Sabtu, 14 Juni 2025

Cerpen: Si Anak Sekolah

 Oleh: S. N. Aisyah


Ini terlalu terik. Matahari terlalu garang, seakan ia hendak menantang bumi. Sinarnya menyeruak ke segala permukaan bumi belahan timur,  tepatnya di tempat aku berada saat ini. Bahkan, di kejauhan, fatamorgana mulai terlihat—atau sepertinya hanya bagiku saja?  Udara terasa begitu panas, segala benda yang mengandung air segera menguap. Deru kendaraan bermotor yang lalu-lalang menambah ketidaknyamanan suasana siang ini. Polusi yang dihasilkan oleh mesin-mesin itu seolah ikut mengejek kami yang tengah berbaris dan menikmati siang yang gila.

Di kanan, kiri, dan di belakangku hanya ada orang-orang yang menanti. Tidak ada ubahnya denganku, kami semua menempati bangku-bangku yang ada. Benarlah kiranya bahwa menanti itu tidak menyenangkan. Ah,  Bagiku sendiri, walau menanti itu tidak menyenangkan, aku tetap melakukannya, bahkan dapat menjadi sangat sabar terhadapnya. Apa mereka semua juga begitu? Manusia memang sedikit aneh.

Entah telah berapa banyak kendaraan yang melintas hingga akhirnya seorang anak sekolah bergabung bersama kami—para penanti yang menikmati siang gila.  Sejenak anak sekolah itu mengedarkan pandangannnya,  menyapu kami, lalu air mukanya berubah. Sedetik saja. Tetapi aku dapat menangkapnya, juga menangkap makna dari pandagannya itu.  Detik berikutnya ia melihat ke arahku, seakan hendak mengatakan sesuatu, namun segera ia berpaling dan seolah mengutuki kami semua.

Sinar matahari semakin garang. Dalam benakku, yang berputar-putar pikiran tentang terik, uap, dan pandangan mengutuk itu. Apa yang aku pikirkan? Itu semua tidak penting. Akan tetapi, dia sungguh mengusikku. Apakah tidak apa jika aku tidak mempedulikannya? Ya sepertinya tak apa. Mereka, semua yang ada disini juga tampak tidak mempedulikannya. Tetapi, semakin aku berusaha tidak peduli, mengapa aku semakin terusik? Mengapa seolah dia begitu menarik untuk dipedulikan? Ah, tak apa, aku tidak ingin mengambil risiko. Setelah kupikir-pikir, lebih baik menyingkir.  Jangan sampai terlibat begitu dalam. Baiklah.

Bus yang kami nanti akhirnya datang jua. Agak sedikit lama, tapi tak apalah, bus itu menyelamatkan kami dari terik siang yang tak mau mengampuni. Satu persatu para penanti ini memasuki bus kecil. Tak mau ketinggalan, aku juga segera melangkahkan kaki. Di belakangku, Si Anak Sekolah bergerak turut serta.

Si Anak Sekolah duduk tepat di bangku yang berhadapan denganku. Parasnya indah, matanya hitam, bulat, namun terlihat sendu. Pakaiannya tampak begitu bersih dan rapi. Jilbab yang digunakannya membalut wajahnya yang indah itu, menjulur hingga perbatasan sikunya. Tas yang disandangnya kini diletakkan dengan baik di pangkuannya. Tampak tak ada yang salah dengan dirinya.

Kini kami melaju dibawa oleh bus kecil menyusuri kota kecil yang cukup tua. Kota Bertuah. Seiring dengan lajunya bus, kondektur berjalan memastikan semua penumpang punya tiket. Setelah huru-hara pemeriksaan tiket itu, aku menghabiskan waktu dalam dalam diam, menikmati perjalanan yang entah untuk keberapa kalinya. Gedung-gedung, tiang-tiang, papan iklan dan pepohonan seakan berlari, melaju melewati kami. Setelah sedikit bosan memperhatikan jalan, kuputuskan menarik pandangan ke dalam bus kecil ini. Lalu tertawa kecil dalam hati, menyadari kami semua sudah berganti status dari penanti menjadi penumpang. Dan … para penumpang ini tampak menikmati perjalanannya yang tenang.

Seorang pria tua yang sedang terkulai pada sandaran bangkunya, seorang ibu yang membawa perlengkapan kebersihan, pedagang asongan, seorang pemuda yang membawa dua kantong besar kerupuk, pasangan kakek-nenek yang membawa kantong plastik berisi obat, seorang ibu yang membawa serta dua anak. Lalu … Si Anak Sekolah, kuperhatikan ia lekat-lekat. Air mukanya kini berubah seakan sedih sekali, mata sendunya menjadi lebih sendu. Wajahnya yang indah itu, seolah hendak mengungkapkan segala kekacauan yang dirasakannya. Apa yang terjadi dengannya? Apa ia tenggelam dalam pikirannya? Apa yang sedang ia pikirkan? Kuharap ia baik-baik saja. Ah … tidak, tidak. Aku sudah terlalu berlebihan mempedulikannya.

Aku tidak dapat menahan rasa penasaranku, maka kulirik lagi si anak sekolah, ia tengah mengedarkan pandangannya entah kejalanan atau kepada para penumpang. Kini wajahnya seakan sedang sangat bergembira. Apa hal ini karena ia telah dihibur oleh pemandangan kota tua kami? Entahlah, tak ada yang tahu.

Kini aku tidak lagi khawatir padanya, kudengar memang salah satu pengobat pikiran yang tengah tak karuan adalah diam sejenak, berhenti dari kekalutan, dan memperhatikan lingkungan sekitar. Kurasa cara ini memang ada benarnya karena status manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial maka ia harus melihat kehidupan sosial di sekitarnya. Ya aku memang terlalu berlebihan mempedulikannya.

Perjalanan yang kami tempuh sudah semakin jauh, satu persatu penumpang telah meninggalkan bus. Aku masih belum beranjak, butuh separuh perjalanan lagi sebelum tiba di halte tujuanku. Aku hanya duduk dengan tenang saat ini. Tak sengaja aku melihat raut Si Anak Sekolah telah berubah lagi, kini ia seakan menghadapi sebuah tantangan, wajahnya sedikit tegang, namun tersirat penuh semangat. Ini mengibaratkan ia hendak menerkam musuh yang sudah didepan mata. Diam-diam kutatap matanya, sangat tajam, sangat berani. Tapi, pada detik kutatap matanya, detik itu pula ia balas menatapku. Aku sedikit kaget dan menjadi salah tingkah, kualihkan pandanganku sesegera mungkin. Namun, dapat kurasakan pandangannya yang menakutkan itu mengikutiku. Menyapu setiap inciku dari kepala hingga kaki. Aku hanya menunduk memandangi lantai bus. Aku mulai tidak tenang, kini ia yang tampak terusik.

Matanya kini mengitar sekitar, ekspresinya tidak berubah. Ia berpaling lagi ke arahku, bibirnya bergerak seakan hendak mengatakan sesuatu. Tidak. Ia sedang menggumamkan sesuatu sekarang. Benar-benar sedang menggumam. Lalu matanya kembali mengitari jalanan dengan pandangan yang tak ada ubahnya. Tangannya merogoh tas yang tengah dipangkunya. Kemudian, ia berpaling ke arah kondektur bus.

“Ada yang turun di pasar pagi?” Kondektur bus berkata lantang.

“Pasar pagi, Kak.” Si Anak Sekolah menjawab tenang. Tangannya masih di dalam saku tasnya. Ia menarik keluar seutas kabel dari jilbabnya. Earphone? Pikirku. 

Bus berhenti sempurna di halte Pasar Pagi Arengka. Segera ia bangkit dan meninggalkan bangkunya. Meninggalkan aku yang terlalu bodoh ini.

 

Kota Bertuah, 2014—2025


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...