Si Man duduk mencangkung di tepian anak sungai. Sesekali ia menghela napas lesu, mengusap kepala dengan kasar. Rambutnya masai, hidungnya memerah, matanya juga merah dan agak sembap. Agaknya lama sudah ia menangis. Ia merangkul erat lututnya. Berayun-ayun ke muka dan belakang dalam duduknya yang janggal.
Tatapan heran dan menghakimi dari orang-orang di jalanan tak lagi ia pedulikan. Toh, ia sudah banyak menelan tatapan serupa seumur hidupnya. Terlebih pagi tadi, ia tak hanya dihakimi tapi juga direndahkan sedemikian rupa.
Ah, persetan dengan mereka semua. Begitulah pikir Si Man, mencoba untuk tidak peduli. Namun, lambat-laun, semakin ia mencoba melupakan nasib hidupnya, semakin jelas ia dihantui. Terlebih, kembali terngiang perkataan yang acap dilontarkan Emak kepadanya.
”Sedang apa kau?” tiba-tiba saja Si Man dapat kembali mendengar suara menggelegar Emak mengepung telinganya. Seketika, ia seolah merasakan kembali hantaman keras di belakang kepalanya. Ingatan itu sontak membuat ponsel yang Si Man genggam meluncur jatuh ke sungai sedangkan Si Man tersentak, duduk terkulai.
“Sehari-hari kerjamu hanya duduk bermain ponsel, saja? Apa kau tidak ingin bekerja? Bagaimana mungkin kau berharap orang akan menghidupimu seumur hidup?” begitulah Emak kerap meneriakinya.
Baru saja tiga hari lalu Si Man merasa gembira dan bersemangat. Sebab, sebuah surel menyampaikan kabar baik padanya. Ia mendapatkan undangan wawancara kerja. Bukankah dunia akan menjadi lebih baik padanya? Setelah menerima surat itu, esoknya, pagi-pagi sekali Si Man sudah bersiap diri. Pukul empat subuh tadi, ia telah merapal-rapal jawaban apa kira-kira yang akan ia berikan saat wawancara. Sedang Emak, telah menyalakan kompor, sibuk memasak makanan terbaik untuk menyemangatinya. Tidak ada lagi prihatin dan wajah ketat Emak.
Ini bukanlah pekerjaan pertama Si Man. Sebelumnya ia telah menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta selama delapan tahun. Pandemik lalu, namanya nangkring dalam daftar PHK, ia kehilangan pekerjaan. Entah apa kriterianya hingga Si Man masuk dalam lis itu. Tak seorang pun dapat memberikan alasan yang baik.
Apakah sebabnya Si Man yang pemalas dan tidak berbakat? Tidak, bukan demikian. Si Man seorang yang tekun dan lurus. Baginya, kacamata kehidupan adalah hitam-putih. Kompas hidup, baik-buruk. Timbangan hidup, benar-salah.
Perkara pekerjaan, segala macam bentuk keterlambatan dan ketidakbecusan adalah haram baginya. Ia selalu mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Tak jarang Si Man mengambil lembur dan mengerjakan tugas yang bukan tupoksinya. Loyalitas bodoh dan royalitas tak masuk akalnya itu, membuat Si Man malam-malam harus mencari angkot untuk pulang ke rumah. Tidak ada tumpangan lain dari rekan ataupun basa-basi perusahaan, sebab ia selalu menjadi itik terakhir yang pulang kandang.
Semua itu Si Man lakukan dengan iming-iming tim, saling bantu sebagai rekan kerja. Meski kerja sama tim itu hanya bertepuk sebelah tangan bagi Si Man. Satu kekurangan Si Man, kita katakanlah saja ia sedikit kaku dan memiliki wajah dan penampilan yang tidak menarik untuk dipandang mata. Setidaknya itulah kekurangan Si Man bagi dunia. Bukanlah langka jika Si Man dituduh dan dicurigai atas hal buruk yang tak pernah dilakukannya. Hanya sebab penampilannya.
Masih jelas sekali di ingatan Si Man, hari ia diputuskan hubungan kerja. Ia dipanggil ke kantor Si Bos. Mendengar panggilan itu, ia menahan dentum jantung yang tak karuan. Sebab, kabar PHK sudah hinggap di daun telinga para karyawan sepekan sebelum panggilan itu tiba. Pelan-pelan, Si Man mengetuk pintu bosnya. Dengan gerakan canggung, ia menanggukan kepala, kemudian duduk, setelah diberi isyarat oleh Si Bos.
Mungkin sepuluh menit atau lebih lama lagi, Si Man menunggu bosnya selesai berkelakar di telepon. Meski ia diminta segera datang, bagi bos tidak patut jika kedatangannya menyela kegiatan bos. Tidak peduli kegiatan apa pun itu. Apalagi jika bos sedang di saluran telepon, tidak patut anak buah menyela atau bahkan memberikan lirikan. Konon, telepon bos di jam kerja adalah telepon penting. Ya, benar. Telepon bos. Jika anak buah yang memegang ponsel saat bekerja, artinya mereka lalai dan bermain-main. Begitulah pemahaman yang Si Man dapatkan setelah lama menjadi bawahan.
Kelakar terakhir menjadi penutup janji temu si bos di area golf. Setelahnya telepon diputus. Kemudian, Si Bos melihat pada Si Man, seketika keningnya berkerut, alisnya menyeringit. “Perlu apa ke sini?” begitulah tanya si Bos.
“Maaf, Pak. HRD tadi minta saya ke sini segera menemui Bapak, ada hal yang harus dibicarakan katanya, Pak.”
“Oh, kau Si Mon?”
“Si Man, Pak.”
Si Bos tampak tak begitu mengacuhkan nama yang diucapkan Si Man. Ia hanya mengangguk dengan cengiran yang menyebalkan, kemudian menyatukan jari-jarinya dengan siku menunpu pada permukaan meja. Lalu ia berkata.
“Yah. Begini Mon, pandemi berdampak tidak baik bagi perusahaan kita. Segala bidang mesti beradaptasi. Cara-cara lama sudah tidak bisa mengkaver pekerjaan kita. Terlebih penggunaan IT sekarang dituntut banyak. Kita ke ranah publik. Untuk penjualan dan persaingan, kita memerlukan skill dan wajah baru yang menjual …” kata-kata setelahnya sayup-sayup di telinga Si Man.
Dengan takzim, Si Man menuruti setiap bunyi yang keluar dari mulut bosnya. Meski suara Si Bos seperti ditarik oleh lubang hitam, terdengar amat samar di kuping Si Man. Ia hanya dapat menerka-nerka arah pembicaraan ini. Tidak, ia tidak menerka, ini lebih seperti menunggu sahnya pemutusan hubungan kerja dirinya. Dengan sabar dan tak tenang, Si Man menanti kata-kata itu. Si Man tak henti-henti meremas jemari di pangkuannya.
“Mon, dengan sangat menyesal, melalui berbagai macam pertimbangan, kita terpaksa harus berpisah jalan. Ini bukan hanya masalah sentimen pribadi. Saya harap kamu tidak salah paham. Ini demi perusahaan dan nasib orang banyak. Penilaian objektif sudah dilakukan. Saya harap kamu mengerti.”
Mendengar kalimat itu, Si Man hanya mengangguk. Ia berusaha berpegang pada percakapan mereka dengan sebaik mungkin, menjawab sebisanya. Toh, ia tak dapat menyangkal apa pun lagi. Pertemuan itu tak sampai lima menit lamanya. Si Man di-PHK. Ia keluar dengan hati yang patah. Bukan ia tidak mengantisipasi, hanya saja ia tak menyangka bahwa pada kenyataannya hal ini tetap berat baginya.
Sejak kepulangannya dari kantor Si Bos, Si Man menghabiskan waktu dengan mencari pekerjaan. Naik turun angkot, berpanas ria, keringatnya kerap bercucuran. Angkot? Si Man tengah menabung uang untuk membeli sepeda motor. Tidak, ia tidak akan mengambil motor kreditan. Sedang uangnya tak kunjung cukup untuk membawa pulang motor bekas secara tunai.
Ia telah melamar ke sana-kemari. Ia juga mencoba bekerja serabutan. Sama saja. Tak ada hasilnya. Ia ditolak. Berbagai macam alasan diterimanya. Alasan paling utama ialah ia tidak memenuhi kriteria atau mereka tak membuka lowongan untuk orang udik seperti Si Man.
Hari demi hari berikutnya hanya menambah luka hati Si Man. Begitu masker ia buka, orang-orang akan memandang dengan kening berkerut. Entah untuk alasan apa. Pernah ia dijudesi saat akan membayar uang makan di warung, lagi-lagi entah karena apa. Suatu ketika, orang-orang terdiam saat ia melintas. Namun, belum lagi punggungnya jauh, mereka sudah terkikik menertawakannya, entah sebab apa. Hidup Si Man semakin nelangsa. Omelan Emaknya semakin ramai saja.
Selama ini, tak sedikit pun di hati Si Man terbesit untuk merugikan atau menyakiti orang lain. Bagai manik lepas talinya, kini Si Man sadar, bias-bias cahaya tak bekerja seperti biasnya manusia. Si Man menelan kenyataan bahwa tidaklah cukup hanya dirinya yang tak ingin menyusahkan, tak ingin menyakiti orang lain. Hal itu tak akan melindungi dirinya dari rasa sakit. Ia memutuskan untuk membuat cangkang di rumah. Sejak saat itu, ia tak hendak lagi keluar rumah. Tidak ada gunanya bagi Si Man.
Apakah Si Man berputus asa? Tidak, bagi lelaki itu, ia tak kenal kata putus asa. Maka, ia berusaha belajar dengan lebih semangat. Si Man mengasah skillnya di rumah, ia belajar hal apa saja. Berbekal ponsel pintar, Ia mengikuti kelas-kelas daring, meski setiap ia berinteraksi, entah karena alasan apa, suasana menjadi canggung. Tak jarang ia disambut dengan dingin dan kening yang berkerut. Entah apa muasalnya, Si man tak pernah tahu.
Si Man seperti hilang arah. Kerap ia pertanyakan apalah artinya ia hidup lagi. Si Man tidak dapat menjawabnya. Maka ia jalani hari-hari tanpa pernah benar-benar sadar apa yang sedang terjadi. Bahkan Si Man juga tidak tahu kapan matahari dan bulan saling berganti tempat. Dalam kepalanya berputar-putar pertanyaan akan kesalahan apa yang telah ia perbuat. Makin hari, Si Man terlihat makin kurus. Sedang Emak makin lama makin frustrasi dan risau saja dibuatnya. Kerap Emak memarahi dan menyuruhnya keluar rumah. Tentu saja hal itu tak dapat lagi Si Man aminkan. Ia terlalu sibuk. Di depan layar. Layar apa saja. Itu lebih baik dibanding mendengar ocehan Emak.
Semua itu terjadi dua tahun belakang. Kini, ia duduk di tepian anak sungai, di bawah jembatan jalan raya. Undakan sepanjang bibir sungai yang dipagari bambu itu lengang. Selengang hati Si Man. Senja benar-benar telah pergi membawa semburat jingga, menyisakan hitam pekat. Sepekat hati Si Man. Tak kuasa ia untuk kembali mengingat kejadian tadi pagi. Wawancara kerja.
Wawancara itu berakhir baik. Semua pertanyaan rasanya telah ia jawab dengan sempurna. Bukankah rekam jejaknya di tempat kerja lama juga baik? Si Man sempat memiliki sedikit harapan. Pasalnya, ini perusahaan pertama yang tidak picik menghakiminya dengan menyerngitkan kening saat melihat wajahnya. Begitulah dugaan Si Man. Hatinya terasa ringan. Ketika hendak pulang, Si Man menanti sebentar. Ia duduk di pelataran kantor yang rindang. Saat itu, ia mendengar percakapan yang tidak semestinya ia dengar.
“Benar, sifatnya baik. Dia berbakat, tekun pula. Tapi, terlalu lurus. Kita tak perlu orang lurus. Orang kaku tak suai dengan zaman ini. Susah.” Suara itu Si Man kenal. Itu suara salah satu pewawancara tadi. Pewawancara bertubuh tambun.
“Tapi, kalaulah dia kita ambil, kerjaan akan cepat selesai. Jelas cara kerjanya baik, benar pula.” Sahut pewawancara lain.
“Tak perlu pekerjaan baik dan benar. Kita perlu kerjaan yang suai,” lelaki tambun itu berkata seraya mengisap rokoknya.
Kemudian, ia melanjutkan, “Lagi pula, bagaimana mungkin kita pekerjakan orang seperti dia? Lihatlah dia berselemak.Tak enak dipandang mata.”
“Yah, lagian kita sudah punya kandidat titipan, toh. Yang seru untuk diajak diskusi dan ngopi.” Si pewawancara berkelakar seraya menggosokkan jari telunjuk ke ibu jarinya. Dua orang itu terpingkal.
Apalagi yang akan mematahkan hati Si Man? Tak khayal, mungkin ia akan membuat jalan sendiri saja. Ia tidak mau mendekati dunia menjijikan macam ini lagi. Saat itu ia berusaha membalut kepingan hatinya dengan keputusasaan. Di celah hatinya, ia menanam tekad. Ia akan membalaskan dendam luhurnya pada dunia yang kejam. Si Man berangan-angan menjadi manusia terbaik yang pernah ada. Seorang pembela keadilan berhati mulia. Ia akan berjuang hingga tiada lagi orang-orang seperti mereka di dunia.
Si Man menyeka air matanya. Cahaya bulan sabit memantul di aliran air yang berwarna kelabu. Pohon bambu berkesiur ditiup angin malam. Suara lalu-lalang kendaraan menderu. Jalan raya ramai dengan lampu jalan dan lampu kendaraan yang melintas. Sungguh malam yang indah untuk bersedih. Si Man memutuskan bangkit dari duduknya.
Lelaki itu menyusuri jalan. Tubuhnya berayun gontai. Ia menggerakkan kaki dengan langkah menyeret. Rambut pendeknya mencuat ke mana-mana. Kemejanya kusut sedang di beberapa sisi celananya bekas tanah sungai terpeta jelas. Mata Si Man menerawang. Sesekali ia menyeringai ganjil. Membuat setiap kepala menoleh heran padanya lalu berbisik-bisik. Si Man tak lagi peduli, ia terus berjalan.
Si Man berhenti sejenak saat melewati warung makan yang menolaknya. Ia memandang warung itu, lekat-lekat. Menyapu setiap sisi, sebentar-bentar ia seperti melamun, sedetik berikutnya ia menatap tajam dan memutuskan untuk kembali melangkah. Etalase-etalase toko dan tenda-tenda berkelebat menemani perjalanan Si Man. Begitu pula dengan gedung-gedung sederhana maupun mewah. Tak lupa pula pasar tradisional. Malam itu, Si Man melewati hampir separuh kota. Ya, Si Man juga telah menyapa sejenak setiap tempat yang telah menolaknya dengan cara yang sama, tak terkecuali.
Di persimpangan menuju rumahnya, Si Man berlutut-lunglai. Kepalanya terpekur. Ada jeda panjang dalam hening sebelum akhirnya suara keluar dari mulutnya. Awalnya hanya tawa kecil yang pilu, kemudian perlahan volumenya membesar hingga membahana, terdengar mengerikan. Tawa keras Si Man menembus langit malam yang kian pegam.
Emak duduk di beranda menanti kepulangan Si Man. Sudah tiga bulan lamanya sejak Emak melaporkan anaknya hilang. Pagi di hari wawancara adalah kali terakhir Emak melihat Si Man. Ponselnya pun tak dapat dihubungi.
Pada pencarian terakhir, sinyal ponselnya terdeteksi di tepian sungai, tiga bulan lalu. Apa mungkin anaknya mati dibawa arus sungai? Atau di makan buaya muara? Atau ia memutuskan untuk terjun? Emak tak kuasa menahan rasa iba.
Timbullah penyesalan dari lubuk hati Emak. Anak lelaki satu-satunya itu tak kunjung pulang. Apakah ia membenci ibunya? Lamunan Emak seperti tali kaset yang rusak.
Bagai guruh di teriknya siang, Suri, tetangga Emak berlarian mendatangi Emak, memecah lamunannya. Menyampaikan bahwa Si Man kini ada di kantor sebuah perusahaan besar. Tempat ia melamar tempo hari.
Senang bukan kepalang Emak. Apa maksud kabar ini? Apakah kini Si Man sudah sukses? Apa itu sebabnya ia tak dapat pulang? Tapi mengapa? Ah, biarlah, itu bisa ditanya nanti-nanti, yang penting Si Man tak mati dimakan buaya muara. Penjelasan Suri samar-samar terdengar oleh emak. Pikiran dan hati emak sibuk. Perasaan senang Emak menuntunnya segera ke PT besar itu, menembus udara dingin di pagi gerimis.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sesampainya Emak di halaman kantor itu, terlihat Si Man tengah tersenyum bangga. Berdiri dengan mantap dan gagah. Si Man kini terlihat berbeda. Lihatlah baju yang ia gunakan bukan baju lusuh dulu. Ia mengenakan setelan jas rapi. Rambutnya kini sudah panjang menyentuh bahu. Emak ingin segera berlari menghampirinya. Namun, terhalang oleh kerumunan. Benar, Si Man berada di tengah lingkaran kerumunan—entah—apa itu. Berdiri bangga dengan … tunggu! Apa itu bedil? Apa itu Si Man yang membawa bedil?! Emak tak dapat mempercayai matanya.
Bertemu ruas dengan buku, entah angin apa yang menuntun Si Man menoleh pada Emak. Pandangan mata mereka beradu, menembus lingkar kerumunan itu.
Demi melihat Emaknya, Si Man tersenyum, semringah. Detik berikutnya, bibir Si Man bergerak mengucapkan sesuatu. Meski tak dapat mendengar suaranya, Emak tahu anaknya mengeja kata maaf dan selamat tinggal. Dua kata yang saat ini tak dapat Emak mengerti. Emak juga melihat air mata yang menggenang pada kedua mata putranya.
Di tengah kebingungan Emak, semesta seolah bergerak lamban. Emak menyaksikan dengan terang, Si Man melepaskan pelatuk di pelipisnya. Sepersekian detik berikutnya, suara tembakan pecah. Si Man ambruk.
Bunyi sirine bersahutan. Mengaung-ngaung di udara pagi, menembus hujan yang kian lama, kian deras. Mobil patroli polisi mengepung gedung megah itu. Darah segar mengalir dari kepala Si Man, juga dari dalam gedung. Aliran darah-darah segar itu bersatu dengan hujan. Membuat aliran anak sungai darah. Meninggalkan mayat Si Man juga mayat-mayat lain di dalam gedung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar