Sabtu, 21 Juni 2025

Cerpen: Tujuh Hari Kematian Rahmat

 Oleh: S. N. Aisyah


Kamis, 31 Oktober 2024

Bulan sabit tak lagi tampak. Langit teramat gelap. Hujan turun mengguyur. Petir menyambar. Kilat menerobos jendela sebuah rumah yang gelap. Menyingkap penampakan yang mengerikan. 

Jumat, 01 November 2024

Dini hari, kerumunan itu berdesak-desakan menjauhi mulut pagar griya mewah yang suram. Sirine ambulans dan mobil patroli polisi menggaung, menyibak kepala-kepala agar beranjak, terpaksa melawan gelombang hasrat melit dalam dada mereka. Di bawah siraman sinar kemuning bulan baru, bayang-bayang pohon merambat bak cakar-cakar yang mencengkram malam. Pantulan cahaya redup dari lampu-lampu serta angin beku awal November yang terus bertiup menegaskan betapa mencekamnya keadaan di dasar ngarai itu. 

Dari ambang pintu griya, terburu-buru, petugas medis mengangkat tandu. Membawa pria 40 tahun menerobos keingintahuan warga desa akan nasib naas yang menimpa si kaya-raya, Rahmat. Meski tak seorang pun peduli pada Rahmat, namun, ironisnya, sebuah tragedi dapat mengundang berbagai bentuk perhatian dari beragam macam manusia. 

Kepala dusun dan beberapa petugas muncul. Mulai menapaki halaman rumah yang ditimbun dedaunan mati—nyaris menjadi humus—, berbincang serius. Setelahnya, garis kuning ditarik. Menyegel kamar utama kediaman terkutuk itu. Menutup kisah muram di kediaman si Angkuh, Rahmat. 

Sabtu, 02 November 2024

Rumah duka itu lengang. Meski jenazah Rahmat sudah tiba sejak subuh, belum banyak orang datang melayat. Kepala dusun menelepon gharim masjid untuk kembali menyiarkan kabar kematian Rahmat. Tak lebih dari empat orang yang turut memandikan jenazah beku itu. Kemanakah perginya orang-orang yang mengerumuni rumah Rahmat di malam itu? 

Selama pengurusan si mayit, berangsur-angsur datang beberapa orang. Bila ditaksir, jumlah seluruh peziarah tak lebih dari belasan orang saja. Setidaknya hingga tubuh Rahmat disorongkan ke dalam liang lahat yang gelap, pengap, dan sunyi. 

Tak ada yang berniat kembali ke kediaman almarhum. Tak seorang pun yang benar-benar tahu atau  mengenal kehidupan Rahmat. Siapa yang akan dihibur? Rumah megahnya? Siapa yang hendak disambut? Sudah lama sejak terakhir kali rumah itu terbuka, bahkan sekadar berhari raya pun tidak. Setidaknya selepas kepergian kedua orang tuanya dua puluh tahun lalu. 

Maka, selepas dari pemakaman, pengantar jenazah–kecuali Pak Mun’im dan dua orang pekerja dirumah griya hantu itu–langsung saja berputar arah. Duduk di lepau-lepau. Mulai bercerita tentang Rahmat, si pelit.

”Kasihan, sepi pemakamannya,” ucap si Man. 

”Mau gimana? Pelit gitu. Ya nggak ada yang simpati-lah,” sahut Pak Ramlan. Kemudian ia menyeruput kopi hitam.

”Pelit gimana, Pak?” tanya Bu Nay, si pemilik warung.

”Dia itu orang kaya. Tapi pernah nggak ngelirik dikit aja ke kita-kita yang miskin ini?” ucap Pak Ramlan retoris. Kini ia telah mengisap tembakau pula. 

”Benar, Pak. Sok-sokan pula. Minta dukungan suara plus sponsor aja susah. Ditolak saya. Bilang kalo dia nyari yang sepelu–eh apa sih. Se-pemahaman, senilai gitu, sevisi. Apa sih visi-visi. Sombong amat!” sambar Budiman. Agaknya ia masih jengkel perkara pemilihan tempo lalu.

”Lah, wajar ‘kan? Keluar duit, Pak! Ya, cari yang benarlah,” ujar si Man.

”Eh, maksudnya apa, nih?” Budiman sejenak lupa budi pekerti. Ia naik pitam.

”Ah, udah,”  segera Ramlan menengahi, lalu katanya, ”lagian, ya, dia nggak pernah tuh ikut rapat dusun. Perayaan tujuh belasan nggak pernah datang. Ibaratnya cuma nongol di sini buat hal urgen, kode merah. Keluar rumah  pakai mobil entah ke mana. Nggak pernah mau sama warga.” 

”Mungkin karena warisannya tujuh turunan kali, ya? Ngerasa nggak butuh orang lain. Makan, tu harta.” sahut seorang pria lainnya.

”Dia kerja nggak, sih? Jangan-jangan muja setan?” Seorang ibu turut pula berkomentar.

”Muja setan?” tanya si Man.

”Iya, makanya jadi gila. Orang waras mana yang nggak mau bermasyarakat? Tahan ngobrol sama suami-istri yang tuli-bisu,” terang Ibu itu. Pasangan suami istri yang yang dimaksud, bekerja di rumah Pak Rahmat. Pak Kun yang tak bisa mendengar dengan jelas dan Bu Usi yang tak dapat berbicara.

”Sengaja mungkin. Biar rahasianya nggak ketahuan,” timpal Bu Nay.

”Rahasia apa?” tanya si Ibu.

”Ya nggak tahu. Namanya juga rahasia. Gimana, sih?” Kini Bu Nay salah tingkah.

”Eh, fitnah itu, Buk,” segera suaminya menegur Bu Nay. 

”Bukan. Ya, siapa tahu, kan? Lihat aja tuh bentukannya. Biar punya tukang suruh, rumah gede itu tetap kelihatan angker. Belum lagi penampakannya pucat amat. Terus sering ada tamu yang misterius yang datang ke sana.” Menakjubkan memang cara wanita itu berkilah. 

”Iya, Pak. Saya juga pernah lihat itu tamu. Ada dua orang yang pernah saya lihat sama dia, sedang makan bareng di cafe pusat kota. Dua-duanya rapi. Kek orang penting. Nah, sama mereka si Rahmat ngobrol akrab betul tampaknya.” Kini Budiman bicara dengan semangat yang agak tinggi. 

”Kamu samperin?” tanya Pak Ramlan.

”Ya enggaklah, malas. Trauma saya nyapa dia. Pelit bicara. Jawabnya satu-satu gitu,” aku Budiman kecut. 

”Nggak level dia sama orang kampung kayak kamu!” timpal si Ibu. Diikuti tawa pengunjung lepau.

”Menurutmu apa yang menimpanya?” tanya si Man pada Budiman.

”Apalagi kalau bukan ketidakwarasannya?” lekas Budiman menjawab.

”Apa maksudmu?” tanya si Man lagi.

”Nah, saya dengar mereka ngobrol tentang konsultasi si Rahmat. Nyebut-nyebut rumah sakit jiwa kota.” Kini Budiman berbicara dengan nada rendah. Seolah informasi yang dia punya sangat penting dan rahasia.

”Tapi dia nggak kelihatan gila. Kapan kamu ketemu mereka?” tepis si Man.

”Dua minggu lalu,” sahut Budiman.

”Oh, pantesan. Terakhir saya jumpa–yang susah amat jumpa– itu, tiga bulan lalu, dia kelihatan nggak apa-apa.” Salah seorang pengunjung yang duduk paling jauh membenarkan.

”Iya. Pas pemilihan RT/RW juga,” pengunjung lainnya ikut menyetujui. 

”Jangan-jangan, gilanya baru belakangan ini,” tuduh seorang Ibu lainnya. 

”Eh, eh, sembarangan,” tangkis suami si Ibu lainnya. 

”Kau tidak lihat bekas jeratan di lehernya. Ia gantung diri,” Bapak yang Budiman kembali mengingatkan pengunjung lepau yang juga sebagai peziarah.

”Serius? Ada, Bang?” tanya beberapa pemuda.

”Iya, ada. Aku lihat sendiri. Kalian, sih, nggak mau datang.” Budiman lekas mengonfirmasi.

”Ah, malas, Bang. Kenal aja nggak,” sahut salah seorang pemuda tanggung.

”Lihat aja tuh, nggak ada yang ngelayat, kan? Kenapa coba? Ya, abisnya sombong. Nggak pernah mau ikut acara kita. Ikut ngopi gitu.” ujar seorang pria yang duduk berhampiran dengan etalase lepau.

”Heh! Nggak baik mengghibah  orang meninggal. Udah, udah.” suara Pak Mun'im mengagetkan para biang gosip itu. 

”Siapa yang ghibah, Pak Mun’im? Emang nyatanya gitu, jadi pelajaran buat kita semua. Hidup jangan pelit. Ntar kuburannya sempit.” Seperti biasa, Bu Nay lekas menyambar.

”Iya, Pak Mun'im. Nggak usah sok ke-baik-an, Pak. Dia-nya emang begitu. Kalau bukan karena Bapak selaku RT dan Pak Kadus, entah bagaimana nasib si aneh itu,” jawab seorang ibu. 

”Sudah, Bapak-Ibu semua. Jangan seperti itu. Siapa bilang Pak Rahmat pelit? Perbaikan jalan desa ini, itu sumbangan beliau. Tapi almarhum pesan, supaya nggak usah diomongin,” Bela Pak Kadus yang juga baru tiba di warung itu. 

”Ah, serius, Pak? Eh, Bapak jaga nama baik orang boleh, tapi nggak mengada-ada juga, Pak.” Si Ibu yang dari tadi hanya mendengar, kini menyuarakan keraguannya.

”Lah? Saya kasih fakta kok dibilang mengada-ada? Pak Mun'im sendiri saksinya,” ucap Kepala Dusun yang disambut anggukan takzim Pak Mun'im.

Tak lama setelah kedatangan Pak Mun'im dan Pak Kepala, kerumunan itu bubar teratur. Sebab, tak ada lagi hidangan pembicaraan yang dapat disantap dengan hangat. Dua orang itu merusak acara mereka saja. 

Tanpa mereka–warga dusun–sadari, selepas zuhur, sebuah bus merapat, mendatangi griya angker di ngarai. Tak lama kemudian, disusul oleh beberapa bus lainnya. Kediaman Rahmat yang amat luas itu mendadak jadi sempit. 

Minggu, 03 November 2024

Hari Minggu itu, tak seperti awal bulan  biasanya. Tak ada orang dari kota yang datang bernegosiasi dan membeli hasil bumi penduduk dusun dengan harga yang bagus dan menguntungkan. Si tengkulak malaikat tak turun bertransaksi. 

Juga, tidak ada mobil yang datang mengangkut segala macam benda kerajinan dari dusun seperti pekan-pekan pasar yang lalu. Pick-up yang beroperasi membeli dagangan yang tersisa juga tak tampak. Aneh sekali.

Betapa malang nasib warga dusun. 

Senin, 04 November 2024

Sebagaimana kebiasaan warga dusun, mereka akan duduk di lepau-lepau saat sore hari sepulang bekerja.  

Langit November masih kelabu, namun, udara terasa pengap. Meskipun awan-awan tampak sakit sejak pagi, belum juga hujan dimuntahkannya. Rasanya seperti diuapi saja. Saat pengunjung lepau Bu Nay asyik mengusir letih, tiba-tiba perhatian mereka tersedot oleh kedatangan seorang wanita renta. Ia terlihat lelah. Sepertinya sudah jauh berjalan kaki. 

”Permisi, Nak.  Mau tanya. Ada yang kenal sama Nak Rahmat? Sudah beberapa hari ini saya tidak melihatnya,” ucap wanita tua itu mengundang heran di benak setiap pengunjung.

”Rahmat yang mana, Nek? Rahmat anak almarhum Pak Amin?” tanya Bu Nay. Disambut anggukan oleh wanita itu. 

”Ada perlu apa, Nek? Pak Rahmat baru saja meninggal beberapa hari yang lalu,” ucap Bu Nay. 

Innalillahi wa innailaihi rojiun. Pantas saja tak pernah datang lagi. Biasanya selalu datang bantuin kami, orang-orang sepuh di lereng sana.” Wanita tua itu berkata dengan  tersendat. Lalu ia mulai terisak.

Sedikit yang ia ketahui bahwa perkataannya telah menggemparkan dusun.

Selasa, 05 November 2024

Seorang pengemis, beberapa anak di pelosok dusun, dan seorang lelaki renta juga berduyun-duyun menanyakan keberadaan Rahmat. Mereka membawa cerita dan reaksi nyaris serupa dengan yang apa  dikatakan oleh wanita tua di tempo hari. Lagi-lagi, warga dusun termangu dalam duduknya. Siapakah sebenarnya Pak Rahmat ini?

Rabu, 06 November 2024

Sirine mobil polisi mengaung. Membelah hujan dan jalanan aspal. Terus menjauh menuju markas kepolisian kota. Di dalamnya, duduk terpekur Kepala Dusun. Hatinya campur aduk. Malu, takut, hina, bercampur jadi satu. Namun, lamat-lamat terbesit juga rasa lega di hatinya. Nyaris saja ia gila menahan beban di dada. Menyesali dan meratapi perbuatannya pada Rahmat, orang yang penuh kasih-sayang itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thought: Bangku Suporter

Saya selalu meyakini bahwa saya adalah seorang suporter--pendukung bagi orang lain. Bukan karena ingin disukai, diterima, atau t...