Sabtu, 10 Mei 2025

Cerpen: Mesti Tak Mesti

Oleh: S. N. Aisyah


Petang hari, di penghujung September, angin musim hujan mulai mengiring Kota Bertuah. Udara terasa sedikit lembap. Sesekali deru angin menyenggol palang rambu pemberhentian bus hingga membuatnya seolah berayun mendayu. Palang itu terlihat semenyedihkan halte yang bertengger setia  di sampingnya -- tak berpenghuni selain semilir dan deru angin yang sesekali menghampiri.  Selang lalulnya beberapa kendaraan, sebuah bus biru merapat. Berpasang-pasang kaki menapaki halte, mengantar kepala-kepala memenuhi halte sempit, melepasnya dari kungkungan sepi.  Di antara barisan kepala itu,  Ru  menyelinap keluar halte. Berjalan tergesa menyeberangi  trotoar. Menyusuri dua blok pergedungan, kemudian memasuki salah satunya.


“Ru! Hoy, sini!” Suara itu milik seorang wanita muda bernama Sa. Ia duduk beberapa meja jauhnya dari pintu utama. Suara Sa  membuat ‘si tergesa Ru’ menjadi rileks kemudian berjalan menghampiri. 

 

“Tukang telat,” sapaan itu menerbitkan cengiran Ru. Dihadapannya, tiga pasang mata menyambut, terlihat ramah. Seramah meja yang mereka kelilingi. Disesaki gelas minuman, ada yang masih penuh, ada yang telah disesap seperempatnya, dan ada yang hampir tandas tak ingin bersisa. 



“Kalian PHP.” Ru, The Reluctant Ahjuma, masih memegang teguh keahliannya. Tidak pernah bersepakat akan waktu. Kebiasaan yang diakuinya bukanlah suatu kebiasaan. Suatu waktu ia katakan bahwa ia tak pernah bermaksud agar sesiapa menunggu. Hanya ia kurang akur dengan waktu. Bila masa ia datang terlambat, lain masa ia jadi yang pertama. Tapi, sayang, tak pernah tepat kedatangannya. Kali ini, ia selang lima belas menit lebih lama dari kawan-kawanya.


 

“Kok PHP, Ru? Ru telat, kita PHP?” Ze, kawannya yang bermata coklat terang, protes tak terima. Namun, sepertiga detik berikutnya, senyumnya tak kepalang merekah. 


 

“Penanti harapan palsu, ” serempak, kursi tertarik, jawaban Ru asal lalu.


 

“Apaan?” Fa menimpali. Wajahnya direka semasam mungkin. Tetap saja, rasa senangnya tak tertutupi.


 

“Basi!” Sa menyambar seraya menyongsong segelas teh kamomil yang tak lagi hangat kepada Ru. Ia berseri-seri. Ini kali pertama mereka berempat bertemu sejak setahun  lalu. Agaknya itulah penyebab ketiga wanita itu sudah semeringah bahkan sebelum Ru menghampiri mereka. 


 

“Ya, Reluctant Ahjuma! Kalian sibuk apa?” Ru, masuk obrolan. 


 

“Enak aja Ahjuma, masih muda tau!” Ze, kembali protes. 


 

“Pasti belum mudik, kan?” Fa menebak gelagat kawannya. Sedang si tertuduh, Ze terlihat seperti siswa yang tertangkap curang saat ujian berlangsung.


 

“Sekarang ni, ya, kalo mau mudik, seram.” Ze mengeluarkan pembelaan dirinya, yang tentu saja diragukan ke-berterima-annya. 


 

“Kenapa?” Sa bertanya dengan nada halus. Sehalus lagu-lagu sendu yang sejak tadi memenuhi kafe. Sungguh serasi dengan rinai hujan yang mulai berjatuhan di luar jendela. 


 

“Ya, taulah, ntar malah disuruh milih calon sama ortu.” Fa menimpali dengan suara yang diseret. Jarinya mengaduk-aduk es cappucino yang kini tinggal seperempat gelas. Wajahnya tertekuk. Agaknya ia dirundung pasal yang tak berbeda. 


 

“Apa salahnya?” Sa tersenyum tipis. Senyum yang tulus, jauh dari kata olok-olok. 


 

“Karir dulu, karir, itu bisa belakangan.” Ze selalu terlihat seolah tidak ingin membicarakan hal ini dengan serius. Saat itu, beberapa pengunjung memasuki kafe. 


 

“Kapan lagi? Umur, cukup. Calon pun ada,” kedua alis Fa terangkat saat berkata, seolah mendesak kawan akrabnya untuk melakukan hal yang seharusnya sudah ia khatamkan.


 

“Kayak dah ada pendamping aja,” Ze menyindir balik Fa. Lalu perdebatan mereka dimulai kembali, persis saat-saat dulu mereka masih mengejar SKS di bangku perkuliahan.


 

“Eh, jangan salah, persiapan udah 99 persen, ya,” Fa kembali menimpali dengan wajah jail. 


 

“Belum seratus, kan?” Ze tak mau kalah.


 

“Kok belum kenalin ke kita?” Sa menuntut. Ru turut. Ze yang baru tersentak ikut menagih.


 

“Ya, satu persennya, si calon,” lalu Fa terkekeh, disambut muka masam kawan-kawannya. 


 

“Makanya, cari calon jangan muluk-muluk!” Ru menimpali dengan sedikit rasa kesal atas guruan tadi.


 

“Bukannya muluk-muluk. Ya emang harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya,” dengan mantap Fa menjawab. Wanita muda ini seakan menyiratkan bahwa ia tahu apa yang ia inginkan dan akan ia dapatkan. 


 

“Jadi yang gimana tu, si ’nggak muluk-muluknya’ kamu?” Sa bermain peran emak nan tengah menginterogasi anaknya agar segera mendapat gambaran calon menantu yang tepat.


 

“Mesti pintar, baik, soleh, bisa bimbing aku, rajin menabung, senyumnya menawan, nyambung,....”


 

“Banyak maunya!” Ru memotong untaian daftar yang rumit itu.


 

“Iyalah, aku-nya kan mau dibimbing ke yang lebih baik.  Cuma kamu yang nggak punya standar,” kembali Fa memasang wajah jailnya.


 

“Iya betul tu, apalagi kalo kayak oppa-oppa drama korea. Tinggi, tampan, baik, romantis, gentle. Meski kadang sok cool, dingin-dingin jutek, tapi baik banget,” Ze berpihak pada Fa. Tidak lupa dengan baik hati ia tambahkan kriteria yang didamba. Namun, keseriusannya masih dipertanyakan.


 

“Referensinya fiksi,” Ru tak dapat menahan tawanya yang diiringi dengusan.


 

“Sebagian cerita fiksi itu terinspirasi dari realita.” Ze mengajukan banding. 


 

 “Mesti begitu? yang tampan, tinggi, mata tajam, dada bidang, bahu lebar, ... ” Fa mulai merunut diiringi gestur yang sungguh menyebalkan.


 

“Ngaco.“ Lagi, Ru tidak bisa berhenti menimpali. 


 

“Alah kayak tak suka orang tampan aja,” Ze baru saja menghabiskan kunyahan terakhirnya, lalu kembali ia meminum kopinya.


 

“Siapa yang tak? Kriteria tampan kita yang beda. “ Pembelaan diri ini dilatari dengan bertambah banyak pengunjung kafe. Setiap sisi kafe kini hampir terisi penuh. Kursi-kursi berderak ketika ditarik menjauhi sisi meja. Kemudian Ru melanjutkan,“Lagi pun, ribut kali, kalau jodoh ya jodoh, nggak sekarang,  ya nanti.”


 

“Emang kita mesti cari yang bisa membawa kita lebih baik, kan?” Fa setia pada pendapatnya. 


 

“Tapi kamunya juga harus berusaha jadi baik. Kita bakal dapat yang kita tuai.” Begitulah Sa menanggapi, boleh lah kita katakan bijaksana. Selaras dengan gerakan tangannya yang teratur saat meletakkan cangkir teh ke meja. 


 

“Eh, Ze, kan enak kamu  tinggal disuruh pilih. Kamu banyak yang antri,” Ru terlihat seperti orang yang sedikit kehilangan akal atas kenyataan hidup yang dilalui kawannya. Ze satu-satunya putri dan merupakan anak sulung di keluarganya. Tangannya sungguh telaten meramu masakan. Suatu waktu, pernah ia katakan pada kawannya, setiap tangan melahirkan cita rasa sendiri dalam masakan.  Mungkin keahliannya ini menjadi salah satu sebab beberapa orang tua di kampung halamannya mendatangi rumah mereka dengan tujuan meminta  Ze untuk jadi menantu.


 

“Masih muda, karir dulu, belum ada yang sesuai, lagian,”


 

“Yang ke opa-opa drama-an?” Fa menertawakan pernyataanya. Sedang beberapa meter dari mereka, muda-mudi juga tengah terkekeh. Agaknya banyak manusia yang melarikan diri dan bersemayam di kedai-kedai minum hanya untuk dapat sedikit tertawa.


 

“Ya, nggaklah! Mana ada yang begitu. maunya yang cocok, pas di hati, pas karir dah tercapai,” Ini kali pertama Ze menjawab dengan nada yang tenang dan terkesan serius. Tetap saja, cengirannya tak dapat ditinggalkan begitu saja.


 

“Milih benar kamu. Aku cuma kurang satu persennya, kamu dah dapat malah tak nak,” Fa menimpali. 


 

“Gayaan aja, dilamar betulan malah kabur,” Ru kembali mengingatkan Fa pada kali terakhir -- yang entah keberapa kalinya – seorang pria berkunjung ke rumahnya dengan niat memasangkan simbol ikatan pada jari Fa. Sama halnya dengan Ze, Fa adalah putri satu-satunya di keluarga. Namun bukan satu-satunya anak. Ia si bungsu. Seperti cahaya bagi keluarganya, begitu pula si bungsu di luar rumah. Ia adalah wanita yang ceria dan pandai bergaul. Fa jauh dari kesan ‘orang kaku yang serius’, wajahnya selalu cerah dengan senyuman dan tawa. Dibalik tawanya, ia adalah seorang perencana ketat yang andal. Setiap aktivitas yang ia kerjakan telah tertulis dalam sebuah lis. Ia juga membuat daftar hal-hal yang ingin dicapai kemudian mulai mewujudkannya satu per satu. Sedari bangku sekolah, ia sudah aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Kini tak hanya dalam organisasi formal, ia juga aktif bermasyarakat di lingkungannya. Tidak jarang ia membantu tetangga dalam bisnis kecil-kecilan mereka.


 

“Ye, ngomong aja nggak  pernah nyambung, gimana mau terima?” Wajah Fa bersemu malu, suaranya menjadi agak tinggi.


 

“Intinya kalian belum siap tu,” Ru kembali meledek kawannya.


 

“Ini bocah sotoy, sendirinya juga belum,” Ze melemparkan fakta pada Ru. 


 

“Yah, masih lama juga. Kalo udah waktunya, ya udah. Kalo cocok, ya cocok.  Sekarang tak payah pikir  dulu.” Ru menjadi orang yang paling santai dalam perkara ini. Ditambah keyakinan yang dipaksakannya pada kawan-kawannya bahwa ia masih muda, apalagi jika dibandingkan dengan tiga kawannya itu. Meski kenyatannya, Ru hanya berusia satu tahun lebih muda dan belumlah juga usia mereka lebih dari seperempat abad. 


 

“Masih aja ngomongin satu persen,” Sa kini menyela perdebatan kawannya.


 

“Yelah, yang dah seratus persen tu,” Ze menanggapi dengan nada iri yang direka-reka. Tentu saja ia bahagia dengan cincin yang sudah melingkar di jari Sa. Bagaimana ia bisa melupakan saat-saat mereka berkunjung ke kampung halaman Sa demi menjadi saksi hari bahagia kawannya itu. Sa menikahi pria yang sedari bangku sekolah menengah atas memilih untuk setia padanya.


 

“Lagian ya, kita boleh-boleh aja punya kriteria tapi mesti ingat, kalau kamu mau dapat jodoh yang baik, ya berusaha jadi lebih baik. Jangan maunya terima aja, berjuang jugak. Makanya kalian tu persiapkan diri. Biar nggak kesian, jomlo nelangsa.” Sa menekankan kata-kata terakhirnya dengan nada meledek.


 

“YAA, AHJUMAA!” Tiga wanita muda yang dimaksud meneriakkinya. Kemudian mereka hanya berbagi tawa. Mengakhiri obrolan itu, memulai obrolan baru.  Di luar kafe, hujan yang sempat deras kini mulai mereda. Jalanan yang sempat lengang kembali ramai. Di seberang kafe, palang rambu dan halte bus kini ditemani banyak orang yang menanti kedatangan bus.


2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...