Jumat, 20 Juni 2025
Thought: Laron-Laron
Kamis, 19 Juni 2025
Fiksi Mini: Brothers
S.N. Aisyah
Hari itu, di tepian Sungai Siak. Di sanalah kami menemukan Si Jenius Dani, terapung tak bernyawa. Siapa sangka, anak yang selalu dapat diandalkan membuat kegaduhan yang menggemparkan.
"Profesor Beni?" panggil seorang penyidik.
"Inspektur," sahutku seraya mengulurkan tangan, "apa kabar?"
"Anda tahu sesuatu tentang ini?" Setelah menjabat tanganku, Iptu Rais memperlihatkan sebuah foto dan sebuah buku, Artificial Intelligence dan Moralitas Manusia di Masa Depan.
Aku sedikit terkejut. Lalu, pada Iptu Rais kukatakan, "Ini kami di Bukit Na'ang berpuluh tahun lalu. Ada apa dengan ini?" tanyaku lagi.
"Foto ini ditemukan pada tas korban dan sebuah catatan pada buku, karangan Anda bukan?" terang Inspektur Rais. Lalu katanya lagi, "Profesor, di mana Anda kemarin, pukul 10 malam hingga pukul 4 pagi ini?"
"Saya di laboratorium Universitas Bertuah," jawabku. "Anda mencurigai saya?"
"Hanya bertanya. Saya harap Anda bersedia dipanggil sewaktu-waktu jika diperlukan," ucapnya padaku.
"Tentu saja,” balasku padanya.
Tentu saja aku akan memastikan mereka tak 'kan mendapat apa-apa.
Selasa, 17 Juni 2025
Poem: Labirin
Sabtu, 14 Juni 2025
Cerpen: Si Anak Sekolah
Oleh: S. N. Aisyah
Ini terlalu terik. Matahari terlalu garang, seakan ia hendak
menantang bumi. Sinarnya menyeruak ke segala
permukaan bumi belahan timur, tepatnya
di tempat aku berada saat ini. Bahkan, di kejauhan,
fatamorgana mulai terlihat—atau sepertinya hanya bagiku saja? Udara terasa begitu panas, segala benda yang
mengandung air segera menguap. Deru kendaraan bermotor yang lalu-lalang
menambah ketidaknyamanan suasana siang ini. Polusi yang dihasilkan oleh
mesin-mesin itu seolah ikut mengejek kami yang tengah berbaris dan menikmati
siang yang gila.
Di kanan, kiri,
dan di belakangku hanya ada orang-orang yang menanti. Tidak ada ubahnya
denganku, kami semua menempati bangku-bangku yang ada. Benarlah kiranya bahwa menanti
itu tidak menyenangkan. Ah, Bagiku
sendiri, walau menanti itu tidak menyenangkan, aku tetap melakukannya, bahkan
dapat menjadi sangat sabar terhadapnya. Apa mereka semua juga begitu? Manusia
memang sedikit aneh.
Entah telah berapa banyak kendaraan yang melintas hingga akhirnya seorang
anak sekolah bergabung bersama kami—para penanti yang menikmati siang gila. Sejenak anak sekolah itu mengedarkan
pandangannnya, menyapu kami, lalu air
mukanya berubah. Sedetik saja. Tetapi aku dapat menangkapnya, juga menangkap
makna dari pandagannya itu. Detik
berikutnya ia melihat ke arahku, seakan hendak mengatakan sesuatu, namun segera
ia berpaling dan seolah mengutuki kami semua.
Sinar matahari semakin garang. Dalam benakku, yang berputar-putar
pikiran tentang terik, uap, dan pandangan mengutuk itu. Apa yang aku pikirkan? Itu
semua tidak penting. Akan tetapi, dia sungguh mengusikku. Apakah tidak apa jika
aku tidak mempedulikannya? Ya sepertinya tak apa. Mereka, semua yang ada disini
juga tampak tidak mempedulikannya. Tetapi, semakin aku berusaha tidak peduli,
mengapa aku semakin terusik? Mengapa seolah dia begitu menarik untuk
dipedulikan? Ah, tak apa, aku tidak ingin mengambil risiko. Setelah
kupikir-pikir, lebih baik menyingkir. Jangan
sampai terlibat begitu dalam. Baiklah.
Bus yang kami nanti akhirnya datang jua. Agak sedikit lama, tapi
tak apalah, bus itu menyelamatkan kami dari terik siang yang tak mau
mengampuni. Satu persatu para penanti ini memasuki bus kecil. Tak mau
ketinggalan, aku juga segera melangkahkan kaki. Di belakangku, Si Anak Sekolah
bergerak turut serta.
Si Anak Sekolah duduk tepat di bangku yang berhadapan denganku.
Parasnya indah, matanya hitam, bulat, namun terlihat sendu. Pakaiannya tampak
begitu bersih dan rapi. Jilbab yang digunakannya membalut wajahnya yang indah
itu, menjulur hingga perbatasan sikunya. Tas yang disandangnya kini diletakkan
dengan baik di pangkuannya. Tampak tak ada yang salah dengan dirinya.
Kini kami melaju dibawa oleh bus kecil menyusuri kota kecil yang
cukup tua. Kota Bertuah. Seiring dengan lajunya bus, kondektur berjalan memastikan
semua penumpang punya tiket. Setelah huru-hara pemeriksaan tiket itu, aku
menghabiskan waktu dalam dalam diam, menikmati perjalanan yang entah untuk keberapa
kalinya. Gedung-gedung, tiang-tiang, papan iklan dan pepohonan seakan berlari,
melaju melewati kami. Setelah sedikit bosan memperhatikan jalan, kuputuskan
menarik pandangan ke dalam bus kecil ini. Lalu tertawa kecil dalam hati,
menyadari kami semua sudah berganti status dari penanti menjadi penumpang. Dan …
para penumpang ini tampak menikmati perjalanannya yang tenang.
Seorang pria tua yang sedang terkulai pada sandaran bangkunya,
seorang ibu yang membawa perlengkapan kebersihan, pedagang asongan, seorang
pemuda yang membawa dua kantong besar kerupuk, pasangan kakek-nenek yang
membawa kantong plastik berisi obat, seorang ibu yang membawa serta dua anak. Lalu
… Si Anak Sekolah, kuperhatikan ia lekat-lekat. Air mukanya kini berubah seakan
sedih sekali, mata sendunya menjadi lebih sendu. Wajahnya yang indah itu,
seolah hendak mengungkapkan segala kekacauan yang dirasakannya. Apa yang
terjadi dengannya? Apa ia tenggelam dalam pikirannya? Apa yang sedang ia pikirkan?
Kuharap ia baik-baik saja. Ah … tidak, tidak. Aku sudah terlalu berlebihan
mempedulikannya.
Aku tidak dapat menahan rasa penasaranku, maka kulirik lagi si anak
sekolah, ia tengah mengedarkan pandangannya entah kejalanan atau kepada para
penumpang. Kini wajahnya seakan sedang sangat bergembira. Apa hal ini karena ia
telah dihibur oleh pemandangan kota tua kami? Entahlah, tak ada yang tahu.
Kini aku tidak lagi khawatir padanya, kudengar memang salah satu
pengobat pikiran yang tengah tak karuan adalah diam sejenak, berhenti dari
kekalutan, dan memperhatikan lingkungan sekitar. Kurasa cara ini memang ada
benarnya karena status manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial maka ia harus
melihat kehidupan sosial di sekitarnya. Ya aku memang terlalu berlebihan
mempedulikannya.
Perjalanan yang kami tempuh sudah semakin jauh, satu persatu
penumpang telah meninggalkan bus. Aku masih belum beranjak, butuh separuh
perjalanan lagi sebelum tiba di halte tujuanku. Aku hanya duduk dengan tenang
saat ini. Tak sengaja aku melihat raut Si Anak Sekolah telah berubah lagi, kini
ia seakan menghadapi sebuah tantangan, wajahnya sedikit tegang, namun tersirat
penuh semangat. Ini mengibaratkan ia hendak menerkam musuh yang sudah didepan
mata. Diam-diam kutatap matanya, sangat tajam, sangat berani. Tapi, pada detik
kutatap matanya, detik itu pula ia balas menatapku. Aku sedikit kaget dan
menjadi salah tingkah, kualihkan pandanganku sesegera mungkin. Namun, dapat
kurasakan pandangannya yang menakutkan itu mengikutiku. Menyapu setiap inciku
dari kepala hingga kaki. Aku hanya menunduk memandangi lantai bus.
Aku mulai tidak tenang, kini ia yang tampak terusik.
Matanya kini mengitar sekitar, ekspresinya tidak berubah. Ia berpaling
lagi ke arahku, bibirnya bergerak seakan hendak mengatakan sesuatu. Tidak. Ia
sedang menggumamkan sesuatu sekarang. Benar-benar sedang menggumam. Lalu
matanya kembali mengitari jalanan dengan pandangan yang tak ada ubahnya.
Tangannya merogoh tas yang tengah dipangkunya. Kemudian, ia berpaling ke arah
kondektur bus.
“Ada yang turun di pasar pagi?” Kondektur bus berkata lantang.
“Pasar pagi, Kak.” Si Anak Sekolah menjawab tenang. Tangannya masih
di dalam saku tasnya. Ia menarik keluar seutas kabel dari jilbabnya. Earphone? Pikirku.
Bus berhenti sempurna di halte Pasar Pagi Arengka. Segera ia
bangkit dan meninggalkan bangkunya. Meninggalkan aku yang terlalu bodoh ini.
Kota
Bertuah, 2014—2025
Bagian Satu: Pemakaman
Oleh: S. N. Aisyah Apa yang dibawa oleh kematian? Apa yang dibawa oleh perpisahan jasad dan jiwa manusia? Apakah perpisahan i...
-
Oleh: S. N. Aisyah Kau tahu seberapa bodoh manusia? Ia hanya akan mendengar apa yang ingin ia dengar. Ia hanya akan melihat apa ...
-
Oleh: S. N. Aisyah Ia berdiam diri di hadapan sebuah monitor. Beberapa menit larut dalam hening, kemudian ia berjalan menuju dap...
-
Salah satu puisi saya. Mampir ke akun-akun saya buat baca karya lainnya, Yuk. Suatu ketika pertanyaan ini muncul dalam forum obrolan komunit...