Oleh: S. N. Aisyah
Kami tidak tahu asal-usulnya. Lelaki itu muncul begitu saja. Ia seperti lahir dari gulungan angin kelabu di bulan Februari. Rambutnya masai. Tumbuh menjulur hingga menutupi tengkuknya. Menggantung tepat di atas pundak. Garis matanya yang tajam kini cekung, tampak mati. Wajahnya dibingkai cambang dan janggut yang tidak terawat. Leher bajunya melar dengan tidak wajar, memperlihatkan tulang selangka yang menonjol dan bidang dada yang amat ringkih. Mempertegas betapa rangka itu jarang diberi makan.
Masih kuingat kedatangannya di sore nan amat mendung itu. Angin menderu kencang, memburu helaian sampah, dedaunan, dan debu yang dibuat terbang tunggang-langgang. Di tengah riuh itu, ia muncul dari balik tikungan jalan berpagar pohon kapas yang sudah lama ranggas. Rambut putihnya riap-riap, ditiup angin. Ia terburu-buru mendatangi kedai kopi yang tengah kami singgahi. Sedikit mengangguk, ia duduk di sisi paling ujung bangku panjang. Tas besar yang sedari tadi dipikul, ia taruh di bawah meja. Tepat di sisi kakinya.
Sejak hari itu, ia tinggal di desa kami. Kira-kira sudah dua bulan berlalu semenjak kedatangannya. Selama itu pulalah ia tidak pernah terlihat memiliki kerabat atau rumah di sini. Saban malam, ia tinggal di pos ronda yang sudah tak berfungsi lagi. Atau mungkin tempat lainnya? Menolak tawaran ketua RW untuk menempati salah satu kamar kosong di rumah beliau. Juga menolak tawaran dari ketua RT. Agaknya ia tidak pula bersusah-payah menemukan tempat tinggal.
Tak ada yang tahu siapa ia dan apa yang dilakukannya. Siang-malam ia mondar-mandir, berkeliling. Mulai dari utara perbatasan desa lalu terus menuju bagian selatan. Beberapa warga mengatakan lelaki itu pernah bermalam di makam. Entah benar, entah tidak, aku sangsi. Namun, tak pula aku punya alasan lain untuk membantah rumor ini.
Suatu hari, setelah pulang dari balai desa, kuputuskan untuk melintasi padang ilalang guna memperpendek jarak pulang. Padang ilalang ini luas, di tengah-tengahnya ada satu bangunan terbengkalai milik desa yang dibuat entah untuk apa. Aku yang berjalan gontai, melihat lelaki itu berdiri di sana. Saat jarak antara kami semakin dekat, kudapati bahwa pandangan matanya kosong menerawang.
”Sedang apa, Pak?” Kuberanikan diri untuk menyapanya.
”Mau mampir ke sungai,” begitu jawabnya singkat. Aku hanya bisa menahan rasa heran untuk diri sendiri. Kalau begitu apa yang ia lakukan di sini? Mengapa ia mencari sungai? Apakah mungkin ia hendak mandi?
“Oh, jalan ini, nanti lurus saja, Pak.” Kutunjuk jalan di sisi padang yang dibelakanginya. Ia mengangguk, mengucapkan terima kasih. Aku pamit. Rasa penasaran membuatku kembali menoleh ke belakang. Lelaki itu masih saja berdiam diri. Apa gerangan yang ia lamunkan? Kutinggalkan ia. Sambil berjalan, lama aku membatin tentangnya. Siapa ia sebenarnya? Adakah ia memiliki tujuan hidup? Di manakah rumahnya? Siapakah kerabatnya gerangan? Mengapa pula tiba-tiba ia datang ke desa kami? Rasa frustrasi membuatku memutuskan untuk mengambil kesempatan bercakap-cakap dengannya.
Aku berbalik arah, mendekati lelaki yang masih saja terlihat mematung itu. Belum lagi pijakanku sempurna di sampingnya, tiba-tiba saja ia berkata, ”Kunang-kunang ....”
Aku tidak tahu apakah ia berbicara padaku atau pada dirinya. Kuputuskan tetap hening, takut kalau saja aku merusak lamunannya.
”Apa kau masih melihat kunang-kunang?” Ia kembali bersuara. Kali ini dengan membalikkan badan dan menoleh padaku.
”Kunang-Kunang? Sa—saya tidak pernah lagi melihatnya, Pak.” Sedikit terbata aku menjawabnya. Apakah ia dapat melihat kedatanganku?
”Aku pun mengira begitu. Sudah dua bulan ini tak satu pun kulihat keberadaannya.” Ia berkata pelan sedikit melamun juga.
”Apa Bapak mencari kunang-kunang?” Aku menanyakannya karena kupikir mungkin saja begitu.
Ia sedikit tertawa. Ini pertama kalinya kulihat ia tertawa. ”Anggap sajalah begitu,” ujarnya.
”Kenapa, Pak?” Aku sebenarnya tidak tahu apa yang hendak kutanyakan. Begitu banyak pertanyaan yang harus ditanyakan, bukan?
”Mengapa apa? Mengapa kita menanggapnya begitu atau mengapa aku mencari kunang-kunang?”
Aku sedikit bingung. Kukira ... “Dua-duanya, Pak.”
”Maukah kau tunjukkan sungainya padaku?” Ia memintaku dengan tindak tersantun yang pernah kulihat. Dengan senang hati pula aku memandunya. Kami melewati padang ilalang, satu-dua toko-toko kecil dan kedai sederhana. Lebih jauh lagi, kami melewati perumahan. Jeda sejenak, rerumputan dan belukar memagari jalan. Beberapa meter selanjutnya, perkebunan sawit membentang.
”Kau tahu? Dulu, sudah lama sekali, aku, abah, dan umakku tinggal di sini.” Lelaki itu membuka obrolan.
Katanya lagi, ”Kami hidup dari ladang.”
Jeda sejenak, lelaki itu melanjutkan, ”Ini, tanah ini dulu tempat abah dan umakku biasa menanam dan memanen.”
Jujur saja, pembukaan obrolan baru ini membuatku sedikit terkejut dan sedikit malu pula. Ia mengingat tempat ini dan tidak sedikit pun menegurku yang sok tahu hendak mengarahkannya tadi. Dengan rendah hati pula ia mengundangku berjalan bersama. Aku hanya menelan rasa maluku seraya mengikuti arah pandangannya. Detik berikutnya kulihat ke dalam matanya. Iris mata itu pastilah dulu berwarna hitam-legam. Kini, warna hitamnya sudah berbayang abu-abu dan sedikit melebar di satu sisi menyebabkan iris matanya tak lagi terlihat bulat sempurna.