Sabtu, 31 Mei 2025

Cerpen: Lelaki Kunang-Kunang

Oleh: S. N. Aisyah


Kami tidak tahu asal-usulnya. Lelaki itu muncul begitu saja. Ia seperti lahir dari gulungan angin kelabu di bulan Februari. Rambutnya masai. Tumbuh menjulur hingga menutupi tengkuknya. Menggantung tepat di atas pundak. Garis matanya yang tajam kini cekung, tampak mati. Wajahnya dibingkai cambang dan janggut yang tidak terawat. Leher bajunya melar dengan tidak wajar, memperlihatkan tulang selangka yang menonjol dan bidang dada yang amat ringkih. Mempertegas betapa rangka itu jarang diberi makan.

 

Masih kuingat kedatangannya di sore nan amat mendung itu. Angin menderu kencang, memburu helaian sampah, dedaunan, dan debu yang dibuat terbang tunggang-langgang. Di tengah riuh itu, ia muncul dari balik tikungan jalan berpagar pohon kapas yang sudah lama ranggas. Rambut putihnya riap-riap, ditiup angin. Ia terburu-buru mendatangi kedai kopi yang tengah kami singgahi. Sedikit mengangguk, ia duduk di sisi paling ujung bangku panjang. Tas besar yang sedari tadi dipikul, ia taruh di bawah meja. Tepat di sisi kakinya.
 

Sejak hari itu, ia tinggal di desa kami. Kira-kira sudah dua bulan berlalu semenjak kedatangannya. Selama itu pulalah ia tidak pernah terlihat memiliki kerabat atau rumah di sini. Saban malam, ia tinggal di pos ronda yang sudah tak berfungsi lagi. Atau mungkin tempat lainnya? Menolak tawaran ketua RW untuk menempati salah satu kamar kosong di rumah beliau. Juga menolak tawaran dari ketua RT. Agaknya ia tidak pula bersusah-payah menemukan tempat tinggal.
 

Tak ada yang tahu siapa ia dan apa yang dilakukannya. Siang-malam ia mondar-mandir, berkeliling. Mulai dari utara perbatasan desa lalu terus menuju bagian selatan. Beberapa warga mengatakan lelaki itu pernah bermalam di makam. Entah benar, entah tidak, aku sangsi. Namun, tak pula aku punya alasan lain untuk membantah rumor ini.
 

Suatu hari, setelah pulang dari balai desa, kuputuskan untuk melintasi padang ilalang guna memperpendek jarak pulang. Padang ilalang ini luas, di tengah-tengahnya ada satu bangunan terbengkalai milik desa yang dibuat entah untuk apa. Aku yang berjalan gontai, melihat lelaki itu berdiri di sana. Saat jarak antara kami semakin dekat, kudapati bahwa pandangan matanya kosong menerawang.
 

”Sedang apa, Pak?” Kuberanikan diri untuk menyapanya.
 

”Mau mampir ke sungai,” begitu jawabnya singkat. Aku hanya bisa menahan rasa heran untuk diri sendiri. Kalau begitu apa yang ia lakukan di sini? Mengapa ia mencari sungai? Apakah mungkin ia hendak mandi?
 

“Oh, jalan ini, nanti lurus saja, Pak.” Kutunjuk jalan di sisi padang yang dibelakanginya. Ia mengangguk, mengucapkan terima kasih. Aku pamit. Rasa penasaran membuatku kembali menoleh ke belakang. Lelaki itu masih saja berdiam diri. Apa gerangan yang ia lamunkan? Kutinggalkan ia. Sambil berjalan, lama aku membatin tentangnya. Siapa ia sebenarnya? Adakah ia memiliki tujuan hidup? Di manakah rumahnya? Siapakah kerabatnya gerangan? Mengapa pula tiba-tiba ia datang ke desa kami? Rasa frustrasi membuatku memutuskan untuk mengambil kesempatan bercakap-cakap dengannya.
 

Aku berbalik arah, mendekati lelaki yang masih saja terlihat mematung itu. Belum lagi pijakanku sempurna di sampingnya, tiba-tiba saja ia berkata, ”Kunang-kunang ....”
 

Aku tidak tahu apakah ia berbicara padaku atau pada dirinya. Kuputuskan tetap hening, takut kalau saja aku merusak lamunannya.
 

”Apa kau masih melihat kunang-kunang?” Ia kembali bersuara. Kali ini dengan membalikkan badan dan menoleh padaku.
 

”Kunang-Kunang? Sa—saya tidak pernah lagi melihatnya, Pak.” Sedikit terbata aku menjawabnya. Apakah ia dapat melihat kedatanganku?
 

”Aku pun mengira begitu. Sudah dua bulan ini tak satu pun kulihat keberadaannya.” Ia berkata pelan sedikit melamun juga.
 

”Apa Bapak mencari kunang-kunang?” Aku menanyakannya karena kupikir mungkin saja begitu.
 

Ia sedikit tertawa. Ini pertama kalinya kulihat ia tertawa. ”Anggap sajalah begitu,” ujarnya.
 

”Kenapa, Pak?” Aku sebenarnya tidak tahu apa yang hendak kutanyakan. Begitu banyak pertanyaan yang harus ditanyakan, bukan?
 

”Mengapa apa? Mengapa kita menanggapnya begitu atau mengapa aku mencari kunang-kunang?”
 

Aku sedikit bingung. Kukira ... “Dua-duanya, Pak.”
 

”Maukah kau tunjukkan sungainya padaku?” Ia memintaku dengan tindak tersantun yang pernah kulihat. Dengan senang hati pula aku memandunya. Kami melewati padang ilalang, satu-dua toko-toko kecil dan kedai sederhana. Lebih jauh lagi, kami melewati perumahan. Jeda sejenak, rerumputan dan belukar memagari jalan. Beberapa meter selanjutnya, perkebunan sawit membentang.
 

”Kau tahu? Dulu, sudah lama sekali, aku, abah, dan umakku tinggal di sini.” Lelaki itu membuka obrolan.
 

Katanya lagi, ”Kami hidup dari ladang.”
 

Jeda sejenak, lelaki itu melanjutkan, ”Ini, tanah ini dulu tempat abah dan umakku biasa menanam dan memanen.”
 

Jujur saja, pembukaan obrolan baru ini membuatku sedikit terkejut dan sedikit malu pula. Ia mengingat tempat ini dan tidak sedikit pun menegurku yang sok tahu hendak mengarahkannya tadi. Dengan rendah hati pula ia mengundangku berjalan bersama. Aku hanya menelan rasa maluku seraya mengikuti arah pandangannya. Detik berikutnya kulihat ke dalam matanya. Iris mata itu pastilah dulu berwarna hitam-legam. Kini, warna hitamnya sudah berbayang abu-abu dan sedikit melebar di satu sisi menyebabkan iris matanya tak lagi terlihat bulat sempurna.
 

Jumat, 30 Mei 2025

Thought: Racauan yang Tak Selesai dalam Sepekan

Dini hari saat tulisan ini mulai ditulis adalah saat saya tengah berusaha untuk menulis tetapi tak dapat menghasilkan apapun selain rasa frustrasi. Rasanya kepala saya yang kopong, amat kosong. Seakan otak saya terbakar hingga jadi abu yang kemudian melayang, tinggalkan tempurung kepala. Saya tak dapat memanggil ingatan apapun  yang dapat saya tuliskan dengan benar. 

Sudah pasti ini sebab saya amat kurang membaca, 'kan? Maka apa yang harus saya tuliskan kali ini?

Oh, lebih baik menulis tentang film yang saya tonton saja. A Good Girl's Guide to Murder. Sebuah serial pendek yang menarik. Saya suka cara film ini menggaris-bawahi bahwa manusia tidak melulu hitam putih. Sisi gelap-terang  manusia dikemas dengan apik dalam serial pendek ini. Perpecahan jiwa  pada tokoh-tokoh serial ini dilatari dengan alasan yang  masuk akal. Rahasia gelap tokoh -tokoh  terbongkar oleh Pip,  si protagonis yang cerdas namun naif. Mengingatkan saya pada serial lainnya Adolescences, yang  memiliki tema dan nuansa yang sama dengan titik fokus isu yang sedikit berbeda. 

Ngomong-ngomong tentang film, bukankah  penjiwaan dari tokoh itu sangat berpengaruh besar dalam alur cerita misteri?  Menariknya, kita dapat menebak atau minimal memiliki firasat yang kuat tentang tersangka dalam film misteri kriminal bahkan pada saat pertama kali tokohnya muncul. Bukankah itu hasil dari manifestasi kedalaman penjiwaan tokoh?  Maksud saya, dalam dunia nyata, orang yang melakukan tindakan tertentu, sedikit banyaknya membawa bekas tindakannya itu pada dirinya. Misalnya saja, tak peduli bagaimana cara seseorang menutupi fakta bahwa ia kurang tidur, namun, tanda-tandanya tak dapat dielak. 

Seperti itu jugalah pendalaman kejiwaan karakter yang diperankan oleh aktor. Jika ia sangat mendalami kondisi psikologis dari karakter yang ia perankan, bukan tidak mungkin kita dapat menangkap sinyal dari watak karakter tersebut sebagaimana kita mendapatkan firasat dari orang-orang di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari.

Tentu saja bicara tentang film misteri tak hanya tentang pendalaman kejiwaan tokoh saja. Alur, penulisan naskah, kompleksitas permasalahan, pola dan logika cerita, kesegaran ide, perspektif kamera, atau simply keinginan sutradara untuk menampilkan image tertentu juga  berperan besar dalam film genre ini. 

Ya, benar, masih banyak hal lainnya yang saya tak sadari dan tak ketahui tentang perfilman. Lalu bagaimanakah film misteri yang baik itu? Apakah Anda juga berpikir bahwa film misteri yang baik adalah yang tak dapat terpecahkan sampai ia dipecahkan? Atau ia juga tak melulu tentang  seberapa misteriusnya misteri itu? Oke, saya akan berhenti meracau dulu. Entahlah, entahlah. 


29 Mei 2025
19. 57 WIB

Kamis, 29 Mei 2025

Fiksi Mini: Buron!

Oleh: S. N. Aisyah


Sudah enam pekan lamanya sejak wanita muda itu diselamatkan. Saban hari ia berkurung diri dalam kamar. Merajuk. Minta diizinkan pergi menjenguk tahanan kota yang dulu kerap jadi buron.
”Keluarlah, Nak. Apa yang kau inginkan dari menjenguk orang tak beradab, yang tahunya merampas orang dengan menyandera?” Begitulah Sang Ibu  membujuknya.

”Ibu tak tahu. Tak pernah tahu. Dia baik, Bu. Tak pernah ia menyakitiku. Toh, uang tebusan itu tak pernah jua ia terima.” Wanita muda itu enggan memenuhi permintaan orang tuanya.

Agaknya dua pekan dalam sanderaan memengaruhi kewarasannya. Begitulah pikir orangtuanya, lalu kata Sang Ibu lagi,”Hanya sebab kami menemukanmu. Jika tidak, tentu uang itu dilibasnya.”

”Tidak. Bukan begitu. Dia hanya butuh kawan. Biarkan aku menjenguknya. Kasihan dia,” suara putri kesayangannya bergetar.

”Apa kau sudah dijampi?” berang dan putus asa melanda Sang Ibu.
”Apa yang salah dari mengunjungi orang yang tak punya siapa-siapa lagi di muka bumi? Bukankah  ibu yang mengajarkanku untuk peduli pada orang lain?” Begitulah kukuhnya pendirian wanita itu.

”Baik, pergilah. Setelah itu berhentilah bertingkah.” Mungkin saja sebab tak tahan akan keadaan anaknya, ibu mengalah.

Dua hari kemudian, wanita muda itu menemui tahanan. Juga hari-hari selanjutnya. Hingga, di hari ke-20 kunjungannya, anak semata wayang itu tak pernah pulang. Tiga hari  telah berlalu sejak  laporan orang hilang diajukan. Dalam perjalanan mencari anak,  Sang Ibu singgah sebentar di sebuah warung. Mendadak jantungnya seakan jatuh ke dasar perut, TV di warung itu melantangkan sebuah berita. Si Tahanan Kota  kabur … bersama putrinya.


Kota Bertuah, 22  Mei 2025


Sabtu, 24 Mei 2025

Cerpen: Si Man

Oleh: S. N. Aisyah


Si Man duduk mencangkung di tepian anak sungai. Sesekali ia menghela napas lesu, mengusap kepala dengan kasar. Rambutnya masai, hidungnya memerah, matanya juga merah dan agak sembap. Agaknya lama sudah ia menangis. Ia merangkul erat lututnya. Berayun-ayun ke muka dan belakang dalam duduknya yang janggal.

 

Tatapan heran dan menghakimi dari orang-orang di jalanan tak lagi ia pedulikan. Toh, ia sudah banyak menelan tatapan serupa seumur hidupnya. Terlebih pagi tadi, ia tak hanya dihakimi tapi juga direndahkan sedemikian rupa.

 

Ah, persetan dengan mereka semua. Begitulah pikir Si Man, mencoba untuk tidak peduli. Namun, lambat-laun, semakin ia mencoba melupakan nasib hidupnya, semakin jelas ia dihantui. Terlebih, kembali terngiang perkataan yang acap dilontarkan Emak kepadanya.

 

”Sedang apa kau?” tiba-tiba saja Si Man dapat kembali mendengar suara menggelegar Emak mengepung telinganya. Seketika, ia seolah merasakan kembali hantaman keras di belakang kepalanya. Ingatan itu sontak membuat ponsel yang Si Man genggam meluncur jatuh ke sungai sedangkan Si Man tersentak, duduk terkulai.

 

“Sehari-hari kerjamu hanya duduk bermain ponsel, saja? Apa kau tidak ingin bekerja? Bagaimana mungkin kau berharap orang akan menghidupimu seumur hidup?” begitulah Emak kerap meneriakinya.

 

Baru saja tiga hari lalu Si Man merasa gembira dan bersemangat. Sebab, sebuah surel menyampaikan kabar baik padanya. Ia mendapatkan undangan wawancara kerja. Bukankah dunia akan menjadi lebih baik padanya? Setelah menerima surat itu, esoknya, pagi-pagi sekali Si Man sudah bersiap diri. Pukul empat subuh tadi, ia telah merapal-rapal jawaban apa kira-kira yang akan ia berikan saat wawancara. Sedang Emak, telah menyalakan kompor, sibuk memasak makanan terbaik untuk menyemangatinya. Tidak ada lagi prihatin dan wajah ketat Emak.

 

Ini bukanlah pekerjaan pertama Si Man. Sebelumnya ia telah menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta selama delapan tahun. Pandemik lalu, namanya nangkring dalam daftar PHK, ia kehilangan pekerjaan. Entah apa kriterianya hingga Si Man masuk dalam lis itu. Tak seorang pun dapat memberikan alasan yang baik.

 

Apakah sebabnya Si Man yang pemalas dan tidak berbakat? Tidak, bukan demikian. Si Man seorang yang tekun dan lurus. Baginya, kacamata kehidupan adalah hitam-putih. Kompas hidup, baik-buruk. Timbangan hidup, benar-salah.

 

Perkara pekerjaan, segala macam bentuk keterlambatan dan ketidakbecusan adalah haram baginya. Ia selalu mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Tak jarang Si Man mengambil lembur dan mengerjakan tugas yang bukan tupoksinya. Loyalitas bodoh dan royalitas tak masuk akalnya itu, membuat Si Man malam-malam harus mencari angkot untuk pulang ke rumah. Tidak ada tumpangan lain dari rekan ataupun basa-basi perusahaan, sebab ia selalu menjadi itik terakhir yang pulang kandang.

 

Semua itu Si Man lakukan dengan iming-iming tim, saling bantu sebagai rekan kerja. Meski kerja sama tim itu hanya bertepuk sebelah tangan bagi Si Man. Satu kekurangan Si Man, kita katakanlah saja ia sedikit kaku dan memiliki wajah dan penampilan yang tidak menarik untuk dipandang mata. Setidaknya itulah kekurangan Si Man bagi dunia. Bukanlah langka jika Si Man dituduh dan dicurigai atas hal buruk yang tak pernah dilakukannya. Hanya sebab penampilannya.

 

Masih jelas sekali di ingatan Si Man, hari ia diputuskan hubungan kerja. Ia dipanggil ke kantor Si Bos. Mendengar panggilan itu, ia menahan dentum jantung yang tak karuan. Sebab, kabar PHK sudah hinggap di daun telinga para karyawan sepekan sebelum panggilan itu tiba. Pelan-pelan, Si Man mengetuk pintu bosnya. Dengan gerakan canggung, ia menanggukan kepala, kemudian duduk, setelah diberi isyarat oleh Si Bos.

 

Mungkin sepuluh menit atau lebih lama lagi, Si Man menunggu bosnya selesai berkelakar di telepon. Meski ia diminta segera datang, bagi bos tidak patut jika kedatangannya menyela kegiatan bos. Tidak peduli kegiatan apa pun itu. Apalagi jika bos sedang di saluran telepon, tidak patut anak buah menyela atau bahkan memberikan lirikan. Konon, telepon bos di jam kerja adalah telepon penting. Ya, benar. Telepon bos. Jika anak buah yang memegang ponsel saat bekerja, artinya mereka lalai dan bermain-main. Begitulah pemahaman yang Si Man dapatkan setelah lama menjadi bawahan.

 

Kelakar terakhir menjadi penutup janji temu si bos di area golf. Setelahnya telepon diputus. Kemudian, Si Bos melihat pada Si Man, seketika keningnya berkerut, alisnya menyeringit. “Perlu apa ke sini?” begitulah tanya si Bos.

 

“Maaf, Pak. HRD tadi minta saya ke sini segera menemui Bapak, ada hal yang harus dibicarakan katanya, Pak.”

 

“Oh, kau Si Mon?”

“Si Man, Pak.”

Si Bos tampak tak begitu mengacuhkan nama yang diucapkan Si Man. Ia hanya mengangguk dengan cengiran yang menyebalkan, kemudian menyatukan jari-jarinya dengan siku menunpu pada permukaan meja. Lalu ia berkata.

 

Kamis, 22 Mei 2025

Fiksi Mini: Tangkap Penipunya!

Oleh: S. N. Aisyah

Di  suatu malam, aku dan kawanku terlibat sebuah perdebatan yang membawa kami pada suatu kesimpulan. Bahwa, kebanyakan manusia itu seorang penipu. Tetapi, sifat penipu itu tidak lahir begitu saja. 

Coba saja kau bayangkan, bagaimana mungkin sesuatu lahir begitu saja? Maksudku, segala sesuatu  itu tak lepas dari rantai sebab-akibat. 

Nah, perkara tipu-menipu, ia lahir dari kerusakan. Jangan tanya apa maksudku. Kau pasti paham maksudku. Aku yakin bahkan kau sendiri sering ditipu oleh dirimu, kan? 

Menurutmu, siapa penipu dalam dirimu? Apakah itu lidahmu? Matamu? Telingamu? Apa kau mengerti maksudku?

Intinya, kita sering ditipu bahkan oleh diri sendiri sekalipun. 

Begitulah perdebatan kami berakhir pada suatu kesepakatan. 

Keesokan harinya, saat matahari masih berleha-leha di langit timur, kawanku yang baru saja pulang dari berbelanja bahan masak menghampiriku yang tengah memotong-motong sayur di dapur. 

" Ini," ujarnya seraya menyerahkan kantong belanjaan. Ia berbalik menaruh tepung dan bahan lainnya pada lemari yang terletak tepat di belakang meja dapur, tempat aku memeriksa belanjaan pagi itu. 

Singkatnya, kami saling membelakangi. 
"Eh?" Mendengar suara itu aku langsung menoleh ke belakang. Apakah ia melupakan sesuatu?

Kudapati kawanku juga menoleh padaku.

"Apa?" Ujar kami serentak. 

"Kau bilang sesuatu?" tanyanya padaku. Wajahnya tampak bingung. 

"Kukira kau yang ngomong," jawabku. Sama bodohnya. 

Lalu kami terdiam. Siapa lagi yang bicara kalau bukan salah satu di antara kami? Jelas-jelas aku mendengar suara itu tepat di belakangku. 

Lalu siapakah penipu kali ini? 
Telingaku, telinganya? Otakku atau otaknya? Ataukah ini perkara hati manusia yang suka membodohi dan pengecut, yang percaya bahwa arwah wanita itu datang menyapa?

18 Mei 2025





Selasa, 20 Mei 2025

Poems: Rumah Duka

oleh: S. N. Aisyah


Lalu harus ke manakah duka akan dibawa?


apakah  pada sungai yang tak lagi mengalun

tak lagi menerjang bebatuan

dengan sapaan syahdu?


apakah pada langit yang selalu muram

acap kali lupa undang mentari, 

sibuk berkabung dengan awan hitam?


apakah pada lautan yang tak lagi 

mengirim ombak ke tepian

sebab angin enggan singgah barang sebentar?


Ke manakah duka harus bersemayam

jika tidak pada makam

yang telah kusediakan?


Negeri Bertuah, 18 Mei 2025




Senin, 19 Mei 2025

Books: Saat ’Nemesis’ Menjadi Nemesismu

oleh: S. N. Aisyah




Judul buku    : Nemesis

Penulis           : Agatha Christie 

 

Seberapa buruk sikap skeptis dapat memengaruhi hidup seseorang? Sebenarnya saya juga tak tahu tapi dalam skala yang lebih kecil, saya sudah mendapatkan hantaman dari skeptism itu.

 

Saya sering melewati rak buku Agatha Christie saat mengunjungi perpustakaan wilayah. Agatha Christie adalah salah satu nama besar dalam dunia literasi bergenre misteri-thriller-detektif. Tapi, tak tahu mengapa, saat itu  saya tak kunjung membaca bukunya. Meski beberapa kali mengambil dan menimbangnya dalam tangan, buku Agatha Christie itu akhirnya kembali saya taruh dengan keragu-raguan  ke rak.

 

Sangat sulit untuk meyakinkan diri saya. Ditambah lagi peraturan hanya boleh membawa pulang dua buku dalam satu waktu, membuat saya memilih buku lain yang bersinggungan dengan kepentingan saat itu. Ya, setiap saat. How stupid!


Suatu hari saya menonton Film Murder on the Orient Express, adaptasi dari novel Agatha dengan judul yang sama. Saya merasa terkesan dengan nuansa yang diberikan oleh film tersebut. Terutama pada tokoh Hercule Poirot. Seperti perpaduan antara Sherlock Holmes dan Arsene Lupin (just personal opinion, don’t take it seriously or personally, ok? :)). 

 

Berbekal kesan itu, saya memutuskan untuk membaca karya Agatha Chirstie, namun,  tidak dengan judul yang sama. Saya ingin tahu apakah saya menyukai Agatha atau Hercule Poirot. Maka, misi saya ke pustaka wilayah sukses dengan membawa pulang buku Nemesis di tangan.

 

Nemesis, dengan uniknya mengangkat wanita tua yang memiliki isu kebugaran (dan mungkin juga kesehatan  fisik) sebagai tokoh utamanya. Suatu hari, Jane Marple, seorang wanita tua mendapatkan sebuah surat wasiat dari Jason Rafiel—kenalannya saat berlibur beberapa waktu lalu (baca buku A Caribbean Mystery).  Dalam wasiatnya, Mr. Rafiel meminta Miss Marple untuk mengusut sebuah kasus. Jika wanita itu  bersedia, ia menawarkan imbalan sejumlah 20 ribu pound.  

 

Seperti telah mengenal Miss Marple dengan sangat baik, (meski mereka hanya bertemu sekali dalam kurun waktu yang relatif singkat)  Mr. Rafiel tak hanya menawarkan imbalan besar saja. Ia juga menawarkan sebuah teka-teki, sebuah misteri untuk dipecahkan Miss Marple.

 

Miss Marple yang merasa iba dengan kematian Mr. Rafiel, menyambut harapan terakhir pria –yang dalam pandangan Miss Marple—baik hati itu. Meskipun ia sedikit terkejut pada kenyataan bahwa permintaan itu berasal langsung dari mendiang melalui surat wasiat. Seolah tahu bahwa nyawanya terancam, sebelum ajalnya tiba, Mr. Rafiel telah mempersiapkan semua hal yang diperlukan Miss Marple untuk memecahkan teka-teki itu. Semuanya. Kecuali keterangan kasus.

 

Ternyata kasus itu benar-benar kasus misterius. Miss Marple harus menemukan sendiri kasus apakah yang sebenarnya perlu ia ungkap, sebab Mr. Rafiel tidak memberikan penjelasan umum, tidak juga petunjuk khusus. Miss Marple hanya digiring menuju berbagai tempat, dibawa menemui bermacam-macam orang. Tetapi tak ada keterangan mengenai peristiwa, apalagi hipotesis atau asumsi dasar.

 

Dalihnya, pria kaya-raya itu sangat percaya pada kemampuan menilai seorang Jane Marple, Sang Nemesis. Tidak, bukan nemesis dalam artian musuh bebuyutan. Namun Nemesis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani kuno.

 

Perjalanan memecahkan teka-teki itu, mengantarkan Miss Marple pada kematian-kematian lain yang menggelitik instingnya. Ia juga mendapatkan fakta-fakta menarik di balik kehidupan Mr. Rafiel. Mungkin saja ini adalah suatu petunjuk. Bagaimanakah Miss Marple dapat memenuhi wasiat kawannya itu? Kasus apa yang sebenarnya harus Miss Marple pecahkan? Petualangan memecahkan kasus misterius oleh  Jane Marple, wanita tua sederhana dari desa sederhana sangat menarik untuk diikuti.

 

Membaca novel ini seolah menyaksikan teropong Agatha Cristie mengarah pada kehidupan dan nasib orang-orang sepuh yang tinggal di desa, serta kehidupan warga desa atau orang sepuh pada umumnya. 

 

Realita kehidupan orang-orang tua di desa, terutama wanita tua yang telah ditinggal suaminya, terekam baik dalam narasi Agatha. Dapat terlihat bagaimana mereka saling bergantung satu sama lain.

 

Mungkin Anda juga akan jatuh cinta pada cara Agatha dalam menggambarkan tokoh-tokohnya. Misalnya Miss Marple. Kesederhanaan dan keluguan Jane Marple dipadu dengan kecerdasan, kebaikan hati serta tabiat wanita tua (termasuk tabiat buruk) pada umumnya. Namun, bagaimanapun juga ada suatu hal spesial yang tak diungkap tentang Miss Marple dalam buku ini, sehingga memancing rasa penasaran terhadap masa muda dan kisah hidupnya.

 

Nemesis mengandung kritik sosial yang menarik tentang gaya hidup anak muda dari sudut pandang generasi lansia. Seperti hal klasik lainnya, pandangan tersebut sangat relevan dengan masa kini. Meski misteri cerita tak begitu sulit untuk ditebak, tetapi jangan khawatir. Latar-latar yang indah, dinamika tokoh dan penokohan, peristiwa kecil yang tak disangka-sangka dapat menjadi humor, narasi yang menegangkan, dan  sebuah ketenangan(?) juga disuguhkan dalam buku ini.

 

Bagi saya, secara keseluruhan, warna dan nuansa buku ini seperti: 


fajar sipil. Saat sinar matahari pagi sudah cukup untuk membantu kita melihat dan membedakan benda-benda sekitar, namun, belum cukup terang, apalagi untuk merasakan hawa panas. Meski begitu, Agatha memberikan selimut dan secangkir teh hangat untuk menemani perenungan dan percakapan yang akrab. Menurut saya itu unik. Mendapatkan rasa hangat dan akrab  dari sebuah cerita misteri.

 

Terkadang, rasa cinta yang besar saja tidak cukup dalam hidup. Kebijaksanaan, ketulusan, serta ketabahan hati yang luar biasa dibutuhkan untuk memahami kehidupan. Itulah yang diajarkan buku ini pada saya. Oh, satu lagi! Sikap skeptis yang ekstrem dapat merugikanmu.

 

Oktober 2023

Sabtu, 17 Mei 2025

Cerpen: Secangkir Teh dan Segelas Kopi

Oleh: S. N. Aisyah


Ia berdiam diri di hadapan sebuah monitor. Beberapa menit larut dalam hening, kemudian ia berjalan menuju dapur. Tangannya menggapai cangkir teh, namun segera diurungkan niat itu. Dengan langkah gontai, ia berbalik arah, kembali pada monitor, megutak-atik sebuah playlist. Lagu classic retro menggema sayup. Di luar, hujan masih saja turun. Embun menyerbu jendela, menutupi pemandangan kota. Ia duduk sedikit meringkuk. Membenamkan diri dalam sweater, menungkus diri dalam selimut.

 

Tepat dihadapannya, kursor berkedip-kedip dalam lembar kosong monitor. Meja kerja penuh tumpukan kertas, buku, koran, majalah, kacamata, dan alat tulis. Semuanya menebar tak berpola. Sebuah surat kabar menjuntai pada sisi meja. Lembar kosong monitor dan meja nan penuh itu berbagi rasa yang sama: nelangsa. Sedangkan bola matanya jauh menerawang.

 

Kira-kira pukul lima. Saat matahari sudah secondong masyarakat--sangat ke barat-- dan angin musim hujan yang bersilir menjadi tiupan kencang, Ia menyusuri paving block jalan utama kota. Berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar. Melewati dinding-dinding tinggi gedung pencakar langit.

 

Pepohonan yang menjejeri jalan raya mendayu-dayu. Dedaun kering berguguran, sebagian dibawa tiupan angin. Lampu-lampu jalan masih belum menyala meski langit sudah terlihat murung. Kakinya tak berjeda memangkas setiap senti jarak antar rusunami dan gedung angkuh tempatnya bekerja. Tidak jauh memang. Hanya beberapa blok saja.

 

“Maaf,” Ia berkata pelan dengan suara terburu. Hanya beberapa senti jaraknya, nyaris saja Ia menabrak seseorang.

 

“Saya juga, maaf,” calon korban tabrakan itu menjawab seraya tersenyum.

 

Ia bergeming sepersekian detik lamanya kemudian menggeleng kecil seolah hendak mengusir nyamuk yang berdenging di telinga. Sesambar kilat, wajahnya kembali datar lalu kedua alisnya menyeringit seolah begitu banyak hal janggal yang ditemukannya pada wanita itu. Mungkin senyumnya, scraftnya, tote bagnya, matanya, keseluruhan dirinya.
 

Ia sudah terbiasa untuk mengabaikan segala hal yang ia kira tak perlu, tak terkait dengannnya. Akan tetapi, tidak jarang perkiraannya tersebut tak kena sasaran. Atas azas praduganya yang tak dapat di nalar oleh kelompok sosial manapun, rasa bersalah kerap menghampirinya. Namun, tentu saja ia anggap hal itu sama-sekali tak terkait dengan hidupnya, tidak diperlukannya.


Banyak pekerjaan yang telah ia lakukan tanpa pernah mengerti alasan mengerjakannya. Ia tak berniat untuk ambil peduli. Akan tetapi, wanita ini merupakan hal yang berbeda baginya. Ia tidak dapat mengabaikannya. Ia tak tahu apa. Namun, kejanggalan tersebut merupakan sebuah ‘ketidakasingan’. Hal yang mungkin jarang ia temukan pada sosok manapun, bahkan hingga detik terakhir saat ia menyadarinya.
 

“Bagaimana kabar Anda?” Wanita muda itu bertanya kepadanya. Ia hanya diam. Bukan karena tidak mengerti dengan pertanyaan itu, hanya saja ia tidak mengerti akan alasan pertanyaan itu.

 

Balasan diam yang begitu canggung disambut dengan senyuman dan pertanyaan serupa, “Bagaimana kabar Anda?”

 

Kembali wanita muda itu bertanya. Pertanyaan ringan yang diiringi ekspresi paling tulus yang dapat direka wajah agaknya.

 

“Maaf, apa saya mengenal Anda?” Ia hanya menjawab dingin, seolah dilanda keraguan untuk sekadar berbasa-basi. Khas persona-persona yang mengaku kukuh dan piawai dalam kehidupan sosial kini, salah satunya: urus urusanmu sendiri. Penyakit ini kiranya sudah menjangkit siapa saja. Tentu dengn berbagai macam sebab, dalih, dan alasan untuk dijangkit atau terjangkit.

 

Tak seperti dingin yang dilontarkan, langit seolah ingin mencairkan percakapan. Angin yang bertiup kencang kini disusul awan-awan kelabu, lalu satu-dua rintik air mulai berjatuhan. Agaknya obrolan basa-basi dapat dilancarkan seperti breaking the ice yang digunakan oleh orang-orang inggris di buku teks pembelajaran bahasa asing. Ah, biarlah obrolan semacam itu tetap ia simpan di buku pembelajaran bahasa asing.

 

“Pertanyaan Anda begitu lucu. Mengapa Anda bertanya pada saya, bukankah Anda yang tahu jawabannya?” Cakap wanita itu cukup masuk akal. Jawaban yang cukup mudah untuk diterima seperti halnya semudah menerima wanita muda ini dalam kawanan sosial. Terutama di kota mereka. Di negeri kecil yang terombang-ambing arus dunia yang sangat besar.

 

“Oh, apa Anda mengenal saya?” pertanyaan konyol itu disambut semburat tawa kecil.

 

Lalu dengan ceria wanita muda itu berkata, “Apa saya harus mengenal seseorang terlebih dahulu, untuk menanyakan kabarnya?”

 

“Hah…” ia kehilangan kata-katanya. Akan tetapi rasa tertarik tidak dapat ia singkirkan dengan mudah. Tidak pada wanita ini. Setelah berpikir sejenak, maka ia memutuskan untuk bertanya “Kalau begitu, bolehkah saya mengenal Anda?”

 

Meski belum larut, namun, kota sudah ditutupi bayang-bayang. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Pendar-pendar redup itu memagari jalan raya. Memberi bias keemasan dalam setiap pantulannya. Gedung-gedung dan etalase sudah mentereng. Aroma kopi, roti, serta makanan hangat lainnya menguar. Tak henti-henti menerobos lembap udara, seolah melarikan diri dari dapur-dapur, menggoda siapa saja untuk singgah meski sedetik sahaja.

 

Kini rintik berubah menjadi rinai. Butir demi butir air nyaris sempurna menutupi permukaan bumi. Menyebabkan sekelompok gadis yang berjejer di bangku jalan utama berhamburan.

 

“Bagaimana dengan segelas kopi? Oh, teh tentunya bagi Anda?” Wanita itu sigap menyahut. Seolah mereka saling berbagi memori, bersilang kenangan. Mengingatkannya pada suatu waktu di masa lampau yang tak dapat ia rengkuh kembali.

 

“Tentu”.

 

Ia tidak pernah mengira bahwa akan datang hari ia dapat dengan senang hati beriringan dengan seseorang—yang bahkan bukan kenalannya—tanpa ada beban, meski hanya sedetik saja. Tak ada komando, tanpa kata, dua pasang kaki mengarah pada arah yang sama. Mereka memasuki kedai kopi, memilih sebuah meja persegi dengan dua bangku di sudut belakang, tepat di hadapan sebuah jendela. Tak tersentuh hujan, cukup jauh dari hiruk-pikuk.

 

“Bagaimana Anda tahu tentang teh?” Suaranya terdengar jelas. Kontras dengan musik yang mengalun sendu dari pengeras suara di langit-langit warung kopi, lagu-lagu yang sesekali akan terdengar syahdu bagi penyendiri pengidap sakit sepi.

 

“Bukankah sangat jelas?” jawab wanita itu.

 

Sangat jelas? Agaknya Wanita muda menganggap jawabannya selicin lantai kayu yang mereka susuri sejak memasuki pintu utama warung. Sejelas meja-meja panjang tempat barista bekerja. Atau mungkin, jawaban itu didapat asal mau mengamati kusen-kusen jendala dan pintu yang terbuat dari kayu jati yang telah dipernis dengan teliti? Pikirnya.

 

“Jelas? Anda seorang detektif?” Ia mendengkus seraya tersenyum sinis.

 

“Pengamat, mungkin?” jawab si wanita lagi seraya menarik senyum. Tentu saja senyum yang berbeda.

 

Hening sejenak. Minuman tertata di meja. Setelah berterima kasih pada pramusaji, kemudian, si wanita angkat suara, “Bukankah Askar dan NaaNaa begitu mengesankan?” Ia merujuk pada dua penulis besar dari kota mereka.

 

“Begitukah?” Ia meraih cangkirnya. Asap tipis menari-nari. Samar tercium aroma teh sakura.

 

“Tentu saja Anda berpikir begitu, benar?” Ada sirat semangat pada mata wanita itu. Hanya sekilas lalu, sebelum tatapan menunggu persetujuan dilayangkan.

 

Lantas, Wanita muda melanjutkan, “ Seperti halnya serial yang Anda baca, tulisan Anda juga penuh misteri.”

 

“Dan hal itu mengacu kepada?” tanyanya. Dahinya menyeringit lagi. Kepala sedikit dimiringkan. Menuntut penjelasan atau mungkin hanya menagih ulasan.

 

“Perubahan cerita, kaitan-kaitan realita dan refleksinya dalam tulisan Anda, bukankah mereka tidak pernah bertemu? Tidak pernah mengobrol dengan secangkir kopi atau teh?” Setiap kata yang terlontar dari bibir wanita itu, diterima dengan lamban. Seolah kata-kata itu hendak menuntut sesuatu yang tidak pernah ia miliki. Entah mengapa, ketenangan suara wanita muda itu melukainya dengan hebat.

 

“Mereka tidak membutuhkannya. Realita dan refleksi tidak perlu menghabiskan waktu di warung kopi,” acuh tak acuh ia menjawab. Lalu dialihkannya pandangan.

Sekelompok orang baru saja mengambil meja di tengah warung kopi. Agaknya mereka terlampau ribut baginya. Membuatnya mendelik tak suka.

 

“Ya, mereka tak perlu, masyarakat yang memerlukannya. Penting bagi masyarakat agar realita dan refleksinya dalam tulisan saling bertemu, ‘kan?” Wanita yang berada di hadapannya berujar tanpa menoleh padanya.

Ribut sekelompok pengunjung baru itu memang mengalihkan perhatian. Tentu saja, kedua orang yang tengah mengobrol ini memiliki tanggapan yang berbeda terhadap gerombolan manusia itu.

 

“Masyarakat hanya menginginkan hiburan. Mereka hanya sekadar memenuhi rasa ingin tahunya, juga hanya mendengar hal yang dianggap benar, dianggap menyenangkan.” Ia telah kembali seutuhnya dalam percakapan. Di sela kalimat, ia tertawa sinis.

 

“ Membosankan, memuakkan, ya, ‘kan?” Wanita ini membenarkan dengan senyum prihatin.

 

“Ya, dapat dikatakatan begitu.” Ia terdengar seperti orang yang dirundung bosan. Kerontang seperti bangunan kota ketika musim kemarau menyapa.

 

“Lalu, yang Anda lakukan adalah …?” Kini Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Kedua sikunya menumpu pada meja. Jari-jarinya saling bertaut menopang dagu.

 

“Memberikan hiburan. Bermain dengan mereka dan meraih keuntungan, tentu saja.” Tampak tidak nyaman, ia mengadu bahu pada sandaran kursi sedangkan lutut kanannya menumpu lutut kiri.

 

“Bahkan Anda jauh lebih memuakkan. Benar, hiburan yang Anda berikan kepada saya begitu banyak. Anda tahu bagaimana rasanya bermain dengan misteri ‘realita dan bayangannya’ dari kata-kata yang Anda rangkai?” Suara wanita itu hilang timbul dalam riuh yang memenuhi ruangan. Lalu katanya lagi;

 

“Terkadang rumit memang, terkadang setegas matahari yang terbit dari timur. Namun, satu dua terlihat seperti sirkus murahan, sekadar lelucon yang menertawakan tanpa kritik cerdas sama sekali. Jauh dari wira atau cendekia.” Si Wanita menatap lekat, berusaha melontarkan setiap kata dengan tenang. Akan tetapi, rasa kecewa itu kiranya tak dapat dibendung, meluap melalui suaranya yang sedikit bergetar.

 

“Anda begitu peduli pada saya, tampaknya?” Ia membalas.

Suaranya tinggi tertahan. Kini kedua tangannya saling menyilang di depan dada. Berupaya tak peduli, agaknya juga sedikit menjaga kebanggan diri. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat seolah dapat dihanyutkan oleh gusarnya.

 

“Ya, saya mengikuti Anda karena masyarakat. Apa yang membuat tulisan itu berjalan dengan gerakan misterius? Bagi masyarakat yang sudah tangguh, mungkin mereka tidak akan membeli pertunjukkan murahan Anda. Tapi bagaimana dengan mereka yang goyah, yang hanya menginginkan kesenangan belaka? Mereka tidak akan berpikir lebih jauh dan saat memutuskan untuk mengikuti, mereka hanya akan terbiasa dengan pola pikir yang terlampau membeo. Merupakan tanggung jawab Anda untuk tidak membuat beo meluapkan kata-kata tak bermartabat.” Ada ketegasan dalam setiap kata-kata itu. Ada tuntutan dalam setiap kalimat. Tatapan hangat itu kini menunjukkan tajamnya.

 

“Saya membantu mereka, memberikan apa yang mereka inginkan. Memenuhi rasa ingin tahu yang sesuai dengan harapan. Menyanyikan lagu nina bobo. Membuka dunia modern, memberikan kebebasan, peluang untuk menginterpretasi hidup seperti yang sebagian besar dunia sedang lakukan.

Mengapa saya harus bertanggung jawab atas kebodohan mereka? Atas keputusan mereka untuk mengejar hasratnya? Mereka abai apabila suatu hal tidak menyenangkan bagi diri mereka. Jika saya mengambil jalan tak menyenangkan itu, akibatnya apa yang saya lakukan akan lebih sia-sia, tidak dipedulikan sama sekali.

Jika sudah begitu, saya juga tidak akan mendapat keuntungan apa-apa. Lalu apa yang menjadi misteri dalam kata-kata saya? Tidak ada. Saya hanya melakukan hal yang seharusnya saya lakukan. Memberikan kesenangan dan mendapatkan balasannya. Simbiosis mutualisme.” Semua ia utarakan dengan suara tenang, namun juga dengan luapan emosi yang labil. Ia terdengar muak, ia terdengar prihatin, ia terdengar marah, ia terdengar merana dan dilanda sakit sepi. Tak sedikit pun ia terdengar bahagia.

 

“Simbiosis mutualisme hanya berlaku jika sama-sama menguntungkan. Tetapi Anda dan mereka hanya berbagi ilusi. Rasa bersalah terkadang menghantui Anda, bukan? Menjilati kaki pengusaha bajingan, menjadi anjing penjaga penguasa biadab, memupuk hedoisme, bermain-main dengan kebenaran, membodohi, menipu, manipulatif, menutup-tutupi, menyingkirkan apapun yang dapat menjadi penghalang ketenaran, kekuasaan, pengaruh, status, dan segala kesenangan belaka.

Semua itu pada akhirnya hampa, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga berlaku bagi Anda. Dapat Anda konfirmasi?” Wanita itu berkata cepat bak kereta listrik, seolah ingin mengantarkan penumpangnya—kekecewaan dan kegetiran— sesegera mungkin pada stasiun berikutnya, bahkan lebih cepat dari pada kemampuan si kereta.

 

Hening, tidak ada kata lagi yang terdengar. Ia dan wanita muda itu melebur dalam diam. Seolah tenggelam pada pikiran masing-masing. Mencoba terlihat normal, menyibukkan diri pada cangkir teh dan gelas kopi. Menyeruput teh yang sudah tidak hangat, meneguk pekatnya es kopi yang mencair. Dalam diam, mereka saling menilai, saling menyelidiki.
 

2017-2023

Sabtu, 10 Mei 2025

Cerpen: Mesti Tak Mesti

Oleh: S. N. Aisyah


Petang hari, di penghujung September, angin musim hujan mulai mengiring Kota Bertuah. Udara terasa sedikit lembap. Sesekali deru angin menyenggol palang rambu pemberhentian bus hingga membuatnya seolah berayun mendayu. Palang itu terlihat semenyedihkan halte yang bertengger setia  di sampingnya -- tak berpenghuni selain semilir dan deru angin yang sesekali menghampiri.  Selang lalulnya beberapa kendaraan, sebuah bus biru merapat. Berpasang-pasang kaki menapaki halte, mengantar kepala-kepala memenuhi halte sempit, melepasnya dari kungkungan sepi.  Di antara barisan kepala itu,  Ru  menyelinap keluar halte. Berjalan tergesa menyeberangi  trotoar. Menyusuri dua blok pergedungan, kemudian memasuki salah satunya.


“Ru! Hoy, sini!” Suara itu milik seorang wanita muda bernama Sa. Ia duduk beberapa meja jauhnya dari pintu utama. Suara Sa  membuat ‘si tergesa Ru’ menjadi rileks kemudian berjalan menghampiri. 

 

“Tukang telat,” sapaan itu menerbitkan cengiran Ru. Dihadapannya, tiga pasang mata menyambut, terlihat ramah. Seramah meja yang mereka kelilingi. Disesaki gelas minuman, ada yang masih penuh, ada yang telah disesap seperempatnya, dan ada yang hampir tandas tak ingin bersisa. 



“Kalian PHP.” Ru, The Reluctant Ahjuma, masih memegang teguh keahliannya. Tidak pernah bersepakat akan waktu. Kebiasaan yang diakuinya bukanlah suatu kebiasaan. Suatu waktu ia katakan bahwa ia tak pernah bermaksud agar sesiapa menunggu. Hanya ia kurang akur dengan waktu. Bila masa ia datang terlambat, lain masa ia jadi yang pertama. Tapi, sayang, tak pernah tepat kedatangannya. Kali ini, ia selang lima belas menit lebih lama dari kawan-kawanya.


 

“Kok PHP, Ru? Ru telat, kita PHP?” Ze, kawannya yang bermata coklat terang, protes tak terima. Namun, sepertiga detik berikutnya, senyumnya tak kepalang merekah. 


 

“Penanti harapan palsu, ” serempak, kursi tertarik, jawaban Ru asal lalu.


 

“Apaan?” Fa menimpali. Wajahnya direka semasam mungkin. Tetap saja, rasa senangnya tak tertutupi.


 

“Basi!” Sa menyambar seraya menyongsong segelas teh kamomil yang tak lagi hangat kepada Ru. Ia berseri-seri. Ini kali pertama mereka berempat bertemu sejak setahun  lalu. Agaknya itulah penyebab ketiga wanita itu sudah semeringah bahkan sebelum Ru menghampiri mereka. 


 

“Ya, Reluctant Ahjuma! Kalian sibuk apa?” Ru, masuk obrolan. 


 

“Enak aja Ahjuma, masih muda tau!” Ze, kembali protes. 


 

“Pasti belum mudik, kan?” Fa menebak gelagat kawannya. Sedang si tertuduh, Ze terlihat seperti siswa yang tertangkap curang saat ujian berlangsung.


 

“Sekarang ni, ya, kalo mau mudik, seram.” Ze mengeluarkan pembelaan dirinya, yang tentu saja diragukan ke-berterima-annya. 


 

“Kenapa?” Sa bertanya dengan nada halus. Sehalus lagu-lagu sendu yang sejak tadi memenuhi kafe. Sungguh serasi dengan rinai hujan yang mulai berjatuhan di luar jendela. 


 

“Ya, taulah, ntar malah disuruh milih calon sama ortu.” Fa menimpali dengan suara yang diseret. Jarinya mengaduk-aduk es cappucino yang kini tinggal seperempat gelas. Wajahnya tertekuk. Agaknya ia dirundung pasal yang tak berbeda. 


 

“Apa salahnya?” Sa tersenyum tipis. Senyum yang tulus, jauh dari kata olok-olok. 


 

“Karir dulu, karir, itu bisa belakangan.” Ze selalu terlihat seolah tidak ingin membicarakan hal ini dengan serius. Saat itu, beberapa pengunjung memasuki kafe. 


 

“Kapan lagi? Umur, cukup. Calon pun ada,” kedua alis Fa terangkat saat berkata, seolah mendesak kawan akrabnya untuk melakukan hal yang seharusnya sudah ia khatamkan.


 

“Kayak dah ada pendamping aja,” Ze menyindir balik Fa. Lalu perdebatan mereka dimulai kembali, persis saat-saat dulu mereka masih mengejar SKS di bangku perkuliahan.


 

“Eh, jangan salah, persiapan udah 99 persen, ya,” Fa kembali menimpali dengan wajah jail. 


 

“Belum seratus, kan?” Ze tak mau kalah.


 

“Kok belum kenalin ke kita?” Sa menuntut. Ru turut. Ze yang baru tersentak ikut menagih.


 

“Ya, satu persennya, si calon,” lalu Fa terkekeh, disambut muka masam kawan-kawannya. 


 

“Makanya, cari calon jangan muluk-muluk!” Ru menimpali dengan sedikit rasa kesal atas guruan tadi.


 

“Bukannya muluk-muluk. Ya emang harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya,” dengan mantap Fa menjawab. Wanita muda ini seakan menyiratkan bahwa ia tahu apa yang ia inginkan dan akan ia dapatkan. 


 

“Jadi yang gimana tu, si ’nggak muluk-muluknya’ kamu?” Sa bermain peran emak nan tengah menginterogasi anaknya agar segera mendapat gambaran calon menantu yang tepat.


 

“Mesti pintar, baik, soleh, bisa bimbing aku, rajin menabung, senyumnya menawan, nyambung,....”


 

“Banyak maunya!” Ru memotong untaian daftar yang rumit itu.


 

“Iyalah, aku-nya kan mau dibimbing ke yang lebih baik.  Cuma kamu yang nggak punya standar,” kembali Fa memasang wajah jailnya.


 

“Iya betul tu, apalagi kalo kayak oppa-oppa drama korea. Tinggi, tampan, baik, romantis, gentle. Meski kadang sok cool, dingin-dingin jutek, tapi baik banget,” Ze berpihak pada Fa. Tidak lupa dengan baik hati ia tambahkan kriteria yang didamba. Namun, keseriusannya masih dipertanyakan.


 

“Referensinya fiksi,” Ru tak dapat menahan tawanya yang diiringi dengusan.


 

“Sebagian cerita fiksi itu terinspirasi dari realita.” Ze mengajukan banding. 


 

 “Mesti begitu? yang tampan, tinggi, mata tajam, dada bidang, bahu lebar, ... ” Fa mulai merunut diiringi gestur yang sungguh menyebalkan.


 

“Ngaco.“ Lagi, Ru tidak bisa berhenti menimpali. 


 

“Alah kayak tak suka orang tampan aja,” Ze baru saja menghabiskan kunyahan terakhirnya, lalu kembali ia meminum kopinya.


 

“Siapa yang tak? Kriteria tampan kita yang beda. “ Pembelaan diri ini dilatari dengan bertambah banyak pengunjung kafe. Setiap sisi kafe kini hampir terisi penuh. Kursi-kursi berderak ketika ditarik menjauhi sisi meja. Kemudian Ru melanjutkan,“Lagi pun, ribut kali, kalau jodoh ya jodoh, nggak sekarang,  ya nanti.”


 

“Emang kita mesti cari yang bisa membawa kita lebih baik, kan?” Fa setia pada pendapatnya. 


 

“Tapi kamunya juga harus berusaha jadi baik. Kita bakal dapat yang kita tuai.” Begitulah Sa menanggapi, boleh lah kita katakan bijaksana. Selaras dengan gerakan tangannya yang teratur saat meletakkan cangkir teh ke meja. 


 

“Eh, Ze, kan enak kamu  tinggal disuruh pilih. Kamu banyak yang antri,” Ru terlihat seperti orang yang sedikit kehilangan akal atas kenyataan hidup yang dilalui kawannya. Ze satu-satunya putri dan merupakan anak sulung di keluarganya. Tangannya sungguh telaten meramu masakan. Suatu waktu, pernah ia katakan pada kawannya, setiap tangan melahirkan cita rasa sendiri dalam masakan.  Mungkin keahliannya ini menjadi salah satu sebab beberapa orang tua di kampung halamannya mendatangi rumah mereka dengan tujuan meminta  Ze untuk jadi menantu.


 

“Masih muda, karir dulu, belum ada yang sesuai, lagian,”


 

“Yang ke opa-opa drama-an?” Fa menertawakan pernyataanya. Sedang beberapa meter dari mereka, muda-mudi juga tengah terkekeh. Agaknya banyak manusia yang melarikan diri dan bersemayam di kedai-kedai minum hanya untuk dapat sedikit tertawa.


 

“Ya, nggaklah! Mana ada yang begitu. maunya yang cocok, pas di hati, pas karir dah tercapai,” Ini kali pertama Ze menjawab dengan nada yang tenang dan terkesan serius. Tetap saja, cengirannya tak dapat ditinggalkan begitu saja.


 

“Milih benar kamu. Aku cuma kurang satu persennya, kamu dah dapat malah tak nak,” Fa menimpali. 


 

“Gayaan aja, dilamar betulan malah kabur,” Ru kembali mengingatkan Fa pada kali terakhir -- yang entah keberapa kalinya – seorang pria berkunjung ke rumahnya dengan niat memasangkan simbol ikatan pada jari Fa. Sama halnya dengan Ze, Fa adalah putri satu-satunya di keluarga. Namun bukan satu-satunya anak. Ia si bungsu. Seperti cahaya bagi keluarganya, begitu pula si bungsu di luar rumah. Ia adalah wanita yang ceria dan pandai bergaul. Fa jauh dari kesan ‘orang kaku yang serius’, wajahnya selalu cerah dengan senyuman dan tawa. Dibalik tawanya, ia adalah seorang perencana ketat yang andal. Setiap aktivitas yang ia kerjakan telah tertulis dalam sebuah lis. Ia juga membuat daftar hal-hal yang ingin dicapai kemudian mulai mewujudkannya satu per satu. Sedari bangku sekolah, ia sudah aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Kini tak hanya dalam organisasi formal, ia juga aktif bermasyarakat di lingkungannya. Tidak jarang ia membantu tetangga dalam bisnis kecil-kecilan mereka.


 

“Ye, ngomong aja nggak  pernah nyambung, gimana mau terima?” Wajah Fa bersemu malu, suaranya menjadi agak tinggi.


 

“Intinya kalian belum siap tu,” Ru kembali meledek kawannya.


 

“Ini bocah sotoy, sendirinya juga belum,” Ze melemparkan fakta pada Ru. 


 

“Yah, masih lama juga. Kalo udah waktunya, ya udah. Kalo cocok, ya cocok.  Sekarang tak payah pikir  dulu.” Ru menjadi orang yang paling santai dalam perkara ini. Ditambah keyakinan yang dipaksakannya pada kawan-kawannya bahwa ia masih muda, apalagi jika dibandingkan dengan tiga kawannya itu. Meski kenyatannya, Ru hanya berusia satu tahun lebih muda dan belumlah juga usia mereka lebih dari seperempat abad. 


 

“Masih aja ngomongin satu persen,” Sa kini menyela perdebatan kawannya.


 

“Yelah, yang dah seratus persen tu,” Ze menanggapi dengan nada iri yang direka-reka. Tentu saja ia bahagia dengan cincin yang sudah melingkar di jari Sa. Bagaimana ia bisa melupakan saat-saat mereka berkunjung ke kampung halaman Sa demi menjadi saksi hari bahagia kawannya itu. Sa menikahi pria yang sedari bangku sekolah menengah atas memilih untuk setia padanya.


 

“Lagian ya, kita boleh-boleh aja punya kriteria tapi mesti ingat, kalau kamu mau dapat jodoh yang baik, ya berusaha jadi lebih baik. Jangan maunya terima aja, berjuang jugak. Makanya kalian tu persiapkan diri. Biar nggak kesian, jomlo nelangsa.” Sa menekankan kata-kata terakhirnya dengan nada meledek.


 

“YAA, AHJUMAA!” Tiga wanita muda yang dimaksud meneriakkinya. Kemudian mereka hanya berbagi tawa. Mengakhiri obrolan itu, memulai obrolan baru.  Di luar kafe, hujan yang sempat deras kini mulai mereda. Jalanan yang sempat lengang kembali ramai. Di seberang kafe, palang rambu dan halte bus kini ditemani banyak orang yang menanti kedatangan bus.


2018

Rabu, 07 Mei 2025

Tentang Pulang

Perjalanan hidup adalah perjalanan singkat yang panjang menuju pulang. Dari tempat kita berpijak menuju rumah, tak hanya satu jalan yang terbentang. Dalam perjalanan ini terkadang kita menemukan jalan yang lurus, berliku, rata, berbatu, berlacah, datar, terjal atau landai. Jarak yang kita lalui dapat jauh, dekat, lancar, mandat, lapang atau padat. Terkadang ada pula jalan buntu. Tidak semua orang melewati jalan yang sama. Tidak semua orang mengetahui setiap jalan dengan baik. Tidak perlu merasa tertekan, ambillah waktumu untuk memilih jalan terbaik menuju rumah. 

Bekal perjalanan setiap orang pun berbeda-beda. Ada yang dibekali banyak, ada yang cukup, ada yang ala kadarnya. Namun, tidak selalu permulaan menentukan akhir dari suatu cerita. Bekal-bekal itu dapat menjadikan perjalanan kita menjadi lebih mudah atau sulit, lama atau sebentar, bermakna atau sia-sia, tergantung pada cara mengolahnya. Kita dapat kehilangan bekal begitu saja atau menambah bekal tanpa disangka-sangka. Kita dapat berteriak marah saat terjebak macet atau memilih bersabar dan tidak membiarkan hati lecet. Kita dapat memaki atau memilih mengamati, berdiam diri, merefleksi dan menikmati perjalanan. 

Tidak perlu menghakimi orang lain tentang jalan menuju rumahnya, juga tidak perlu membebani diri menuju rumah kita. Pada dasarnya kita mulai dari garis mula yang berbeda. Pun perbekalan yang tidak sama. Sebagai sesama musafir, yang dapat kita lakukan adalah menaati aturan jalan, saling membantu, menunjukkan arah bagi yang tersesat-- bukan menghujat, berbagi perbekalan, saling menghormati pengguna jalan, dan tidak menyerobot jalan orang lain hingga melakukan hal merugikan lainnya. Tidak perlu khawatir tentang jalan menuju rumah kita yang tak seindah atau semudah jalan pulang orang lain, sebab yang harus kita khawatirkan adalah apa-apa saja yang nanti akan kita bawa pulang. Apakah suatu kebaikan atau suatu bencana. Apakah kita pulang untuk sekarat atau pulang untuk beristirahat. 

Perjalanan menuju rumah dapat saja menyenangkan atau meletihkan. Seperti itulah hidup. Seperti kita berjalan pulang. Tak peduli apa pun yang terjadi di perjalanan nanti, jangan pernah berhenti. Sebab setiap orang yang pulang tidak akan berhenti di tengah jalan. Ia selalu melanjutkan perjalanan hingga sampai pada tujuan. 


Juni, 2022

Sabtu, 03 Mei 2025

Cerpen: Mentimun Bungkuk

Oleh: S. N. Aisyah


 Minggu itu, di sebuah los pasar, dua wanita muda tengah terlibat dalam suatu percakapan.

”Kurasa, kalau gini terus, aku bisa keluar,” ujar Ren. Wajahnya berkerut, namun tidak terdengar sungguh-sungguh. 

”Yah, hal begini mesti ditimbang lagi, kan? Jangan gegabah,” Adrian menimpali. Adrian seorang pegawai swasta. Ia adalah tipikal orang yang bangun bahkan sebelum alaramnya berbunyi. Pegawai yang senantiasa menyeduh kopi sebelum memulai rutinitas harian sebagai pekerja.

”Belum kuputuskan emang. Mesti realistis juga, cari kerjaan tak gampang.” Ren seorang pekerja kontrak yang masih sangat hijau di dunia kerja. Kalau ditaksir, baru tiga tahun ia bekerja sebagai karyawan kontrak setelah masa magangnya berakhir.

”Ini masalah rumit.” Adrian tampak sedikit merenung, agaknya ia terjebak dalam pikirannya sendiri.

”Lihat, lihat mentimun itu!” Ren memecah renungan Adrian. Ia menunjuk ke arah wanita tua di seberang los. Separuh gerai wanita itu disesaki mentimun. Tampak seorang pembeli tengah bernegosiasi.

”Iya, kenapa mentimunnya?” Adrian masih belum mengerti maksud Ren.


”Coba perhatikan ibu itu memilih mentimun. Hanya timun yang lurus yang ia pilih untuk ditimbang. Begitu juga dengan pembeli sebelumnya.” Ren menjelaskan, namun Adrian tidak menimpali, hanya pandangan ‘lanjutkan’ yang ia berikan. Kemudian, Ren meneruskan, “Lihat timun-timun bungkuk itu. Persis seperti kita. Aku dan kau. Juga semua pekerja kalangan bawah, semua masyarakat yang dianggap golongan dua.” Di sudut gerai, tergeletak mentimun bungkuk yang tersisih dari seleksi alam perniagaan. Ren dan Adrian memandang mentimun malang dengan prihatin.

 

“Kenapa? Kenapa kita sama?” Adrian bertanya.

 

”Dengan timun bungkuk? Karena dalam perniagaan tak ada yang memilih timun bungkuk untuk ditimbang. Sedang dalam dunia egois, kita, golongan bawah adalah golongan yang tak pernah dipertimbangkan. Seolah usaha kita selama ini sia-sia. Nasib kita sama seperti timun bungkuk yang tak pernah dipilih untuk ditimbang. Kita hanya akan berujung dipurukkan ke dalam goni, lalu ditimbang bersama-sama sebagai spesies yang sama. Tidak ada kualitas spesial. Dan juga bukan apa-apa!” Ren sedikit berapi, juga terdengar sesal dalam suaranya. Adrian, terlihat tak begitu yakin dengan apa yang ia pikirkan. Setelah beberapa detik berlalu, ia manggut-manggut, seakan ia setuju dengan ucapan Ren.

 

Mereka berdua masih memerhatikan gerai mentimun. Pengunjung terakhir gerai itu baru saja pergi ketika seorang wanita sepuh berjalan melewati gerai. Pemilik gerai menyapa wanita itu. Dagangan timunnya ludes, kecuali setumpuk besar mentimun bungkuk. Kedua wanita bercakap akrab, kemudian pemilik gerai memberikan satu plastik mentimun dengan cuma-cuma. Wanita sepuh tersenyum bahagia. Setelah berulang kali mengucapkan terima kasih, ia pun pergi. Ren dan Adrian ikut tersenyum, pandangan keduanya masih terpaku pada gerai di seberang.

 

Penjual mentimun bersiap mengemas barang-barangnya. Sepertinya ia cukup berdagang hari ini. Ia mulai memasukkan mentimun bungkuk ke dalam karung ketika seorang pembeli lain menghentikannya.

 

”Bu, tunggu! Saya mau beli timunnya.” Calon pembeli itu tampak tergesa.

 

”Wah, tinggal timun bungkuk ini, Buk. Lainnya sudah habis.” Pedagang timun menjelaskan, ia tampak menyesal saat mengatakannya.

 

”Tak apa, Bu. Toh masih bisa dimakan, ini juga bagus.” Pembeli itu berujar setelah dilihatnya tumpukan mentimun yang belum dikemas.

 

”Ibu mau berapa?” Pedagang dengan sigap bertanya sambil menimbang timunnya.

 

”Sekilo, Bu.”

 

”Boleh dibawa saja, Buk. Saya sudah mau pulang juga.” Penjual itu tersenyum sangat tulus.

 

“Nggak, Bu, saya beli dengan harga biasa, ya. ‘Kan sama-sama mentimun, kalau begini ibu nanti bisa rugi,” Pembeli menolak. Terjadi perdebatan kecil hingga salah seorang mengalah. Pembeli menyerahkan uang, penjual menerima uang.

 

“ Terima kasih, Buk. Jarang-jarang ada pembeli yang menghargai barang dagangan seperti Ibu.”

 

“ Saya juga terima kasih, Bu.” Begitulah akhir dari jual-beli mentimun bungkuk.

 

Lagi, di seberang kios, Andrian dan Ren tersenyum. Lalu mereka beradu pandang.

 

 

”Sepertinya tak masalah jadi timun bungkuk. Walau tak dipertimbangkan, masih bisa membuat orang lain bahagia. Masih bermanfaat, meski tak dihargai oleh banyak orang.” Adrian memecah diam antaranya dan Ren dengan kembali membahas analogi timun bungkuk. Ia melanjutkan, “Suatu hari nanti, timun bungkuk pada akhirnya akan menemukan pembeli yang memilihnya, bahkan saat lapak nyaris tutup.”

 

“Setuju!” Ren berkata seraya mengangguk.

 

“Ren, udah satu jam kita duduk di sini. Ayo pulang!” Adrian mengajak Ren. Ren melirik arlojinya. Ia tersentak.

 

“Yuk, Dri!” Ren menyusul Adrian membayar pesanan mereka yang sudah tandas dilahap. Setelah memastikan barang belanjaan aman di tangan, mereka berjalan keluar pasar.

Jumat, 02 Mei 2025

That One Friend in Your Life


Saya tidak tahu persis kapan mulanya saya menikmati kegiatan membaca. Sejauh ingatan yang bisa saya raih, itu saat duduk di taman kanak-kanak. Ketika itu, di sampul belakang buku pelajaran (kalau tidak salah) ada sebuah cerita bergambar singkat tentang seorang anak yang malas sekolah, ia selalu bangun terlambat. Hingga suatu hari, ia terburu-buru berangkat sekolah. Saat itu, saat ia memutuskan tidak malas bersekolah, ia mendapati sekolah sepi. Ya, hari itu hari minggu. Entah mengapa cerita tersebut membekas bagi saya. Saya masih ingat betapa seringnya cerita itu saya baca ulang. Itulah ingatan paling usang yang saya miliki tentang membaca. Kini, saya selalu senang jika menemukan buku bagus.


Saya tidak dapat disebut sebagai kutu buku atau istilah lainnya. Hubungan saya dengan buku tidak seintens itu. Saya belum bisa menjadi sahabat buku. Namun, satu hal yang saya tahu pasti, buku selalu menjadi teman bagi saya. Buku senatiasa memberikan pelajaran pada saya. Buku selalu siap menemani saya saat menghadapi masalah dalam kehidupan. Baik secara fisik maupun mental.


Terkadang saya mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup yang sedang saya alami saat membaca buku. Di lain waktu, membaca buku membawa saya kembali mengingat pelajaran dari hidup. Pertemuan dengan buku-buku tersebut membuat saya sesekali menjadi terlalu menuntut dan sedikit mudah kecewa pada buku yang tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Namun, sekarang saya sadar bahwa prilaku tersebut kurang elok. 


Suatu hari, saat saya mempertanyakan banyak hal tentang kehidupan yang tengah saya jalani, saya ditakdirkan berjumpa dengan PCW yang saat itu mengadakan kelas menulis cerpen. Saya mutuskan untuk mengikutinya (tentu saja sebagai benar-benar pemula). Dibimbing dengan mentor yang pro dan sangat perhatian serta teman-teman yang baik, belajar menulis menjadi menyenangkan. Proses belajar itu membuat saya sadar bahwa menulis karya yang baik tidaklah semudah membalik telapak tangan. Saya diajari untuk tidak berlaku kejam pada buku. 


Cara lain buku mengajari saya adalah, saat mengikuti antologi buku Sayap-Sayap Mimpi dan Menjadi Wanita Paling Bahagia yang dinaungi oleh PCW, saya merasa seperti sedang mencari jawaban melalui menulis. Saya merasa ditampar oleh kegundahan yang tidak saya sadari selama ini dan diseret paksa untuk menghadapinya. Perlahan-lahan saya belajar untuk memahami diri sendiri. Proses menulis ini membuat saya berpikir secara sadar. Sesuatu yang sangat berharga dalam hidup sebab sebagian besar manusia mungkin hidup secara otomatis dan tanpa kesadaran penuh. 


Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman seperti ini buka apa-apa. Namun, bagi saya ikut dalam dua antologi ini memberikan sangat banyak pelajaran berharga. Membuat saya berpikir, lagi-lagi buku menemani perjalanan saya dan menitipkan pelajaran berharga. 


2022

Kamis, 01 Mei 2025

Tentang Mereka yang Menangis Demi Senyum Kita Hari Ini



Cerita dikit, boleh, ya. Jadi buku "Mereka Menangis Demi Senyum Kita Hari Ini" itu berisi kumpulan cerpen biografi pahlawan Indonesia. Buku ini berangkat dari niat baik owner, staf dan admin komunitas KLPK untuk ningkatin semangat anak bangsa buat ngenal lagi tokoh-tokoh hebat Indonesia dan belajar keteladan dari beliau-beliau (tahulah keadaan bangsa sekarang gimana. Iya, termasuk saya juga 😅). Nah dari niat itu, KLPK ngadain event menulis cerpen biografi pahlawan nasional juga daerah. Hasil penjaringan naskah ini nanti akan diterbitkan oleh Penerbit PKP (ya, ownernya yg itu, yg populer itu. Apalagi buat mak-mak, dah. Pasti ngefans, kan? Gak apa-apa kok. Ownernya kagak cuma menang populer doang, karyanya juga bagus). 


Saya untuk pertama kalinya ngeberaniin diri buat ikutan event. Mayan bisa sambilan belajar, pikir saya. Proses menulisnya bukan main. Karena ini biografi, mesti pakai sumber yg benar. Jadi, ya, riset dan pengolahan data serta fakta penting banget. Abis, dah nyelam internet dan nyariin buku pahlawan. Masih ingat gimana nervousnya saya bacain buku yang bahas Agus Salim (saya milih mengangkat cerita beliau) berulang kali, takut salah memahami 😅. 


Setelah buat kerangka dan coret-coretannya, saya nemu masalah baru. "Gila, gimana caranya jadiin ini naskah kagak kayak laporan, ya?" Akhirnya saya berusaha semampu saya buat ngejadiin kisah luar biasa dan rekam perjalanan hidup serta karir Agus Salim yg panjang dan banyak itu dalam satu cerpen. 😅 Nerves saya nulisnya (semoga saia bagus dan bermanfaat). Ini event juga landasannya harus bisa dibaca anak-anak dan dewasa (Banyak pembaca PKP adalah org yg terjun ke dunia pendidikan atau peduli pendidikan). Tantangan banget, kan? Saya berdoa moga di naskah saya kagak ada fakta yang melenceng dan jadi fitnah. Setelah ngecek berkali-kali, naskahnya saya kirim. 



Dan... Kaget banget waktu tahu kalau naskah saya lolos kurasi juri, sekaget pas ngelihat naskah-naskah teman-teman penulis lain yang bagus-bagus banget. Ternyata ada banyak gaya bercerita dan banyak pahlawan yang memperjuangkan Indonesia tapi namanya nggak terlalu luas dikenal. Bahkan ada beberapa pahlawan yang saya baru tahu keberadaannya 😔. 

Emang keren penulis-penulis ini, pikir saya. 👍



Setelah ditentukan siapa saja yang lolos kurasi, mulai deh bedah naskah. Wah, ini seru, sih. Ngobrol bareng editor PKP tentang naskah. Bukan berarti lolos penilaian juri naskah saya langsung selamat dan siap terbit. Tak semudah itu, Ferguso. Mbak editor (Mbak Vinny) baik banget. Obrolan kita open banget dan kagak ngejudge. Mbaknya kagak serta-merta coret atau hapus sana-sini. Prosesnya diskusi. Juga diberi kesempatan buat ngejelasin sudut pandang kita sebagai penulis utk mempertahankan atau memberi alasan mengapa menulis demikian. Di samping ngasih ilmu kepenulisan juga tentunya.



Mbaknya juga gak segan bagi-bagi tips dan cerita pengalaman sebagai penulis yang dieditori teman editor lain (meskipun mbaknya juga editor). Kira-kira, kata Mbaknya gini, "Penulis bakal susah objektif menilai karyanya tanpa ada editor selain diri sendiri. Kita bakal sulit ngelepasin ego kita tentang karya sendiri." Saya manggut2 atas pernyataan ini. 



Nggak nyangka sekarang semua proses itu sudah terlewati. Saya sangat bersyukur atas pelajaran ini. Makasih banget PKP dan KLPK. Kuylah baca di sini KLPK App



Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...