Sabtu, 31 Mei 2025

Cerpen: Lelaki Kunang-Kunang

Oleh: S. N. Aisyah


Kami tidak tahu asal-usulnya. Lelaki itu muncul begitu saja. Ia seperti lahir dari gulungan angin kelabu di bulan Februari. Rambutnya masai. Tumbuh menjulur hingga menutupi tengkuknya. Menggantung tepat di atas pundak. Garis matanya yang tajam kini cekung, tampak mati. Wajahnya dibingkai cambang dan janggut yang tidak terawat. Leher bajunya melar dengan tidak wajar, memperlihatkan tulang selangka yang menonjol dan bidang dada yang amat ringkih. Mempertegas betapa rangka itu jarang diberi makan.

 

Masih kuingat kedatangannya di sore nan amat mendung itu. Angin menderu kencang, memburu helaian sampah, dedaunan, dan debu yang dibuat terbang tunggang-langgang. Di tengah riuh itu, ia muncul dari balik tikungan jalan berpagar pohon kapas yang sudah lama ranggas. Rambut putihnya riap-riap, ditiup angin. Ia terburu-buru mendatangi kedai kopi yang tengah kami singgahi. Sedikit mengangguk, ia duduk di sisi paling ujung bangku panjang. Tas besar yang sedari tadi dipikul, ia taruh di bawah meja. Tepat di sisi kakinya.
 

Sejak hari itu, ia tinggal di desa kami. Kira-kira sudah dua bulan berlalu semenjak kedatangannya. Selama itu pulalah ia tidak pernah terlihat memiliki kerabat atau rumah di sini. Saban malam, ia tinggal di pos ronda yang sudah tak berfungsi lagi. Atau mungkin tempat lainnya? Menolak tawaran ketua RW untuk menempati salah satu kamar kosong di rumah beliau. Juga menolak tawaran dari ketua RT. Agaknya ia tidak pula bersusah-payah menemukan tempat tinggal.
 

Tak ada yang tahu siapa ia dan apa yang dilakukannya. Siang-malam ia mondar-mandir, berkeliling. Mulai dari utara perbatasan desa lalu terus menuju bagian selatan. Beberapa warga mengatakan lelaki itu pernah bermalam di makam. Entah benar, entah tidak, aku sangsi. Namun, tak pula aku punya alasan lain untuk membantah rumor ini.
 

Suatu hari, setelah pulang dari balai desa, kuputuskan untuk melintasi padang ilalang guna memperpendek jarak pulang. Padang ilalang ini luas, di tengah-tengahnya ada satu bangunan terbengkalai milik desa yang dibuat entah untuk apa. Aku yang berjalan gontai, melihat lelaki itu berdiri di sana. Saat jarak antara kami semakin dekat, kudapati bahwa pandangan matanya kosong menerawang.
 

”Sedang apa, Pak?” Kuberanikan diri untuk menyapanya.
 

”Mau mampir ke sungai,” begitu jawabnya singkat. Aku hanya bisa menahan rasa heran untuk diri sendiri. Kalau begitu apa yang ia lakukan di sini? Mengapa ia mencari sungai? Apakah mungkin ia hendak mandi?
 

“Oh, jalan ini, nanti lurus saja, Pak.” Kutunjuk jalan di sisi padang yang dibelakanginya. Ia mengangguk, mengucapkan terima kasih. Aku pamit. Rasa penasaran membuatku kembali menoleh ke belakang. Lelaki itu masih saja berdiam diri. Apa gerangan yang ia lamunkan? Kutinggalkan ia. Sambil berjalan, lama aku membatin tentangnya. Siapa ia sebenarnya? Adakah ia memiliki tujuan hidup? Di manakah rumahnya? Siapakah kerabatnya gerangan? Mengapa pula tiba-tiba ia datang ke desa kami? Rasa frustrasi membuatku memutuskan untuk mengambil kesempatan bercakap-cakap dengannya.
 

Aku berbalik arah, mendekati lelaki yang masih saja terlihat mematung itu. Belum lagi pijakanku sempurna di sampingnya, tiba-tiba saja ia berkata, ”Kunang-kunang ....”
 

Aku tidak tahu apakah ia berbicara padaku atau pada dirinya. Kuputuskan tetap hening, takut kalau saja aku merusak lamunannya.
 

”Apa kau masih melihat kunang-kunang?” Ia kembali bersuara. Kali ini dengan membalikkan badan dan menoleh padaku.
 

”Kunang-Kunang? Sa—saya tidak pernah lagi melihatnya, Pak.” Sedikit terbata aku menjawabnya. Apakah ia dapat melihat kedatanganku?
 

”Aku pun mengira begitu. Sudah dua bulan ini tak satu pun kulihat keberadaannya.” Ia berkata pelan sedikit melamun juga.
 

”Apa Bapak mencari kunang-kunang?” Aku menanyakannya karena kupikir mungkin saja begitu.
 

Ia sedikit tertawa. Ini pertama kalinya kulihat ia tertawa. ”Anggap sajalah begitu,” ujarnya.
 

”Kenapa, Pak?” Aku sebenarnya tidak tahu apa yang hendak kutanyakan. Begitu banyak pertanyaan yang harus ditanyakan, bukan?
 

”Mengapa apa? Mengapa kita menanggapnya begitu atau mengapa aku mencari kunang-kunang?”
 

Aku sedikit bingung. Kukira ... “Dua-duanya, Pak.”
 

”Maukah kau tunjukkan sungainya padaku?” Ia memintaku dengan tindak tersantun yang pernah kulihat. Dengan senang hati pula aku memandunya. Kami melewati padang ilalang, satu-dua toko-toko kecil dan kedai sederhana. Lebih jauh lagi, kami melewati perumahan. Jeda sejenak, rerumputan dan belukar memagari jalan. Beberapa meter selanjutnya, perkebunan sawit membentang.
 

”Kau tahu? Dulu, sudah lama sekali, aku, abah, dan umakku tinggal di sini.” Lelaki itu membuka obrolan.
 

Katanya lagi, ”Kami hidup dari ladang.”
 

Jeda sejenak, lelaki itu melanjutkan, ”Ini, tanah ini dulu tempat abah dan umakku biasa menanam dan memanen.”
 

Jujur saja, pembukaan obrolan baru ini membuatku sedikit terkejut dan sedikit malu pula. Ia mengingat tempat ini dan tidak sedikit pun menegurku yang sok tahu hendak mengarahkannya tadi. Dengan rendah hati pula ia mengundangku berjalan bersama. Aku hanya menelan rasa maluku seraya mengikuti arah pandangannya. Detik berikutnya kulihat ke dalam matanya. Iris mata itu pastilah dulu berwarna hitam-legam. Kini, warna hitamnya sudah berbayang abu-abu dan sedikit melebar di satu sisi menyebabkan iris matanya tak lagi terlihat bulat sempurna.
 

Jumat, 30 Mei 2025

Thought: Racauan yang Tak Selesai dalam Sepekan

Dini hari saat tulisan ini mulai ditulis adalah saat saya tengah berusaha untuk menulis tetapi tak dapat menghasilkan apapun selain rasa frustrasi. Rasanya kepala saya yang kopong, amat kosong. Seakan otak saya terbakar hingga jadi abu yang kemudian melayang, tinggalkan tempurung kepala. Saya tak dapat memanggil ingatan apapun  yang dapat saya tuliskan dengan benar. 

Sudah pasti ini sebab saya amat kurang membaca, 'kan? Maka apa yang harus saya tuliskan kali ini?

Oh, lebih baik menulis tentang film yang saya tonton saja. A Good Girl's Guide to Murder. Sebuah serial pendek yang menarik. Saya suka cara film ini menggaris-bawahi bahwa manusia tidak melulu hitam putih. Sisi gelap-terang  manusia dikemas dengan apik dalam serial pendek ini. Perpecahan jiwa  pada tokoh-tokoh serial ini dilatari dengan alasan yang  masuk akal. Rahasia gelap tokoh -tokoh  terbongkar oleh Pip,  si protagonis yang cerdas namun naif. Mengingatkan saya pada serial lainnya Adolescences, yang  memiliki tema dan nuansa yang sama dengan titik fokus isu yang sedikit berbeda. 

Ngomong-ngomong tentang film, bukankah  penjiwaan dari tokoh itu sangat berpengaruh besar dalam alur cerita misteri?  Menariknya, kita dapat menebak atau minimal memiliki firasat yang kuat tentang tersangka dalam film misteri kriminal bahkan pada saat pertama kali tokohnya muncul. Bukankah itu hasil dari manifestasi kedalaman penjiwaan tokoh?  Maksud saya, dalam dunia nyata, orang yang melakukan tindakan tertentu, sedikit banyaknya membawa bekas tindakannya itu pada dirinya. Misalnya saja, tak peduli bagaimana cara seseorang menutupi fakta bahwa ia kurang tidur, namun, tanda-tandanya tak dapat dielak. 

Seperti itu jugalah pendalaman kejiwaan karakter yang diperankan oleh aktor. Jika ia sangat mendalami kondisi psikologis dari karakter yang ia perankan, bukan tidak mungkin kita dapat menangkap sinyal dari watak karakter tersebut sebagaimana kita mendapatkan firasat dari orang-orang di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari.

Tentu saja bicara tentang film misteri tak hanya tentang pendalaman kejiwaan tokoh saja. Alur, penulisan naskah, kompleksitas permasalahan, pola dan logika cerita, kesegaran ide, perspektif kamera, atau simply keinginan sutradara untuk menampilkan image tertentu juga  berperan besar dalam film genre ini. 

Ya, benar, masih banyak hal lainnya yang saya tak sadari dan tak ketahui tentang perfilman. Lalu bagaimanakah film misteri yang baik itu? Apakah Anda juga berpikir bahwa film misteri yang baik adalah yang tak dapat terpecahkan sampai ia dipecahkan? Atau ia juga tak melulu tentang  seberapa misteriusnya misteri itu? Oke, saya akan berhenti meracau dulu. Entahlah, entahlah. 


29 Mei 2025
19. 57 WIB

Kamis, 29 Mei 2025

Fiksi Mini: Buron!

Oleh: S. N. Aisyah


Sudah enam pekan lamanya sejak wanita muda itu diselamatkan. Saban hari ia berkurung diri dalam kamar. Merajuk. Minta diizinkan pergi menjenguk tahanan kota yang dulu kerap jadi buron.
”Keluarlah, Nak. Apa yang kau inginkan dari menjenguk orang tak beradab, yang tahunya merampas orang dengan menyandera?” Begitulah Sang Ibu  membujuknya.

”Ibu tak tahu. Tak pernah tahu. Dia baik, Bu. Tak pernah ia menyakitiku. Toh, uang tebusan itu tak pernah jua ia terima.” Wanita muda itu enggan memenuhi permintaan orang tuanya.

Agaknya dua pekan dalam sanderaan memengaruhi kewarasannya. Begitulah pikir orangtuanya, lalu kata Sang Ibu lagi,”Hanya sebab kami menemukanmu. Jika tidak, tentu uang itu dilibasnya.”

”Tidak. Bukan begitu. Dia hanya butuh kawan. Biarkan aku menjenguknya. Kasihan dia,” suara putri kesayangannya bergetar.

”Apa kau sudah dijampi?” berang dan putus asa melanda Sang Ibu.
”Apa yang salah dari mengunjungi orang yang tak punya siapa-siapa lagi di muka bumi? Bukankah  ibu yang mengajarkanku untuk peduli pada orang lain?” Begitulah kukuhnya pendirian wanita itu.

”Baik, pergilah. Setelah itu berhentilah bertingkah.” Mungkin saja sebab tak tahan akan keadaan anaknya, ibu mengalah.

Dua hari kemudian, wanita muda itu menemui tahanan. Juga hari-hari selanjutnya. Hingga, di hari ke-20 kunjungannya, anak semata wayang itu tak pernah pulang. Tiga hari  telah berlalu sejak  laporan orang hilang diajukan. Dalam perjalanan mencari anak,  Sang Ibu singgah sebentar di sebuah warung. Mendadak jantungnya seakan jatuh ke dasar perut, TV di warung itu melantangkan sebuah berita. Si Tahanan Kota  kabur … bersama putrinya.


Kota Bertuah, 22  Mei 2025


Sabtu, 24 Mei 2025

Cerpen: Si Man

Oleh: S. N. Aisyah


Si Man duduk mencangkung di tepian anak sungai. Sesekali ia menghela napas lesu, mengusap kepala dengan kasar. Rambutnya masai, hidungnya memerah, matanya juga merah dan agak sembap. Agaknya lama sudah ia menangis. Ia merangkul erat lututnya. Berayun-ayun ke muka dan belakang dalam duduknya yang janggal.

 

Tatapan heran dan menghakimi dari orang-orang di jalanan tak lagi ia pedulikan. Toh, ia sudah banyak menelan tatapan serupa seumur hidupnya. Terlebih pagi tadi, ia tak hanya dihakimi tapi juga direndahkan sedemikian rupa.

 

Ah, persetan dengan mereka semua. Begitulah pikir Si Man, mencoba untuk tidak peduli. Namun, lambat-laun, semakin ia mencoba melupakan nasib hidupnya, semakin jelas ia dihantui. Terlebih, kembali terngiang perkataan yang acap dilontarkan Emak kepadanya.

 

”Sedang apa kau?” tiba-tiba saja Si Man dapat kembali mendengar suara menggelegar Emak mengepung telinganya. Seketika, ia seolah merasakan kembali hantaman keras di belakang kepalanya. Ingatan itu sontak membuat ponsel yang Si Man genggam meluncur jatuh ke sungai sedangkan Si Man tersentak, duduk terkulai.

 

“Sehari-hari kerjamu hanya duduk bermain ponsel, saja? Apa kau tidak ingin bekerja? Bagaimana mungkin kau berharap orang akan menghidupimu seumur hidup?” begitulah Emak kerap meneriakinya.

 

Baru saja tiga hari lalu Si Man merasa gembira dan bersemangat. Sebab, sebuah surel menyampaikan kabar baik padanya. Ia mendapatkan undangan wawancara kerja. Bukankah dunia akan menjadi lebih baik padanya? Setelah menerima surat itu, esoknya, pagi-pagi sekali Si Man sudah bersiap diri. Pukul empat subuh tadi, ia telah merapal-rapal jawaban apa kira-kira yang akan ia berikan saat wawancara. Sedang Emak, telah menyalakan kompor, sibuk memasak makanan terbaik untuk menyemangatinya. Tidak ada lagi prihatin dan wajah ketat Emak.

 

Ini bukanlah pekerjaan pertama Si Man. Sebelumnya ia telah menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta selama delapan tahun. Pandemik lalu, namanya nangkring dalam daftar PHK, ia kehilangan pekerjaan. Entah apa kriterianya hingga Si Man masuk dalam lis itu. Tak seorang pun dapat memberikan alasan yang baik.

 

Apakah sebabnya Si Man yang pemalas dan tidak berbakat? Tidak, bukan demikian. Si Man seorang yang tekun dan lurus. Baginya, kacamata kehidupan adalah hitam-putih. Kompas hidup, baik-buruk. Timbangan hidup, benar-salah.

 

Perkara pekerjaan, segala macam bentuk keterlambatan dan ketidakbecusan adalah haram baginya. Ia selalu mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Tak jarang Si Man mengambil lembur dan mengerjakan tugas yang bukan tupoksinya. Loyalitas bodoh dan royalitas tak masuk akalnya itu, membuat Si Man malam-malam harus mencari angkot untuk pulang ke rumah. Tidak ada tumpangan lain dari rekan ataupun basa-basi perusahaan, sebab ia selalu menjadi itik terakhir yang pulang kandang.

 

Semua itu Si Man lakukan dengan iming-iming tim, saling bantu sebagai rekan kerja. Meski kerja sama tim itu hanya bertepuk sebelah tangan bagi Si Man. Satu kekurangan Si Man, kita katakanlah saja ia sedikit kaku dan memiliki wajah dan penampilan yang tidak menarik untuk dipandang mata. Setidaknya itulah kekurangan Si Man bagi dunia. Bukanlah langka jika Si Man dituduh dan dicurigai atas hal buruk yang tak pernah dilakukannya. Hanya sebab penampilannya.

 

Masih jelas sekali di ingatan Si Man, hari ia diputuskan hubungan kerja. Ia dipanggil ke kantor Si Bos. Mendengar panggilan itu, ia menahan dentum jantung yang tak karuan. Sebab, kabar PHK sudah hinggap di daun telinga para karyawan sepekan sebelum panggilan itu tiba. Pelan-pelan, Si Man mengetuk pintu bosnya. Dengan gerakan canggung, ia menanggukan kepala, kemudian duduk, setelah diberi isyarat oleh Si Bos.

 

Mungkin sepuluh menit atau lebih lama lagi, Si Man menunggu bosnya selesai berkelakar di telepon. Meski ia diminta segera datang, bagi bos tidak patut jika kedatangannya menyela kegiatan bos. Tidak peduli kegiatan apa pun itu. Apalagi jika bos sedang di saluran telepon, tidak patut anak buah menyela atau bahkan memberikan lirikan. Konon, telepon bos di jam kerja adalah telepon penting. Ya, benar. Telepon bos. Jika anak buah yang memegang ponsel saat bekerja, artinya mereka lalai dan bermain-main. Begitulah pemahaman yang Si Man dapatkan setelah lama menjadi bawahan.

 

Kelakar terakhir menjadi penutup janji temu si bos di area golf. Setelahnya telepon diputus. Kemudian, Si Bos melihat pada Si Man, seketika keningnya berkerut, alisnya menyeringit. “Perlu apa ke sini?” begitulah tanya si Bos.

 

“Maaf, Pak. HRD tadi minta saya ke sini segera menemui Bapak, ada hal yang harus dibicarakan katanya, Pak.”

 

“Oh, kau Si Mon?”

“Si Man, Pak.”

Si Bos tampak tak begitu mengacuhkan nama yang diucapkan Si Man. Ia hanya mengangguk dengan cengiran yang menyebalkan, kemudian menyatukan jari-jarinya dengan siku menunpu pada permukaan meja. Lalu ia berkata.

 

Bagian Satu: Pemakaman

 Oleh: S. N. Aisyah Apa yang dibawa oleh kematian? Apa yang dibawa oleh perpisahan jasad dan jiwa manusia? Apakah perpisahan i...