seperti siswa yang tertangkap curang saat ujian berlangsung.


 

“Sekarang ni, ya, kalo mau mudik, seram.” Ze mengeluarkan pembelaan dirinya, yang tentu saja diragukan ke-berterima-annya. 


 

“Kenapa?” Sa bertanya dengan nada halus. Sehalus lagu-lagu sendu yang sejak tadi memenuhi kafe. Sungguh serasi dengan rinai hujan yang mulai berjatuhan di luar jendela. 


 

“Ya, taulah, ntar malah disuruh milih calon sama ortu.” Fa menimpali dengan suara yang diseret. Jarinya mengaduk-aduk es cappucino yang kini tinggal seperempat gelas. Wajahnya tertekuk. Agaknya ia dirundung pasal yang tak berbeda. 


 

“Apa salahnya?” Sa tersenyum tipis. Senyum yang tulus, jauh dari kata olok-olok. 


 

“Karir dulu, karir, itu bisa belakangan.” Ze selalu terlihat seolah tidak ingin membicarakan hal ini dengan serius. Saat itu, beberapa pengunjung memasuki kafe. 


 

“Kapan lagi? Umur, cukup. Calon pun ada,” kedua alis Fa terangkat saat berkata, seolah mendesak kawan akrabnya untuk melakukan hal yang seharusnya sudah ia khatamkan.


 

“Kayak dah ada pendamping aja,” Ze menyindir balik Fa. Lalu perdebatan mereka dimulai kembali, persis saat-saat dulu mereka masih mengejar SKS di bangku perkuliahan.


 

“Eh, jangan salah, persiapan udah 99 persen, ya,” Fa kembali menimpali dengan wajah jail. 


 

“Belum seratus, kan?” Ze tak mau kalah.


 

“Kok belum kenalin ke kita?” Sa menuntut. Ru turut. Ze yang baru tersentak ikut menagih.


 

“Ya, satu persennya, si calon,” lalu Fa terkekeh, disambut muka masam kawan-kawannya. 


 

“Makanya, cari calon jangan muluk-muluk!” Ru menimpali dengan sedikit rasa kesal atas guruan tadi.


 

“Bukannya muluk-muluk. Ya emang harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya,” dengan mantap Fa menjawab. Wanita muda ini seakan menyiratkan bahwa ia tahu apa yang ia inginkan dan akan ia dapatkan. 


 

“Jadi yang gimana tu, si ’nggak muluk-muluknya’ kamu?” Sa bermain peran emak nan tengah menginterogasi anaknya agar segera mendapat gambaran calon menantu yang tepat.


 

“Mesti pintar, baik, soleh, bisa bimbing aku, rajin menabung, senyumnya menawan, nyambung,....”


 

“Banyak maunya!” Ru memotong untaian daftar yang rumit itu.


 

“Iyalah, aku-nya kan mau dibimbing ke yang lebih baik.  Cuma kamu yang nggak punya standar,” kembali Fa memasang wajah jailnya.


 

“Iya betul tu, apalagi kalo kayak oppa-oppa drama korea. Tinggi, tampan, baik, romantis, gentle. Meski kadang sok cool, dingin-dingin jutek, tapi baik banget,” Ze berpihak pada Fa. Tidak lupa dengan baik hati ia tambahkan kriteria yang didamba. Namun, keseriusannya masih dipertanyakan.


 

“Referensinya fiksi,” Ru tak dapat menahan tawanya yang diiringi dengusan.


 

“Sebagian cerita fiksi itu terinspirasi dari realita.” Ze mengajukan banding. 


 

 “Mesti begitu? yang tampan, tinggi, mata tajam, dada bidang, bahu lebar, ... ” Fa mulai merunut diiringi gestur yang sungguh menyebalkan.


 

“Ngaco.“ Lagi, Ru tidak bisa berhenti menimpali. 


 

“Alah kayak tak suka orang tampan aja,” Ze baru saja menghabiskan kunyahan terakhirnya, lalu kembali ia meminum kopinya.


 

“Siapa yang tak? Kriteria tampan kita yang beda. “ Pembelaan diri ini dilatari dengan bertambah banyak pengunjung kafe. Setiap sisi kafe kini hampir terisi penuh. Kursi-kursi berderak ketika ditarik menjauhi sisi meja. Kemudian Ru melanjutkan,“Lagi pun, ribut kali, kalau jodoh ya jodoh, nggak sekarang,  ya nanti.”


 

“Emang kita mesti cari yang bisa membawa kita lebih baik, kan?” Fa setia pada pendapatnya. 


 

“Tapi kamunya juga harus berusaha jadi baik. Kita bakal dapat yang kita tuai.” Begitulah Sa menanggapi, boleh lah kita katakan bijaksana. Selaras dengan gerakan tangannya yang teratur saat meletakkan cangkir teh ke meja. 


 

“Eh, Ze, kan enak kamu  tinggal disuruh pilih. Kamu banyak yang antri,” Ru terlihat seperti orang yang sedikit kehilangan akal atas kenyataan hidup yang dilalui kawannya. Ze satu-satunya putri dan merupakan anak sulung di keluarganya. Tangannya sungguh telaten meramu masakan. Suatu waktu, pernah ia katakan pada kawannya, setiap tangan melahirkan cita rasa sendiri dalam masakan.  Mungkin keahliannya ini menjadi salah satu sebab beberapa orang tua di kampung halamannya mendatangi rumah mereka dengan tujuan meminta  Ze untuk jadi menantu.


 

“Masih muda, karir dulu, belum ada yang sesuai, lagian,”


 

“Yang ke opa-opa drama-an?” Fa menertawakan pernyataanya. Sedang beberapa meter dari mereka, muda-mudi juga tengah terkekeh. Agaknya banyak manusia yang melarikan diri dan bersemayam di kedai-kedai minum hanya untuk dapat sedikit tertawa.


 

“Ya, nggaklah! Mana ada yang begitu. maunya yang cocok, pas di hati, pas karir dah tercapai,” Ini kali pertama Ze menjawab dengan nada yang tenang dan terkesan serius. Tetap saja, cengirannya tak dapat ditinggalkan begitu saja.


 

“Milih benar kamu. Aku cuma kurang satu persennya, kamu dah dapat malah tak nak,” Fa menimpali. 


 

“Gayaan aja, dilamar betulan malah kabur,” Ru kembali mengingatkan Fa pada kali terakhir -- yang entah keberapa kalinya – seorang pria berkunjung ke rumahnya dengan niat memasangkan simbol ikatan pada jari Fa. Sama halnya dengan Ze, Fa adalah putri satu-satunya di keluarga. Namun bukan satu-satunya anak. Ia si bungsu. Seperti cahaya bagi keluarganya, begitu pula si bungsu di luar rumah. Ia adalah wanita yang ceria dan pandai bergaul. Fa jauh dari kesan ‘orang kaku yang serius’, wajahnya selalu cerah dengan senyuman dan tawa. Dibalik tawanya, ia adalah seorang perencana ketat yang andal. Setiap aktivitas yang ia kerjakan telah tertulis dalam sebuah lis. Ia juga membuat daftar hal-hal yang ingin dicapai kemudian mulai mewujudkannya satu per satu. Sedari bangku sekolah, ia sudah aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Kini tak hanya dalam organisasi formal, ia juga aktif bermasyarakat di lingkungannya. Tidak jarang ia membantu tetangga dalam bisnis kecil-kecilan mereka.


 

“Ye, ngomong aja nggak  pernah nyambung, gimana mau terima?” Wajah Fa bersemu malu, suaranya menjadi agak tinggi.


 

“Intinya kalian belum siap tu,” Ru kembali meledek kawannya.


 

“Ini bocah sotoy, sendirinya juga belum,” Ze melemparkan fakta pada Ru. 


 

“Yah, masih lama juga. Kalo udah waktunya, ya udah. Kalo cocok, ya cocok.  Sekarang tak payah pikir  dulu.” Ru menjadi orang yang paling santai dalam perkara ini. Ditambah keyakinan yang dipaksakannya pada kawan-kawannya bahwa ia masih muda, apalagi jika dibandingkan dengan tiga kawannya itu. Meski kenyatannya, Ru hanya berusia satu tahun lebih muda dan belumlah juga usia mereka lebih dari seperempat abad. 


 

“Masih aja ngomongin satu persen,” Sa kini menyela perdebatan kawannya.


 

“Yelah, yang dah seratus persen tu,” Ze menanggapi dengan nada iri yang direka-reka. Tentu saja ia bahagia dengan cincin yang sudah melingkar di jari Sa. Bagaimana ia bisa melupakan saat-saat mereka berkunjung ke kampung halaman Sa demi menjadi saksi hari bahagia kawannya itu. Sa menikahi pria yang sedari bangku sekolah menengah atas memilih untuk setia padanya.


 

“Lagian ya, kita boleh-boleh aja punya kriteria tapi mesti ingat, kalau kamu mau dapat jodoh yang baik, ya berusaha jadi lebih baik. Jangan maunya terima aja, berjuang jugak. Makanya kalian tu persiapkan diri. Biar nggak kesian, jomlo nelangsa.” Sa menekankan kata-kata terakhirnya dengan nada meledek.


 

“YAA, AHJUMAA!” Tiga wanita muda yang dimaksud meneriakkinya. Kemudian mereka hanya berbagi tawa. Mengakhiri obrolan itu, memulai obrolan baru.  Di luar kafe, hujan yang sempat deras kini mulai mereda. Jalanan yang sempat lengang kembali ramai. Di seberang kafe, palang rambu dan halte bus kini ditemani banyak orang yang menanti kedatangan bus.


2018

Rabu, 07 Mei 2025

Tentang Pulang

Perjalanan hidup adalah perjalanan singkat yang panjang menuju pulang. Dari tempat kita berpijak menuju rumah, tak hanya satu jalan yang terbentang. Dalam perjalanan ini terkadang kita menemukan jalan yang lurus, berliku, rata, berbatu, berlacah, datar, terjal atau landai. Jarak yang kita lalui dapat jauh, dekat, lancar, mandat, lapang atau padat. Terkadang ada pula jalan buntu. Tidak semua orang melewati jalan yang sama. Tidak semua orang mengetahui setiap jalan dengan baik. Tidak perlu merasa tertekan, ambillah waktumu untuk memilih jalan terbaik menuju rumah. 

Bekal perjalanan setiap orang pun berbeda-beda. Ada yang dibekali banyak, ada yang cukup, ada yang ala kadarnya. Namun, tidak selalu permulaan menentukan akhir dari suatu cerita. Bekal-bekal itu dapat menjadikan perjalanan kita menjadi lebih mudah atau sulit, lama atau sebentar, bermakna atau sia-sia, tergantung pada cara mengolahnya. Kita dapat kehilangan bekal begitu saja atau menambah bekal tanpa disangka-sangka. Kita dapat berteriak marah saat terjebak macet atau memilih bersabar dan tidak membiarkan hati lecet. Kita dapat memaki atau memilih mengamati, berdiam diri, merefleksi dan menikmati perjalanan. 

Tidak perlu menghakimi orang lain tentang jalan menuju rumahnya, juga tidak perlu membebani diri menuju rumah kita. Pada dasarnya kita mulai dari garis mula yang berbeda. Pun perbekalan yang tidak sama. Sebagai sesama musafir, yang dapat kita lakukan adalah menaati aturan jalan, saling membantu, menunjukkan arah bagi yang tersesat-- bukan menghujat, berbagi perbekalan, saling menghormati pengguna jalan, dan tidak menyerobot jalan orang lain hingga melakukan hal merugikan lainnya. Tidak perlu khawatir tentang jalan menuju rumah kita yang tak seindah atau semudah jalan pulang orang lain, sebab yang harus kita khawatirkan adalah apa-apa saja yang nanti akan kita bawa pulang. Apakah suatu kebaikan atau suatu bencana. Apakah kita pulang untuk sekarat atau pulang untuk beristirahat. 

Perjalanan menuju rumah dapat saja menyenangkan atau meletihkan. Seperti itulah hidup. Seperti kita berjalan pulang. Tak peduli apa pun yang terjadi di perjalanan nanti, jangan pernah berhenti. Sebab setiap orang yang pulang tidak akan berhenti di tengah jalan. Ia selalu melanjutkan perjalanan hingga sampai pada tujuan. 


Juni, 2022

Sabtu, 03 Mei 2025

Cerpen: Mentimun Bungkuk

Oleh: S. N. Aisyah


 Minggu itu, di sebuah los pasar, dua wanita muda tengah terlibat dalam suatu percakapan.

”Kurasa, kalau gini terus, aku bisa keluar,” ujar Ren. Wajahnya berkerut, namun tidak terdengar sungguh-sungguh. 

”Yah, hal begini mesti ditimbang lagi, kan? Jangan gegabah,” Adrian menimpali. Adrian seorang pegawai swasta. Ia adalah tipikal orang yang bangun bahkan sebelum alaramnya berbunyi. Pegawai yang senantiasa menyeduh kopi sebelum memulai rutinitas harian sebagai pekerja.

”Belum kuputuskan emang. Mesti realistis juga, cari kerjaan tak gampang.” Ren seorang pekerja kontrak yang masih sangat hijau di dunia kerja. Kalau ditaksir, baru tiga tahun ia bekerja sebagai karyawan kontrak setelah masa magangnya berakhir.

”Ini masalah rumit.” Adrian tampak sedikit merenung, agaknya ia terjebak dalam pikirannya sendiri.

”Lihat, lihat mentimun itu!” Ren memecah renungan Adrian. Ia menunjuk ke arah wanita tua di seberang los. Separuh gerai wanita itu disesaki mentimun. Tampak seorang pembeli tengah bernegosiasi.

”Iya, kenapa mentimunnya?” Adrian masih belum mengerti maksud Ren.


”Coba perhatikan ibu itu memilih mentimun. Hanya timun yang lurus yang ia pilih untuk ditimbang. Begitu juga dengan pembeli sebelumnya.” Ren menjelaskan, namun Adrian tidak menimpali, hanya pandangan ‘lanjutkan’ yang ia berikan. Kemudian, Ren meneruskan, “Lihat timun-timun bungkuk itu. Persis seperti kita. Aku dan kau. Juga semua pekerja kalangan bawah, semua masyarakat yang dianggap golongan dua.” Di sudut gerai, tergeletak mentimun bungkuk yang tersisih dari seleksi alam perniagaan. Ren dan Adrian memandang mentimun malang dengan prihatin.

 

“Kenapa? Kenapa kita sama?” Adrian bertanya.

 

”Dengan timun bungkuk? Karena dalam perniagaan tak ada yang memilih timun bungkuk untuk ditimbang. Sedang dalam dunia egois, kita, golongan bawah adalah golongan yang tak pernah dipertimbangkan. Seolah usaha kita selama ini sia-sia. Nasib kita sama seperti timun bungkuk yang tak pernah dipilih untuk ditimbang. Kita hanya akan berujung dipurukkan ke dalam goni, lalu ditimbang bersama-sama sebagai spesies yang sama. Tidak ada kualitas spesial. Dan juga bukan apa-apa!” Ren sedikit berapi, juga terdengar sesal dalam suaranya. Adrian, terlihat tak begitu yakin dengan apa yang ia pikirkan. Setelah beberapa detik berlalu, ia manggut-manggut, seakan ia setuju dengan ucapan Ren.

 

Mereka berdua masih memerhatikan gerai mentimun. Pengunjung terakhir gerai itu baru saja pergi ketika seorang wanita sepuh berjalan melewati gerai. Pemilik gerai menyapa wanita itu. Dagangan timunnya ludes, kecuali setumpuk besar mentimun bungkuk. Kedua wanita bercakap akrab, kemudian pemilik gerai memberikan satu plastik mentimun dengan cuma-cuma. Wanita sepuh tersenyum bahagia. Setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, ia pun pergi. Ren dan Adrian ikut tersenyum, pandangan keduanya masih terpaku pada gerai di seberang.

 

Penjual mentimun bersiap mengemas barang-barangnya. Sepertinya ia cukup berdagang hari ini. Ia mulai memasukkan mentimun bungkuk ke dalam karung ketika seorang pembeli lain menghentikannya.

 

”Bu, tunggu! Saya mau beli timunnya.” Calon pembeli itu tampak tergesa.

 

”Wah, tinggal timun bungkuk ini, Buk. Lainnya sudah habis.” Pedagang timun menjelaskan, ia tampak menyesal saat mengatakannya.

 

”Tak apa, Bu. Toh masih bisa dimakan, ini juga bagus.” Pembeli itu berujar setelah dilihatnya tumpukan mentimun yang belum dikemas.

 

”Ibu mau berapa?” Pedagang dengan sigap bertanya sambil menimbang timunnya.

 

”Sekilo, Bu.”

 

”Boleh dibawa saja, Buk. Saya sudah mau pulang juga.” Penjual itu tersenyum sangat tulus.

 

“Nggak, Bu, saya beli dengan harga biasa, ya. ‘Kan sama-sama mentimun, kalau begini ibu nanti bisa rugi,” Pembeli menolak. Terjadi perdebatan kecil hingga salah seorang mengalah. Pembeli menyerahkan uang, penjual menerima uang.

 

“ Terima kasih, Buk. Jarang-jarang ada pembeli yang menghargai barang dagangan seperti Ibu.”

 

“ Saya juga terima kasih, Bu.” Begitulah akhir dari jual-beli mentimun bungkuk.

 

Lagi, di seberang kios, Andrian dan Ren tersenyum. Lalu mereka beradu pandang.

 

 

”Sepertinya tak masalah jadi timun bungkuk. Walau tak dipertimbangkan, masih bisa membuat orang lain bahagia. Masih bermanfaat, meski tak dihargai oleh banyak orang.” Adrian memecah diam antaranya dan Ren dengan kembali membahas analogi timun bungkuk. Ia melanjutkan, “Suatu hari nanti, timun bungkuk pada akhirnya akan menemukan pembeli yang memilihnya, bahkan saat lapak nyaris tutup.”

 

“Setuju!” Ren berkata seraya mengangguk.

 

“Ren, udah satu jam kita duduk di sini. Ayo pulang!” Adrian mengajak Ren. Ren melirik arlojinya. Ia tersentak.

 

“Yuk, Dri!” Ren menyusul Adrian membayar pesanan mereka yang sudah tandas dilahap. Setelah memastikan barang belanjaan aman di tangan, mereka berjalan keluar pasar.

Jumat, 02 Mei 2025

That One Friend in Your Life


Saya tidak tahu persis kapan mulanya saya menikmati kegiatan membaca. Sejauh ingatan yang bisa saya raih, itu saat duduk di taman kanak-kanak. Ketika itu, di sampul belakang buku pelajaran (kalau tidak salah) ada sebuah cerita bergambar singkat tentang seorang anak yang malas sekolah, ia selalu bangun terlambat. Hingga suatu hari, ia terburu-buru berangkat sekolah. Saat itu, saat ia memutuskan tidak malas bersekolah, ia mendapati sekolah sepi. Ya, hari itu hari minggu. Entah mengapa cerita tersebut membekas bagi saya. Saya masih ingat betapa seringnya cerita itu saya baca ulang. Itulah ingatan paling usang yang saya miliki tentang membaca. Kini, saya selalu senang jika menemukan buku bagus.


Saya tidak dapat disebut sebagai kutu buku atau istilah lainnya. Hubungan saya dengan buku tidak seintens itu. Saya belum bisa menjadi sahabat buku. Namun, satu hal yang saya tahu pasti, buku selalu menjadi teman bagi saya. Buku senatiasa memberikan pelajaran pada saya. Buku selalu siap menemani saya saat menghadapi masalah dalam kehidupan. Baik secara fisik maupun mental.


Terkadang saya mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup yang sedang saya alami saat membaca buku. Di lain waktu, membaca buku membawa saya kembali mengingat pelajaran dari hidup. Pertemuan dengan buku-buku tersebut membuat saya sesekali menjadi terlalu menuntut dan sedikit mudah kecewa pada buku yang tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Namun, sekarang saya sadar bahwa prilaku tersebut kurang elok. 


Suatu hari, saat saya mempertanyakan banyak hal tentang kehidupan yang tengah saya jalani, saya ditakdirkan berjumpa dengan PCW yang saat itu mengadakan kelas menulis cerpen. Saya mutuskan untuk mengikutinya (tentu saja sebagai benar-benar pemula). Dibimbing dengan mentor yang pro dan sangat perhatian serta teman-teman yang baik, belajar menulis menjadi menyenangkan. Proses belajar itu membuat saya sadar bahwa menulis karya yang baik tidaklah semudah membalik telapak tangan. Saya diajari untuk tidak berlaku kejam pada buku. 


Cara lain buku mengajari saya adalah, saat mengikuti antologi buku Sayap-Sayap Mimpi dan Menjadi Wanita Paling Bahagia yang dinaungi oleh PCW, saya merasa seperti sedang mencari jawaban melalui menulis. Saya merasa ditampar oleh kegundahan yang tidak saya sadari selama ini dan diseret paksa untuk menghadapinya. Perlahan-lahan saya belajar untuk memahami diri sendiri. Proses menulis ini membuat saya berpikir secara sadar. Sesuatu yang sangat berharga dalam hidup sebab sebagian besar manusia mungkin hidup secara otomatis dan tanpa kesadaran penuh. 


Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman seperti ini buka apa-apa. Namun, bagi saya ikut dalam dua antologi ini memberikan sangat banyak pelajaran berharga. Membuat saya berpikir, lagi-lagi buku menemani perjalanan saya dan menitipkan pelajaran berharga. 


2022

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...