Jumat, 20 Juni 2025

Thought: Laron-Laron



Suatu hari, saya bercakap-cakap dengan ayah saya. Saya tak begitu ingat apa yang menyeret kami pada perbincangan ini, barangkali laron-laron yang berterbangan setelah hujan yang menjadi pencetus obrolan itu. Sepotong kisah itu membekas di hati saya. Ya, malam itu, Ayah bercerita tentang laron. Kira-kira begini ini kata Ayah, yang kemudian saya sadur menjadi,"Seperti itulah dia (laron), menghendaki cahaya terang, terus mengejarnya, tapi bisa terbang cuma sampai setinggi pohon nira." 

Percakapan itu menyuguhkan sebuah simpulan di antara kami, bahwa laron, makhluk yang banyak mau tetapi tidak memiliki cukup kapasitas untuk angan-angannya itu. 

Dari percakapan itu, saya merenung. Itu sangat menyedihkan. Saat kita memiliki mimpi yang besar, tetapi tidak sanggup memikul beban yang harus dibayarkan untuk mewujudkannya. 
Setelah percakapan malam itu, saya menulis puisi ini. 

Kalakatu
Dian, saat kau eja sirius,
padanya aku terjerumus
kuhitung orbit, kuburu arus
hingga, bercerminku pada aurora
sayapku berkelana di puncak nira
06 Oktober 2016

Sebuah puisi yang bernada keputusasaan, sebuah momen kesadaran yang menghantam keras atas keterbatasan diri. Bayangkan saja, ia berdispora saat musim hujan. Hanya akan menyebar dan terbang saat masa mencari pasangan untuk membangun generasi baru. Dengan kata lain, untuk berkembang. Terbang berkoloni-koloni di malam hari, terkadang tepat sesaat setelah hujan turun. Sangat menyukai cahaya dan menjadi tamak ingin mengejar cahaya yang lebih terang lagi. Mungkin saja, jika ia bisa, ia akan mengejar Sirius, bintang yang paling terang di Bima Sakti itu. Ya, atau setidaknya  dapat menggapai rembulan, tak hanya mengejar cahaya bola lampu--apalagi mengejar cahaya lampu kendaraan yang melintas, berdansa, bermandikan lampu sorot hanya untuk mati tertabrak. Ah, terbang ke atas langit sana? Malang, sayap rapuh yang menari-nari di bawah cahaya itu hanya mampu terbang setinggi pohon kelapa. Beautiful but tragic. 

Lalu, saya merasa amat iba dan dapat bersimpati padanya, si laron itu. Barangkali pada suatu titik dalam hidup, manusia pernah berada di posisi itu. Merasa sangat rapuh dan tak berdaya untuk mengejar cita-cita atau mimpi-mimpi atau sekadar keinginan sederhana atau janji yang telah diikrarkan atau mungkin mereka mengejar hal yang lebih sulit lagi, cinta. Akankah manusia itu akan mati saat tak mendapatkan cita-cita, keinginan sederhana, atau bahkan cintanya itu seperti laron yang mati jika tak mendapatkan pasangan? 

Saya kira kita tak mau menjadi seperti itu. Kita tak ingin menjadi laron, si rayap yang hidup dengan menggerogoti rumah atau apa saja dan terlalu tamak mengejar cahaya lalu mati konyol karena tak dapat berkembang. Kita tak ingin menjadi laron. Akan tetapi, bagaimana jika kita sudah menjadi laron? 

Kawan, menjadi laron hanyalah sebuah fase dalam hidup. Jika saat ini kita bangkit dari tempat tidur dan mendapati tubuh kita sudah berubah menjadi laron seperti halnya tubuh Gregor Samsa yang berubah menjadi serangga atau kecoa, maka, jadilah laron yyang membangun koloni. Yang tidak terdistraksi dengan cahaya tetapi fokus menemukan pasangan (atau dalam hal ini kita artikan juga sebagai mimpi) kita. Sebab, setelah laron mendapatkan pasangannya (atau mimpi, cita-cita, tujuan) ia akan melepaskan sayapnya, berjalan beriringan mencari tempat terbaik untuk membangun koloni. Sayap-sayap mereka yang telah gugur itu biasanya menjadi sinyal-sinyal bagi manusia untuk mengetahui tempat yang mengandung kelembapan tinggi, kadar air yang banyak. Bahkan, sayap-sayap rapuhnya itu, kawan, menjadikan tumbuhan yang ada disekitarnya menjadi lebih subur. 

Jika kita memiliki mimpi setinggi langit, seterang Sirius, maka jangan jadi laron kecuali hanya dalam fase saja. Atau jika suatu saat nanti, Gregor Samsa dalam diri kita bangkit dari tempat tidur dan mendapati bahwa ia adalah seekor laron, maka jadilah laron yang membangun koloni. Jangan  melepaskan mimpi hanya untuk mengejar cahaya lampu kendaraan dan mati konyol karenanya.

Ya, sudah dulu ocehannya. 

20 Juni 2025

Kamis, 19 Juni 2025

Fiksi Mini: Brothers

S.N. Aisyah



Hari itu, di tepian Sungai Siak. Di sanalah kami menemukan Si Jenius Dani, terapung tak bernyawa. Siapa sangka, anak yang selalu dapat diandalkan membuat kegaduhan yang menggemparkan.


"Profesor Beni?" panggil seorang penyidik.


"Inspektur," sahutku seraya mengulurkan tangan, "apa kabar?"


"Anda tahu sesuatu tentang ini?" Setelah menjabat tanganku, Iptu Rais memperlihatkan  sebuah foto dan sebuah buku, Artificial Intelligence dan Moralitas Manusia di Masa Depan.


Aku sedikit terkejut. Lalu, pada Iptu Rais kukatakan, "Ini kami di Bukit Na'ang berpuluh tahun lalu. Ada apa dengan ini?" tanyaku lagi. 


"Foto ini ditemukan pada tas korban dan sebuah catatan pada buku, karangan Anda bukan?" terang Inspektur Rais. Lalu katanya lagi, "Profesor, di mana Anda kemarin, pukul 10 malam hingga pukul 4 pagi ini?"


"Saya di laboratorium Universitas Bertuah," jawabku. "Anda mencurigai saya?"


"Hanya bertanya. Saya harap Anda bersedia dipanggil sewaktu-waktu jika diperlukan," ucapnya padaku. 


"Tentu saja,” balasku padanya.


Tentu saja aku akan memastikan mereka tak 'kan mendapat apa-apa.


Selasa, 17 Juni 2025

Poem: Labirin

Oleh: S. N. Aisyah

Tuhan,
Apa yang telah kami lupakan?

Rasanya sungguh janggal,

Saat saudara-saudara kami
Dilanda derita hebat
Sedang kami masih bernapas
Di dunia yang berkelebat
Hanya singgah sebentar di layar
Melihat hidup mereka yang kelat

Memang,
Tenggorokan kami tercekat,
Mata berlinang, tangan gemetar,
Hati memanas,
dilanda gundah dan amarah
Mengapa nasib mereka
tak kunjung berubah?

Kami pontang-panting 
Usir gusar di dada, cari segala cara
Untuk memanggul barang sedikit 
Beban mereka
Melakukan apa yang kami bisa
'tuk berada di pihaknya
Coba hentikan 
laju rudal sengsara biadab
Yang tak tahu diadab

Tetapi, mengapa kemudian 
Hidup berjalan kembali
Seperti sedia kala?
Seperti tangisan mereka
Tak pernah sampai di daun telinga

Seolah kehidupan membatu,
Bungkam seribu bahasa
Sedang kematian mereka
Tak ditawar dengan sedikit
Saja segala macam perjanjian 
Damai dunia

Rasanya sungguh janggal,

Tangan kami masih saja bergelimang 
Darah dan debu
Dosa-dosa 
hati yang kelabu

Benarkah sudah kami berikan
Usaha terbaik kami, Tuhan?

Apa yang telah kami lewatkan?
Apakah karena sujud kami yang kerap 
Selayang di atas bumi
Tanpa sejenak tuma'ninah ini?

Siapakah yang terselamatkan,
Jiwa-jiwa mereka 
Ataukah 
Jiwa kami yang 
Gersang dan kerontang?


Kota Bertuah, 17 Juni 2025

Sabtu, 14 Juni 2025

Cerpen: Si Anak Sekolah

 Oleh: S. N. Aisyah


Ini terlalu terik. Matahari terlalu garang, seakan ia hendak menantang bumi. Sinarnya menyeruak ke segala permukaan bumi belahan timur,  tepatnya di tempat aku berada saat ini. Bahkan, di kejauhan, fatamorgana mulai terlihat—atau sepertinya hanya bagiku saja?  Udara terasa begitu panas, segala benda yang mengandung air segera menguap. Deru kendaraan bermotor yang lalu-lalang menambah ketidaknyamanan suasana siang ini. Polusi yang dihasilkan oleh mesin-mesin itu seolah ikut mengejek kami yang tengah berbaris dan menikmati siang yang gila.

Di kanan, kiri, dan di belakangku hanya ada orang-orang yang menanti. Tidak ada ubahnya denganku, kami semua menempati bangku-bangku yang ada. Benarlah kiranya bahwa menanti itu tidak menyenangkan. Ah,  Bagiku sendiri, walau menanti itu tidak menyenangkan, aku tetap melakukannya, bahkan dapat menjadi sangat sabar terhadapnya. Apa mereka semua juga begitu? Manusia memang sedikit aneh.

Entah telah berapa banyak kendaraan yang melintas hingga akhirnya seorang anak sekolah bergabung bersama kami—para penanti yang menikmati siang gila.  Sejenak anak sekolah itu mengedarkan pandangannnya,  menyapu kami, lalu air mukanya berubah. Sedetik saja. Tetapi aku dapat menangkapnya, juga menangkap makna dari pandagannya itu.  Detik berikutnya ia melihat ke arahku, seakan hendak mengatakan sesuatu, namun segera ia berpaling dan seolah mengutuki kami semua.

Sinar matahari semakin garang. Dalam benakku, yang berputar-putar pikiran tentang terik, uap, dan pandangan mengutuk itu. Apa yang aku pikirkan? Itu semua tidak penting. Akan tetapi, dia sungguh mengusikku. Apakah tidak apa jika aku tidak mempedulikannya? Ya sepertinya tak apa. Mereka, semua yang ada disini juga tampak tidak mempedulikannya. Tetapi, semakin aku berusaha tidak peduli, mengapa aku semakin terusik? Mengapa seolah dia begitu menarik untuk dipedulikan? Ah, tak apa, aku tidak ingin mengambil risiko. Setelah kupikir-pikir, lebih baik menyingkir.  Jangan sampai terlibat begitu dalam. Baiklah.

Bus yang kami nanti akhirnya datang jua. Agak sedikit lama, tapi tak apalah, bus itu menyelamatkan kami dari terik siang yang tak mau mengampuni. Satu persatu para penanti ini memasuki bus kecil. Tak mau ketinggalan, aku juga segera melangkahkan kaki. Di belakangku, Si Anak Sekolah bergerak turut serta.

Si Anak Sekolah duduk tepat di bangku yang berhadapan denganku. Parasnya indah, matanya hitam, bulat, namun terlihat sendu. Pakaiannya tampak begitu bersih dan rapi. Jilbab yang digunakannya membalut wajahnya yang indah itu, menjulur hingga perbatasan sikunya. Tas yang disandangnya kini diletakkan dengan baik di pangkuannya. Tampak tak ada yang salah dengan dirinya.

Kini kami melaju dibawa oleh bus kecil menyusuri kota kecil yang cukup tua. Kota Bertuah. Seiring dengan lajunya bus, kondektur berjalan memastikan semua penumpang punya tiket. Setelah huru-hara pemeriksaan tiket itu, aku menghabiskan waktu dalam dalam diam, menikmati perjalanan yang entah untuk keberapa kalinya. Gedung-gedung, tiang-tiang, papan iklan dan pepohonan seakan berlari, melaju melewati kami. Setelah sedikit bosan memperhatikan jalan, kuputuskan menarik pandangan ke dalam bus kecil ini. Lalu tertawa kecil dalam hati, menyadari kami semua sudah berganti status dari penanti menjadi penumpang. Dan … para penumpang ini tampak menikmati perjalanannya yang tenang.

Seorang pria tua yang sedang terkulai pada sandaran bangkunya, seorang ibu yang membawa perlengkapan kebersihan, pedagang asongan, seorang pemuda yang membawa dua kantong besar kerupuk, pasangan kakek-nenek yang membawa kantong plastik berisi obat, seorang ibu yang membawa serta dua anak. Lalu … Si Anak Sekolah, kuperhatikan ia lekat-lekat. Air mukanya kini berubah seakan sedih sekali, mata sendunya menjadi lebih sendu. Wajahnya yang indah itu, seolah hendak mengungkapkan segala kekacauan yang dirasakannya. Apa yang terjadi dengannya? Apa ia tenggelam dalam pikirannya? Apa yang sedang ia pikirkan? Kuharap ia baik-baik saja. Ah … tidak, tidak. Aku sudah terlalu berlebihan mempedulikannya.

Aku tidak dapat menahan rasa penasaranku, maka kulirik lagi si anak sekolah, ia tengah mengedarkan pandangannya entah kejalanan atau kepada para penumpang. Kini wajahnya seakan sedang sangat bergembira. Apa hal ini karena ia telah dihibur oleh pemandangan kota tua kami? Entahlah, tak ada yang tahu.

Kini aku tidak lagi khawatir padanya, kudengar memang salah satu pengobat pikiran yang tengah tak karuan adalah diam sejenak, berhenti dari kekalutan, dan memperhatikan lingkungan sekitar. Kurasa cara ini memang ada benarnya karena status manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial maka ia harus melihat kehidupan sosial di sekitarnya. Ya aku memang terlalu berlebihan mempedulikannya.

Perjalanan yang kami tempuh sudah semakin jauh, satu persatu penumpang telah meninggalkan bus. Aku masih belum beranjak, butuh separuh perjalanan lagi sebelum tiba di halte tujuanku. Aku hanya duduk dengan tenang saat ini. Tak sengaja aku melihat raut Si Anak Sekolah telah berubah lagi, kini ia seakan menghadapi sebuah tantangan, wajahnya sedikit tegang, namun tersirat penuh semangat. Ini mengibaratkan ia hendak menerkam musuh yang sudah didepan mata. Diam-diam kutatap matanya, sangat tajam, sangat berani. Tapi, pada detik kutatap matanya, detik itu pula ia balas menatapku. Aku sedikit kaget dan menjadi salah tingkah, kualihkan pandanganku sesegera mungkin. Namun, dapat kurasakan pandangannya yang menakutkan itu mengikutiku. Menyapu setiap inciku dari kepala hingga kaki. Aku hanya menunduk memandangi lantai bus. Aku mulai tidak tenang, kini ia yang tampak terusik.

Matanya kini mengitar sekitar, ekspresinya tidak berubah. Ia berpaling lagi ke arahku, bibirnya bergerak seakan hendak mengatakan sesuatu. Tidak. Ia sedang menggumamkan sesuatu sekarang. Benar-benar sedang menggumam. Lalu matanya kembali mengitari jalanan dengan pandangan yang tak ada ubahnya. Tangannya merogoh tas yang tengah dipangkunya. Kemudian, ia berpaling ke arah kondektur bus.

“Ada yang turun di pasar pagi?” Kondektur bus berkata lantang.

“Pasar pagi, Kak.” Si Anak Sekolah menjawab tenang. Tangannya masih di dalam saku tasnya. Ia menarik keluar seutas kabel dari jilbabnya. Earphone? Pikirku. 

Bus berhenti sempurna di halte Pasar Pagi Arengka. Segera ia bangkit dan meninggalkan bangkunya. Meninggalkan aku yang terlalu bodoh ini.

 

Kota Bertuah, 2014—2025


Bagian Satu: Pemakaman

 Oleh: S. N. Aisyah Apa yang dibawa oleh kematian? Apa yang dibawa oleh perpisahan jasad dan jiwa manusia? Apakah perpisahan i...